《8》Daftar, jangan?

639 36 0
                                    

Athar terus saja memandangi selembaran yang ia pegang. Jujur Rendy yang berada di sebelahnya bosan. Desahan-desahan pelan Rendy sama sekali tak Athar hiraukan.

"Ck, tinggal daftar aja,"

Athar menoleh dan menatap sinis Rendy. Ucapan yang terlontar dari mulut laki-laki itu terdengar enteng.

"Lo kira tanggungjawabnya gak banyak apa?!" sewot Athar. Langsung ngegas terlanjur emosi siang bolong seperti ini.

Rendy mengusap wajahnya kasar. Lalu menyandar pada kursi cafe yang berada di belakangnya. Memang mereka berdua sering mampir ke cafe terlebih dahulu setelah pulang sekolah. Dengan uang Athar yang melayang setiap kalinya.

"Lonya mau gak?"

Terdengar pertanyaan dengan nada lembut dari Rendy. Athar yang mendengar bergidik, otaknya langsung berpikiran negatif.

"Kalau mau ya daftar, kalau gak mau ya gak usah daftar. It's simpel? Lo yang bikin ribet!"

Athar terdiam sejenak, benar juga apa yang diucapkan Rendy. Dirinya terlalu ribet dengan hal semacam ini. Laki-laki itu mengangguk mantap dan berucap, "Mau dan gue akan daftar."

Rendy mengembangkan senyumnya. Menepuk bahu Athar sekilas tanda penyemangat. Walaupun Athar cucu dari ketua yayasan, tapi para pengurus OSIS pasti tidak membeda-bedakan.

"Pendaftarannya kapan emang?"

Athar mengedikkan bahunya tanda tak tahu. Sukses mendapat teloyoran gratis di kepalanya dengan sadis oleh Rendy.

"Ogeb, dari tadi lo liat selembaran gak dibaca apa?!"

Athar refleks menoleh pada selembaran yang ia pegang. Jujur tak dibaca, aneh memang. Laki-laki itu membulatkan matanya saat tahu pendaftaran ditutup besok. Visi misi pun belum disiapkan.

Besok!

"Kapan? Masih lama kan?"

Athar meneloyor kepala Rendy kesal ajang balas dendam juga. Menunjukkan selembaran itu tepat ke hadapan wajah sahabatnya.

"Besok?! Eh buset terkejoed diriku,"

Athar menghela nafasnya panjang. Mau bagaimana lagi besok hari terakhir. Tapi dirinya belum ada persiapan sama sekali. Laki-laki itu mengaduk cappucino yang berada di hadapannya dengan sedih.

"Lupain,"

Athar menoleh sekilas ke sumber suara yang tak lain adalah Rendy, sedang asik menyeruput moccalatte yang dipesan. Tapi ada benarnya juga, memang harus dilupakan.

"Eh, Sybilla apa kabar?" tanya Rendy.

"Emang gue emaknya apa? Tanya sama orangnya langsunglah," jawab Athar.

"Tuh cewek kan gebetan lo, pea banget sumpah," komentar Rendy menatap Athar dengan jengkel.

Drttt

Getaran ponsel di atas meja sukses membuat sang empunya barang menoleh. Mata Rendy berbinar begitu melihat siapa yang mengirim pesan via WA. Rachel, pacarnya.

"Siapa?" tanya Athar penasaran karena melihat ekspresi Rendy seperti itu.

"Ayang beb biasa ngajak ketemuan," jawab Rendy tanpa mengalihkan pandangannya dari benda berbentuk pipih dalam genggamannya.

Athar hanya menganggukkan kepalanya seraya ber'oh' ria. Rendy alay, menurutnya. Tapi begitulah pacaran anak muda jaman sekarang. Miris sebenarnya, bukannya fokus pendidikan malah fokus pacaran.

"Gue cabut, cepet pacaran. Gak bosen apa jomblo puluham tahun?" pamit Rendy di akhiri pertanyaan seraya bangkit dan melenggang keluar.

Jomblo, predikat Athar Al-fadhil dari lahir. 16 tahun lamanya hidup di dunia, tapi Athar belum pernah merasakan yang namanya berpacaran. Bukannya tidak laku, hanya saja belum menemukan yang pas.

Athar [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now