Chapter 16. It Just Begin

92.5K 4.4K 60
                                    

Saat ini Vanilla bersiap dengan pakaian terbaik yang pernah ia punya. Sebuah dress formal berwarna hitam dengan panjang selutut, lalu sebuah blazer berbahan ringan berawarna cokelat muda, membuat penampilannya terkesan elegan namun tetap sopan.

Vanilla juga mengenakanhigh heels yang cukup tinggi, rambutnya yang ia gerai dengan rapih.

Hari ini adalah hari pertamanya bekerja sebagai asisten dari direktur utama perusahaan Great Roof, yaitu anak dari Ibu Diana sang malaikat yang menolongnya beberapa hari yang lalu.

Vanilla berjalan menuju lift khusus menuju ke lantai gedung perkantoran tersebut.

Ia kini menyatu dengan beberapa pegawai disana yang penampilannya sangat berkelas, ia masih tidak menyangka kalau dirinya akan berada di tengah orang-orang ini.

Akhirnya Vanilla sampai di lantai yang dituju, ia keluar dari lift lalu berjalan menuju resepsionis yang ada di lobby lantai tersebut.

"Permisi mbak, saya ingin bertemu dengan Ibu Diana," ucap Vanilla pada resepsionis yang sedang berjaga disana.

"Sudah buat janji sebelumnya?" tanya resepsionis itu tersenyum. "Sudah, nama saya Vanilla, sudah buat janji dengan bu Diana hari ini."

Resepsionis tersebut memeriksa sebuah buku yang ada didepannya.

"Baik mbak Vanilla, mari saya antar," ucap resepsionis tersebut lalu menuntun Vanilla ke sebuah ruangan dengan pintu bertuliskan Direktur Eksekutif.

Mereka masuk ke dalam ruangan tersebut, ruangan yang sangat besar dan mewah.

"Ibu Diana masih dalam perjalanannya menuju kesini, Ibu minta anda untuk menunggu sebentar, silahkan duduk," kata resepsionis itu pada Vanilla.

Vanilla mengangguk dan duduk di sofa yang berada di ruangan. Ia melihat ke sekeliling.

Terdapat satu meja kerja berukuran besar beserta kursinya. Tidak jauh dari posisi meja itu, ada satu meja dan kursi yang lebih kecil.

 Vanilla berpikir apakah meja itu akan jadi meja kerjanya? Apa ia akan bekerja di ruangan besar ini? Satu ruangan dengan bosnya?

Seseorang memasuki ruangan tersebut membuat Vanilla sedikit tersentak.

Seorang perempuan muda berpakaian rapih menghampiri Vanilla sambil tersenyum. "Mbak Vanilla ya?" tanyanya.

"Iya," jawab Vanilla tenang lalu berdiri.

Perempuan itu memberikan Vanilla satu buku berukuran sedang. "Ini schedule nya ya Mbak, sudah saya rapikan," ucapnya.

"Kalau gitu, saya duluan ya Mbak."

Vanilla mengangguk tersenyum lalu berterima kasih.

Vanilla kembali duduk sambil melihat buku itu dan membuka halaman depan. Buku ini adalah buku jadwal yang isinya sudah disusun secara rapih.

Vanilla melihat pada kolom keterangan, ada beragam kegiatan seperti meeting dengan beberapa pimpinan perusahaan, lalu ada jadwal makan siang bersama orang-orang penting, dan ada tulisan 'Kelas'.

Kelas? Vanilla mengernyit, kemudian ia teringat bahwa calon bos-nya adalah seorang mahasiswa.

Vanilla kembali melihat-lihat susunan schedule tersebut dan menemukan jadwal 'Free time'.

Sepertinya maksudnya adalah waktu bebas, seperti free class saat di sekolah.

Saat sedang serius membacanya, tiba-tiba Vanilla mendengar suara dari arah luar pintu.

Pintu itu memang tidak ditutup rapat sehingga ia masih bisa mendengar pergerakan dari luar.

"Berapa kali aku bilang ma, aku gak butuh asisten, untuk apa? Aku bisa urus diriku sendiri."

Vanilla mengerjap mendengar suara itu, suara yang terdengar tidak asing di telinganya.

"Mama yakin dia akan mempermudah segala urusan kamu, pokoknya kamu gak boleh nolak," terdengar suara Bu Diana menyahuti.

"Kalau aku bilang enggak ya enggak ma, aku akan berhentikan dia sekarang juga."

Suara itu terdengar semakin mendekat ke arah pintu.

Hingga pintu itupun terbuka lebar, Vanilla segera berdiri menghadap pintu.

Seorang laki-laki lengkap dengan setelan jasnya masuk ke dalam ruangan itu.

Ia memiliki tubuh yang tinggi dan tegap, rambutnya hitam dan kulitnya putih bersih, alisnya tebal, hidungnya mancung, bibirnya begitu seksi, pokoknya ia sangat sempurna, batin Vanilla yang tanpa sadar terskesima.

Vanilla masih terdiam menatap wajah laki-laki yang mempesona itu.

Hingga akhirnya ia tesadar.

 Vanilla benar-benar tersadar.

Tapi tidak lama, rasanya ia ingin pingsan saat menyadarinya.

"Vanilla?"

"AAAAA!!!!!" sontak Vanilla berteriak.

Vanilla kaget sendiri dengan teriakannya, begitupula laki-laki didepannya, yang tidak lain tidak bukan adalah Reza Wijaya Rashad, teman SMAnya, Reza si cabul, Reza si mesum, Reza si PK! Reza! Orang yang paling ia hindari selama hidupnya!

Oh, Tuhan..

Vanilla melihat Reza yang perlahan ikut tersadar dari ketersentakan di wajahnya.

Ia seperti sudah mengerti situasi yang terjadi saat ini, berbeda dengan Vanilla yang masih tak percaya.

Reza tersenyum, Vanilla dapat melihat itu, sebuah senyuman... kemenangan?

Reza masih tersenyum dan memandang Vanilla dari atas, ke bawah, kemudian keatas lagi.

Sementara Vanilla yang masih terpaku tidak mampu bergerak maupun berucap. Ia hanya menatap Reza dengan wajah tidak percaya.

Tanpa ia sadari Reza sudah mendekat ke arahnya, lalu membisikan sesuatu di telinganya.

"Sepertinya takdir memang menginginkan kita untuk bersatu" bisiknya pelan.

Oh, tidak.... Vanilla kini menyadarinya, penderitaan yang ia pikir telah usai, ternyata baru saja dimulai.

-bersambung

Forced Kiss (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang