《24》 Datang kembali

448 19 3
                                    

Tetes demi tetes air hujan mulai membasahi bumi, membawa ketenangan bagi seorang gadis yang tengah menyendiri dalam sebuah cafe kecil di pinggiran Ibu kota. Tangannya menyapu setiap air yang membasahi kaca cafe, walaupun tahu itu di luar.

Sorot matanya tenang, kedua bola mata hijau rumput itu mengawasi setiap asap yang mengepul dari coffe yang dipesannya beberapa menit lalu. Belum sedikit pun ia rasakan karena tahu masih sangat panas. Takut lidahnya mati rasa nanti.

Sebuah ponsel tergeletak begitu saja di atas meja, hanya benda itu dan coffe saja yang menemaninya sore ini. Tak ada satu pun pengunjung cafe yang mempedulikan keadaannya. Ia mempermalukan dirinya sendiri, lihat saja, rambutnya acak-acakan, kaus berwarna biru yang memudar, hanya celana bahan cokelat saja yang membuatnya terlihat agak rapi.

Belum lagi, ia tak memakai sandal. Entah bagaimana kuatnya gadis itu berjalan di atas panasnya aspal tadi siang. Atau mungkin ia sudah dari siang dalam cafe ini, dan memesan minumannya beberapa menit yang lalu? Jika begitu, apa ia tak malu pada pemilik cafe?

Sang pemilik cafe tak lagi heran dengan gadis bernama Alexa itu. Gadis blesteran Jerman-Indo yang tak punya tujuan hidup, dicap sebagai orang tak waras karena sering berjalan sendiri setiap harinya dan senyum yang selalu menyertainya.

Alexa mengalihkan pandangannya ke pemilik cafe, mengisyaratkan untuk tidak memperhatikannya. Memang daritadi sang pemilik cafe mengawasi Alexa, takut gadis itu tiba-tiba mengamuk tanpa alasan dan mengacak-acak seluruh isi cafe. Seperti yang pernah dilakukannya tempo hari, membuat kekacauan saat seorang pianis muda membawakan lagu berjudul Imagination.

Lagu yang disukai sejuta umat itu nyatanya dibenci sendiri oleh Alexa. Tak ada yang tahu apa alasannya, yang jelas tiba-tiba gadis itu akan menangis lalu melempar semua benda yang dilihatnya. Dan yang terakhir sungguh mengharukan, ia akan mengeluarkan selembar foto usang dalam kantung celananya.

Foto wajahnya yang berseri bersama seorang laki-laki, pemilik cafe dugai adalah kekasihnya. Di belakang foto itu ada dua buah nama yang ditulis latin 'Alexa dan Arland' bertinta hitam. Tertera pula gambar love bertinta merah.

Semenjak kejadian itu, pemilik cafe tak pernah lagi memanggil seseorang untuk menyanyikan lagu Imagination, sebenarnya bisa saja ia mengusir Alexa untuk tidak datang ke cafe-nya lagi. Tapi, ada sebuah rasa iba tersendiri ketika melihat gadis itu dibakar setiap harinya di bawah sang surya. Kulitnya hari demi hari menggelap, sesekali gadis itu terlihat memegangi kepalanya karena pusing.

"Alexa, cafe akan segera tutup. Bisakah kamu pulang?" tanya pemilik cafe, bernama Pak Rubi. Pria separuh baya yang tampan dan juga mapan. Mimik wajahnya memang terlihat sombong, namun ternyata berhati mulia.

"Alexa mau tetap di sini, menunggu Arland datang," jawab Alexa tanpa menoleh sedikit pun pada Pak Rubi. Yang ia tatap terus saja rintikan hujan di luar sana.

Arland selalu Alexa tunggu. Sebab Arland adalah separuh nafasnya. Sebab ada rindu yang ingin disampaikan. Sebab hanya Arland dalam hatinya. Tapi naasnya, waktu tak kunjung mempertemukan mereka.

Tuhan masih mengulur waktu, menguji kesabaran Alexa. Kenapa hanya Alexa saja? Karena Arland sudah berpaling. Arland sudah menanggap Alexa tiada di dunia ini. Kecelakaan beberapa tahun yang lalu itu memang merengut nyawa sang penumpang. Di mana sang penumpang tak lain tak bukan adalah Alexa.

Hasil otopsi memang menyatakan bahwa Alexa telah meninggal dunia, lalu siapa Alexa di cafe ini? Atau mungkin hanya nama dan wajahnya saja yang kebetulan mirip dengan Almarhumah Alexa Purnama binti Bayu Purnomo itu? Atau ia adalah kembarannya? Entahlah.

Athar [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now