[3] Biatch

2.5K 221 17
                                    

Kamu tahu mengapa para mama yang mengantar jemput anak-anak mereka disebut macan ternak?

Menurutku, itu bukan hanya disusun dari singkatan Mama Cantik Anter Anak. Tetapi, keganasan para mama kalau sudah masuk teritori sekolah memang setara garangnya seekor macan.

Mau bukti? Coba temani aku nongkrong di Sierra School pagi ini. Aura mencekamnya tak kalah dengan safari malam di Afrika. Padahal sekarang baru jam tujuh pagi dan matahari baru memutuskan untuk memancarkan sinarnya lebih bersemangat.

Sayangnya, semangat mentari tak menular pada seorang cewek berbaju dandanannya antara mau pergi melayat atau melamar jadi anggota The Matrix -- aku.

"Dah, Mom! Senyum dong biar tambah cantik!" seru Adri sembari mengecup pipi kananku. Satu lagi trik meluluhkan hatiku yang ia tiru dari Si Brengsek Mike.

"Smile, and you'll look younger, Mom," seloroh Jenna. Ia ganti memeluk, dengan tubuh yang sekarang sudah sama tingginya denganku.

"Kalian nggak malu punya ibu yang senyum-senyum sendiri tanpa alasan kaya orang gila?" tanyaku, masih dengan ekspresi sedatar bujur sangkar dua dimensi.

"Nope. Because we know that is not how your crazy mode works, Mommy dearest," celetuk Jenna. Sambil terkikik, ia berjalan cepat memisahkan diri dariku menuju pagar pembatas pengantaran orang tua.

Adiknya masih ngakak sampai terbatuk-batuk. "Bye, Mom! Stay awesome!" Adri ganti melewatiku. Ia merangkul seorang anak cowok, yang kukenali sebagai Vio, teman sekelasnya.

Celana Adri sekarang menggantung hanya menutupi setengah paha. Tubuhnya mudah menjulang sejak disunat tahun lalu. Hal yang membuatku tak hanya sekadar mengantar sampai parkiran dan melesat pergi ke kantor.

Aku melangkah cepat menuju ruangan kaca di sudut koridor, tempat orang tua menyelesaikan pembayaran sekaligus memesan perlengkapan sekolah. Sudah waktunya membeli celana baru untuk Adri. Di tahun ajaran baru kemarin, aku lupa tak membelikannya seragam dengan ukuran lebih besar.

Sungguh aku tak ingin menyalahkan segala keruwetan proses perceraianku dengan Mike waktu itu. Seorang Amanda seharusnya tidak punya alasan mengacaukan tugasnya sebagai ibu, walaupun ada bencana alam terdahsyat melanda Bumi sekalipun!

Melenggang dengan flowy shirt, pencil pants, dan pump shoes - semua berwarna hitam - aku memutuskan untuk tak menoleh ke arah barisan macan betina yang sedang duduk di bangku panjang koridor depan. Kurasa dandananku harusnya aman. Riasanku super tipis. Tak ada warna ungu khas para janda. Kupastikan juga tidak ada lubang di baju dan celana yang bisa bikin pria - para papa muda dan bapak-bapak satpam yang terhormat - berfantasi macam-macam.

Masih lima belas menit menuju bel sekolah dan sebenarnya pasukan macan ini sudah selesai mengantar anak. Mengapa tidak langsung angkat kaki saja, sih? Mentang-mentang urusan rumah main diserahkan ke Mbak Asisten Rumah Tangga, majikan semprul malah berdengung dan mengasah kuku pergosipan di sekolah!

"Itu dia, Manda Si Janda!"
"Hati-hati, pegangin suami kamu, Say!"
"Tuh, kan, satpam-satpam aja sampai ngecesnya banjir! Kalo ada mobil atau motor kemalingan di sekolah ini, salahin aja Janda Gatel itu!"

Tadinya aku berniat pura-pura bolot. Sayang, rambut setebal Sadako yang menutupi sepasang kupingku ternyata masih kalah menahan gunjingan di Sierra School. Padahal emak-emak yang kutaksir usianya sama, bahkan mungkin lebih muda dariku ini sedang mengobrol sambil berbisik dan menutupi arah mulut. Tetapi, kok suaranya masih setara toa tukang roti keliling?

Huh! Bisa membayar SPP jutaan rupiah, tapi kelakuan nggak ada potongan lady-lady sama sekali! Jadi mikir, Kate Middleton dan emak-emak bangsawan Inggris suka ngejulid pedes juga nggak sih? Mungkin sambil minum teh dan ngunyah makaroni ngehe ala Buckingham Palace.

De Emaks Cadas (18+) [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang