SAN JŪ YON

4.1K 549 74
                                    

                Sore itu Embun buru-buru pergi ke rumah sakit yang di sebut Erlangga. Ia teringat ayahnya dulu. Tubuhnya cukup gemetar mendengar berita dari Angga. Bagaimanapun, berita kecelakaan tidak pernah menyenangkan. Dan Embun ingin membantu pria itu memastikan kondisi ibunya.

Ia sendirian disana, menunggu wanita paruh baya itu di operasi untuk menghentikan pendarahannya. Kecelakaan itu kecelakaan tunggal, bahkan supirnya meninggal di tempat karena menabrakkan diri ke ujung pembatas jalan.

Bahkan surat izin tindakan operasi pun harus diwakilkan olehnya dengan Erlangga yang mengkonfirmasi pada sang dokter bahwa itu benar ibunya dan ia dengan rela memberikan hak pada Embun untuk menggantikannya. Ayah dan kakak perempuan Erlangga ada di Eropa, dan baru bisa sampai ke Indonesia besok. Jadi ia tidak bisa mengandalkan siapa-siapa.

Embun menunggu dengan cemas hampir dua jam lamanya. Operasi masih belum selesai, dan ia sangat benci berada disini sendirian. Embun bahkan pergi menjauh berulang kali kalau ia tidak ingat seseorang meminta tolong padanya.

"Hah..hah.. Bun.. Mama.. gimana?"

Erlangga dengan napas pendek-pendek menghampirinya, ketara sekali pria itu berlari-lari dari parkiran menuju ke tempatnya sekarang.

"Itu Kak, Mamanya pendarahan hebat di kepala sama benturan di tubuh bagian depan, aku kurang ngerti bagian mana aja" terang Embun perlahan.

Erlangga langsung menghempaskan tubuhnya di kursi, ia menunduk sambil menutup wajahnya.

"Yang kuat Kak. Berdoa biar Mamanya juga kuat"

Erlangga diam-diam sudah menangis pelan. Ibunya sosok yang selalu jadi pelindung untuknya, saat ia masih takut pada sang ayah, Mama lah yang selalu membelanya dan membesarkan hatinya. Perlahan-lahan ia menangis di hadapan Embun, dan ia tidak bisa melakukan apa-apa selain menepuk punggung pria itu.

"Keluarga atas nama pasien Winniarti Ayudipa"

Erlangga buru-buru menghapus air matanya dan berdiri menghampiri sang dokter, dalam hati ia terus merapalkan doa. Berharap ibunya baik-baik saja di dalam sana.

"Operasinya lancar. Pasien akan dipindahkan ke ruang ICU karena masih harus dirawat intensif sampai keadaannya stabil. Pihak keluarga boleh langsung menghubungi bagian administrasi untuk keperluan ruangan"

Erlangga mengangguk paham.

"Bun, gue mau langsung ke bawah ngurus-ngurus ruangan."

"Oh iya Kak. Mmm kalau aku pulang dulu gak apa-apa Kak? Kebetulan besok ada pengumpulan RPP di sekolah."

Erlangga tersenyum berterima kasih. "makasih ya Bun, sampai rela kesini padahal ada urusan. Gue gak ngerti kalau gak ada lo"

"Santai aja Kak. Aku kan cuma bantu"

****

Embun merenung kembali. Ini sudah lima hari semenjak terakhir ia dan Nata berbicara di mobil. Keduanya benar-benar mengambil jarak aman untuk mendinginkan emosi dan kepala masing-masing. Tapi Embun merindukan pria itu. Sangat. Ia lupa dirinya terbiasa selalu menemukan sosok itu setiap hari. Tertawa bersama sampai membuatnya kesal. Kehadiran Nataya cukup mengambil alih kehidupannya. Bahkan bukan cukup, tapi banyak.

Tok. Tok. Tok.

Tok! Tok! Tok!

Pintu itu di ketuk dengan kencang, suara di luar memanggilnya terdengar sayup-sayup karena hujan deras sore ini. Diluar sana nampak Erlangga dengan hoodie nya yang sudah basah.

Space in AlaskaWhere stories live. Discover now