Latar Belakang Penamaan (2)

90 4 0
                                    

🌸🌿Latar Belakang Penamaan “Ustadz dan Sunnah Dan “Kajian Sunnah”🌿🌸

[Part 2]

🔸PRAKTEK PARA ULAMA DALAM PENAMAAN “ULAMA SUNNAH” DAN “ULAMA BID’AH”🔸

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Adapun Yahya bi Sa’id Al-Qoththon maka beliau adalah salah satu ULAMA SUNNAH dan imam ahli hadits dalam mengenal keshahihan hadits, ‘ilal-nya, rijal-nya dan dhobth-nya, sampai-sampai berkata Imam Ahmad: Saya tidak pernah melihat dengan kedua mataku orang yang seperti beliau dalam bidang tersebut. Dari beliaulah Ali bin Madini meriwayatkan, dan dari Ali kemudian Al-Bukhari sang penulis kitab Ash-Shahih meriwayatkan, padahal At-Tirmidzi berkata bahwa ia tidak pernah melihat dalam mengenal ‘ilal hadits yang seperti Muhammad bin Ismail Al-Bukhari.” [Majmu’ Al-Fatawa, 12/327]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata,
“Kemudian muncul Jahm bin Shofwan dari ujung Timur dari wilayah Tirmidz, dari sanalah muncul pemikiran Jahm, oleh karena itu ULAMA SUNNAH di Timur lebih banyak pembicaraan mereka dalam membantah mazhab Jahmiyyah, dibandingkan ulama di Hijaz, Syam dan Irak. Ulama Sunnah di Timur seperti Ibrahim bin Thohman, Kharijah bin Mush’ab, Abdullah bin Mubarak dan yang semisal dengan mereka. Dan juga dalam membantah Jahmiyah telah berbicara Imam Malik, Ibnul Majisyun dan selain mereka berdua. Demikian pula Auza’i, Hammad bin Zaid dan selain mereka. Hanyalah menjadi terkenal pendapat mereka setelah cobaan yang menimpa Imam Ahmad dan selain beliau dari kalangan ULAMA SUNNAH.” [Majmu’ Al-Fatawa, 8/229]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata,
“Para ulama dari kalangan murid-murid Imam Ahmad maupun selain mereka dari kalangan ULAMA SUNNAH telah mengingkari orang yang berpendapat bahwa suara dan gerakan hamba bukan makhluk.” [Majmu’ Al-Fatawa, 8/407]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata tatkala membantah pendapat yang menyamakan anatara ucapan Allah dan ucapan makhluk,
“Ucapan tersebut adalah bid’ah yang sangat jelek, tidak seorang pun dari kaum muslimin yang pernah mengatakan itu, tidak ULAMA SUNNAH dan tidak pula ULAMA BID’AH, bahkan tidak pula dikatakan oleh orang yang berakal, yang masih memahami ucapannya sendiri.” [Majmu’ Al-Fatawa, 12/324]

🔸SEKILAS FAKTA DI LAPANGAN🔸

Salah satu fakta yang kami saksikan di salah satu masjid di Ibu Kota, sebuah masjid yang marak dengan majelis ilmu dan dihadiri dengan antusias oleh jama’ah di sekitarnya dan jama’ah yang dating dari luar.

Pada awalnya yang mengisi ceramah di masjid tersebut berasal dari berbagai kalangan, hingga diundanglah sebagian da’i sunnah untuk mengisi, ada yang mengisi materi tafsir, hadits, tauhid, fiqh, ekonomi syari’ah, adab-adab dan lain-lain.

Sebagaimana ciri khas umumnya da’i sunnah, penyampaian ilmu yang penuh semangat, berusaha datang tepat waktu, lembut dan hikmah namun tegas, yang benar dikatakan benar dan yang salah dikatakan salah, dan yang terpenting adalah selalu berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai Pemahaman Salaf. Setiap pendapat selalu disertai dalil dan mengingatkan untuk tidak mengikuti yang tidak berdasarkan dalil. Selalu menyeru kepada tauhid dan memberantas kesyirikan, mengajak kepada sunnah dan meninggalkan bid’ah.

Sementara di sisi lain, terdapat para da’i dan penceramah yang berbicara hanya berdasarkan logika, akal-akalan, mengajak untuk taklid saja, menjawab pertanyaan tidak tegas, menyisakan kebimbangan, sangat jarang mengutip dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak merujuk kepada Pemahaman Salaf, tidak jarang berbicara politik di depan orang-orang awam sambil menyindir bahkan menjelek-jelekan Pemerintah, ditambah lagi jika sang da’i dikenal aktif di sebuah partai atau ormas, maka tidak jarang mereka cenderung menggiring manusia kepada partai dan ormas mereka.

Apa yang Terjadi?

Selang beberapa waktu, masyarakat sendiri yang akhirnya bisa menilai, mana para da’i yang menyampaikan dengan berdasarkan ilmu dan mana yang sangat sedikit muatan ilmiahnya, bahkan cenderung menyelisihi sunnah. Masyarakat sendiri yang kemudian memberi nama “Ustadz Sunnah” dan “Kajian Sunnah”.

Pada akhirnya yang menghadiri kajian sunnah makin marak, dan yang menghadiri kajian yang tidak berlandaskan sunnah makin berkurang, melemah dan satu persatu tersingkir dengan sendirinya,
“Adapun buih, akan hilang sebagai suatu yang tidak ada gunanya; tetapi yang bermanfaat bagi manusia, akan tetap ada di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan.” [Ar-Ra’ad: 17]

Asy-Syaikh Al-Mufassir As-Sa’di rahimahullah berkata,
“Demikianlah syubhat (pendapat yang seakan benar namun hakikatnya batil karena tidak berdasarkan dalil) dan syahwat, maka hati sebenarnya membencinya, menundukkannya dengan dalil-dalil yang benar dan keinginanan yang kuat untuk mengikuti kebenaran, hingga akhirnya kebatilan itu pergi dan melemah, maka hati tetap dalam keadaan murni dan bersih, tidak ada padanya kecuali apa yang bermanfaat bagi manusia, yaitu ilmu tentang kebenaran, lebih mengutamakannya dan cinta kepadanya. Maka kebatilan pun pergi, dan kebenaran melenyapkannya, sebagaimana firman Allah: “Sungguh yang batil itu pasti lenyap” (Al-Isra’: 81). Dan di sini Allah berfirman: “Demikianlah Allah membuat perumpamaan” (Ar-Ra’ad: 17), agar menjadi jelas antara kebenaran dan kebatilan, hidayah dan kesesatan.” [Tafsir As-Sa’di, hal. 415]

Alhamdulillaah ini fakta umum yang kami saksikan di Ibu Kota, meski pun tidak dinafikan ada sebagian da’i sunnah yang kurang hikmah, atau murid-muridnya yang terlalu bersemangat namun kurang ilmu, sehingga mengakibatkan penolakan yang keras dari sebagian masyarakat. Semoga Allah ta’ala memperbaiki dan memberikan kemudahan.

🌐http://sofyanruray.info/ustadz-sunnah-kajian-sunnah/

〰〰〰

〰〰〰

↪Reposted by Sahabat Fillah

Love Islam [Kumpulan Faedah] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang