《7》Tamparan menyakitan

663 35 0
                                    

Athar membanting tubuhnya dengan kasar ke atas kasur. Sejenak menerawang langit-langit kamarnya. Selalu saja setiap malam kerjaannya begini.

Orkesta sedang berlangsung di dalam perutnya, tapi tak laki-laki itu hiraukan. Biarkan saja, hitung-hitung puasa di malam hari. Nanti juga Bi Yoyoh datang.
Panjang umur, baru saja dibilang.

"Den Athar, Bi Yoyoh bawain ayam kecap kesuakaan Athar. Dibuatnya pakai cinta loh, Den,"

"Masuk Bi!" suruh Athar tanpa sedikit pun beranjak. Anak remaja zaman sekarang menyebutnya dengan 'mager' alias malas gerak.

Pintu terbuka, Bi Yoyoh segera menghampiri majikannya. Nampan masih berada di tangannya. Wanita itu sejenak memandangi Athar dengan ekspresi sedihnya.

"Makan dulu, Den,"

Athar menoleh sekilas dan menyahut berdusta, "Belum laper." Lalu kembali melanjutkan kegiataannya yaitu memandang langit-langit.

"Oh iya, Bibi hampir lupa,"

Ucapan Bi Yoyoh sukses mengundang penasaran laki-laki itu. Athar bangkit dan meraih bantal untuk didekapnya. Bi Yoyoh yang melihat itu hanya terkekeh.

"Tiap malam kan Bibi selalu ngasih makanan ke Den Athar,"

Athar mengangguk.

''Nah, setiap Bibi ke kamar waktu Den Athar udah tidur, piring dan yang lainnya gak ada,"

Athar mencerna setiap penjelasaan Bi Yoyoh. Siapa? Satu pertanyaan yang bergelayut di dalam benaknya. Atau jangan-jangan..

Hantu.

Tidak! Tidak mungkin! Buat apa hantu dengan baik hati membawa sisa makanan ke dapur? Mustahil.

"Terus siapa, Bi?" tanya Athar seraya menaikkan satu alisnya.

"Makanya itu Den, Bibi mau minta kerjasamanya,"

Ayam kecap yang masih berada dalam pangkuan pembantunya menarik peehatian Athar. Laki-laki itu mengambil alih dengan mata yang berbinar.

"Nanti Den Athar jangan tidur dulu ya, tungguin siapa tahu orang itu datang,"

Athar hanya menganggukkan kepalanya. Menurutnya menikmati ayam kecap lebih penting dari apa pun. Sontak saja membuat Bi Yoyoh mendesah kasar.

"Yaudah Bibi ke belakang, inget Den,"

Setelah mengucapkan kalimat itu Bi Yoyoh bangkit dan melenggang keluar. Menyisakan Athar yang masih memakan makanannya. Beberapa menit kemudian habis, yang jelas masih menyisakan tulang-tulang yang tak bisa dimakan Athar.

Laki-laki itu tidak pikun, masih ingat dengan pesan Bi Yoyoh tadi. Jangan tidur, tapi pura-pura tidur. Sejenak Athar melihat jam yang tertera di dinding, menunjukkan pukul 10 malam.

Kantuk menyerangnya, tapi sebisa mungkin Athar tahan. Kondisi perut yang sudah terisi memang membuat siapa pun bawaannya ingin tertidur.

Ceklek

Dengan sigap Athar menutupi wajahnya dengan selimut. Setidaknya mendengar suara laki-laki yang datang membuat jantung Athar berdebar kencang. Apa benar? Dia...Arland, kakaknya.

"Maafin abang, Dek,"

Lirihan itu menohok hati Athar. Tidak salah lagi, laki-laki misterius itu kakaknya. Athar bertahan dalam posisinya, harusnya yang mengucap kata 'maaf' itu dirinya sendiri atas tragedi satu tahun silam.

"Good nigth, have a nice dream,"

Kecupan singkat mendarat di kepala Athar yang berbalut selimut. Sangat singkat, tapi berhasil membuat hati Athar teduh. Merasakan kasih sayang seorang kakak kepada adiknya.

Cukup, Athar ingin memeluk kakaknya. Laki-laki itu membuka selimut yang menutupi wajahnya, sukses membuat Arland melonjak ke belakang.

Arland memasang wajah bingungnya, sedetik kemudian digantikan wajah sangarnya. Tatapannya dingin dan menusuk. Athar hanya bisa diam, lidahnya seolah kelu untuk berbicara.

''Lupain yang tadi,"

Setelah mengucapkan kalimat itu, Arland berniat berbalik. Namun, Athar dengan cekatan mencegahnya.

Arland menepis dengan kasar, tapi tidak melanjutkan niatnya. Seolah mengizinkan Athar untuk berbicara padanya.

"Athar minta maaf, Bang," lirih Athar. Entah kata maaf yang sudah keberapa kali, yang jelas tak ada satu pun diterima oleh Arland.

"Athar cuman mau Abang kayak dulu lagi, perhatian, penasehat, pengajar, pan-"

Plaaak

Sebuah tamparan keras meyadarkan Athar bahwa keinginannya tak akan terwujud. Athar merasakan pipi kanannya memanas. Tapi rasa sakit di hatinya jauh lebih perih daripada itu.

"Tampar aja, Bang! Sepuas Abang, Athar rela. Sampai nyawa Athar melayang supaya dimaafin juga Athar rela!" ucap Athar. Disusul air mata yang bercucuran deras mengalir di pipinya.

Arland terdiam, memandangi tangan kanannya yang sudah melayang di pipi adiknya. Sekejam itukah dirinya sebagai seorang kakak? Sebegitu bencinya kepada adiknya?

Tak berselang lama Arland menubruk tubuh adiknya. Memeluk penuh kasih sayang dengan erat. Athar membalas pelukan itu sama eratnya. Sudah bertahun-tahun dirinya tak dipeluk oleh sang kakak.

Tangis Arland pecah. Laki-laki itu merasa sangat bersalah. "Selama ini abang selalu nyalahin kamu atas kejadian itu, dan sekarang abang sadar. Kamu bukan sepenuhnya bersalah, bahkan gak salah." Arland menatap Athar penuh penyesalan.

"Aku emang salah, Bang. Tapi itu semua udah dirancanain Tuhan. Athar yakin dia tenang di sana," sahut Athar dengan gemetar.

Arland mengangguk mengiyakan seraya menghapus air matanya. Tersenyum haru diikuti gerakan yang sama oleh Athar.

Hening.

"Bang, sayang Athar ke Abang kayak hukum kekekalan energi," ucap Athar seraya membenarkan duduknya.

Arland tertarik dan duduk di samping adiknya. Senyum laki-laki itu mengembang dan bartanya, "Coba gimana bunyinya?" Sedikit meremehkan Athar jika menyangkut fisika.

"Energi tidak dapat dimusnahkan atau diciptakan. Hanya bisa diubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya." sahut Athar lancar tanpa hambatan.

Arland terkekeh mendengarnya, sejak kapan adiknya pintar seperti ini. Lalu kembali melontarkan pertanyaannya, "Besaran-besarannya apa aja?"

Athar berpikir sejenak lalu menjawab, "Massa, kecepatan, percepatan gravitasi, dan ketinggian." Jawaban yang benar.

Arland mengangguk tanda jawabannya benar dan mendapat senyum kebanggan dari bibir Athar. Ayolah Athar, jangan sombong dulu.

"Bentuk-bentuknya?" Seraya menaikkan sebelah alisnya kepada Athar dan sukses membuat Athar terdiam beberapa detik.

Apasih itu yang kepanjagan Ep, Ek, Em? Aduh gue lupa lagi, batin Athar bertanya-tanya.

"Makanya jangan sombong dulu," nasehat Arland dengan kekehan di akhir kalimatnya.

"Lupa, Bang," elak Athar sedikit memutar bola matanya.

"Energi potensial, energi kinetik, dan energi mekanik. Abang mau lihat nilai Athar,"

Athar yang merasa nilainya tak ada yang bagus lantas hanya memamerkan cengiran bodohnya. Sejauh ini nilainya tak mengalami perubahan, setia di angka 60. Segitu pun Athar bersyukur dibanding Rendy hanya 55. Setidaknya masih ada yang di bawahnya. Tunggu...tidak boleh sombong!

"Kalau nilai Athar 80, Abang kasih hadiah deh,"

Athar terdiam sejenak. Tunggu...80? Apa?! Bagaimana bisa? Mungkin memang, tapi peluangnya kecil.

Arland mengacak rambug adiknya sebentar, lalu keluar kamar. Menyisakan Athar yang akan berjuang keras untuk mendapatkan nilai 80. Setidaknya ada Sybilla yang setiap istirahat mengajarinya.

Senyuman Athar mengembang, mengingat Arland sudah tak mengasingkan lagi dirinya. Puji syukur terlontar dari bibirnya. Semua hanya perlu satu kata kunci yaitu...

Sabar.

Gimana bab tujuhnya?
Lanjut, jangan?

Dipublikasikan : 11 Agustus 2018

Athar [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang