[15] Big Girls Don't Cry

1.3K 172 2
                                    

Nyawaku hilang separuh. Oh tidak, mungkin sisa seperempatnya saja sudah paling bagus. Seolah semesta ingin terus menjadikanku lelucon dan the biggest loser, Gwen meneleponku malam-malam. Kallista dan Lily masih setia menungguiku. Mereka yang sigap mengambil ponsel dan menyalakan loudspeaker dari jarak agak jauh dariku.

"Manda, Darling. Kamu beneran sakit atau pura-pura aja karena takut?" Tawa Cruella de Ville membahana dari seberang.

"Udah deh, Mak Lampir. Manda perlu istirahat, tauk! Kalo enggak ada yang penting diomongin, gue tutup yak!" semprot Kallista. Ekspresinya mirip seperti ikan hiu siap menyantap orang.

Aku menatap nanar dari ranjang. Di kepalaku adegan pertengkaran tadi pagi antara aku, Mike, dan Jenna terus berulang-ulang. Ingin rasanya aku punya kekuatan super menguasai waktu, lalu melompat masuk ke masa itu, menjadi Manda yang lebih lembut hati dan mengalah.

Well, melunakkan hatiku butuh lebih dari kekuatan super sebenarnya. Keajaiban dunia akan bertambah kala aku mau mengalah dan meletakkan egoku.

"What do you want, Medusa?" lanjut Kallista, tetap dengan nada songong dan suara berat ala preman.

"Manda masih berani lanjutin tantangan? Atau, kalau aku saranin, mending mundur aja deh. Asuransi pegawai rendahan kan limitnya terbatas, ya. Bisa gitu cover pasien kambuhan bolak-balik ke rumah sakit?" cemooh Gwen, masih dilanjutkan tawa menyebalkannya.

"Eh, Gwen! Manda emang enggak setajir kamu. Tapi, dia bukan gelandangan juga, kali!" Lily ikut memekik kesal.

"Masa? Soalnya dia jago banget tuh ngemis perhatian. Apalagi dari duda-duda kesepian. Iya, kan? Tuna asmara dan tuna birahi juga pastinya!"

"Tak sobek sobek cangkemmuuuu!" seru Lily gemas. Ya ampun, aku baru tahu Lily di mode marah mirip Tukul Arwana.

"Eh, Anak Bawang Bombay, diem aja deh!" sergah Gwen, kemudian ada suara tawa meremehkan terdengar.

"Cut the crap, Gwen. Tell us what you want," potong Kallista dingin.

Gwen berdeham," Ehm, kalau Manda masih minat ngerasain kalah di depan umum, proposal acara kalian ditunggu paling lambat Kamis depan jam lima sore. Langsung serahin dan presentasi di depan Miss Tricia. Yup, selamat dibantai sama owner sekolah kita ya, Losers!"

Biasanya aku akan melonjak dan gatal membalas omongan taja Gwen. Namun, berhubung jiwaku sedang gersang dan kering kerontang seperti pasir Gurun Sahara, aku hanya bisa bungkam.

"Bales dong, Man," bisik Kallista, memberikan isyarat dengan gestur tangan yang mengajakku rusuh.

Aku menggeleng pelan, kemudian menunduk dalam. Aroma melon segar memenuhi ruang penciumanku. Harum ini, benar saja, Lily berpindah duduk di sampingku. Ia kembali merangkulku dan membisikkan kata-kata motivasi, "Manda kuat, Manda bakal baik-baik aja. Manda akan bahagia."

Air mataku kembali menetes. Mengapa aku jadi serapuh, sehancur, dan semenyedihkan ini? Bukan saat aku dulu memergoki pengkhianatan suamiku, namun saat apa yang selama ini membuatku kuat berdiri, porak poranda begitu saja karena keegoisanku sendiri.

"Manda, sudahlah. Kamu itu cuma burung gereja yang sayapnya tinggal sebelah. Jangan mimpi bisa mengalahkan rajawali terkuat yang menguasai angkasa. I'm perfect and you are not even near myself on the worst day," pamer Gwen begitu pongah.

"Eh, jaga mulut lo, Mak Lampir! Lihat aja, siapa yang nanti tertawa belakangan. We ain't losers!" teriak Kallista, lalu menutup sambungan ponsel sambil menggeram keras.

De Emaks Cadas (18+) [COMPLETED]Where stories live. Discover now