[8] Stay, I Missed You

1.8K 190 5
                                    

Sejarah percintaan seorang Amanda Btari Saraswati bisa dibilang lebih epik dari Roro Jongrang yang minta dibuatkan seribu candi dalam semalam, atau Nobita yang bertahun-tahun berharap cintanya pada Shizuka akan berbalas. Berapa kali aku benar-benar merasa suka dan jatuh cinta dengan cowok, bisa dihitung dengan jemari di sebelah tangan saja.

Sebelum Mike yang bikin aku jungkir balik karena cinta, di hatiku hanya ada Justin Timberlake. Heh, jangan pura-pura terjengkang seperti Stephen Chow deh, kamu! Memang aku seaneh itu soal hati. Era pra-Mike, semua cowok terlihat sama: gatel, ganjen, dan geuleuh (ini istilah bahasa Sunda gaul yang artinya kurang lebih 'menjijikkan'). Aku jadi berpikir, jangan-jangan Mike memang punya susuk, sehinga sifat 3G yang sebenarnya juga melekat pada dirinya, bisa sukses terabaikan olehku sampai belasan tahun lamanya. Shit!

Jangan salah, aku termasuk supel dan mudah bergaul. Tetapi, aku masih tahu batasan yang jelas untuk tidak memberi harapan palsu, apalagi membiarkan cowok baper dan jadi drama lantaran merasa di-friendzone olehku. Nehi!

Jadi, sebenarnya, kekikukan dan kecanggunganku menghadapi Janu yang terang-terangan menunjukkan minat, sangatlah bisa dimaklumi. Di satu sisi aku menghargai cara Janu yang seperti mencari celah supaya aku tidak mendadak kabur karena pedekate terlalu agresif. Namun, entah apa karena saklar di tubuhku juga butuh dinyalakan kembali, terkadang aku mati-matian menahan supaya tidak asal menerkam Janu saking merasa gemas dengan kehangatannya.

Syukurlah wahai bumi dan langit, sejauh ini pengendalian diriku masih sangat bisa diandalkan. Mungkin penyesalanku waktu membiarkan diriku lepas kendali berujung pada kesalahan memilih pasangan dan pernikahan yang belum waktunya terjadi, membuatku lebih waspada. Sewaspada membuat bunker perasaan di dasar hatiku yang trauma akan gempa perpisahan.

Ya ampun, kok aku terdengar seperti lirik lagu cinta Melayu, sih?

Oke, kembali ke pertemuan canggungku dengan Janu di lobi kantor. Kalau saja Janu tidak membuka percakapan, sepertinya aku akan terus terpaku dalam diam.

"Aku harus ke Bandung. Marble bakal buka cabang franchise di sana. Teman-temannya Mario nanti yang pegang, tapi mereka mau interiornya langsung aku yang desain, biar sama," jelas Janu. Tatapan mata teduhnya menembus ke dalam bola mataku.

"Balik kapan?" tanyaku cepat. Telanjur basah, aku telat menyadari bahwa reaksiku terlalu berlebihan, seperti pacar ogah LDR-an. Padahal kami bukan pasangan juga, kan?

"Sabtu sore udah di Jakarta lagi, kok. We still have that barbecue date, right?" Janu tersenyum simpul. Aku? Cuma bisa cengar-cengir seperti kucing di cerita Alice in Wonderland. Makin kelihatan bego saja ekspresiku.

"Oya, Manda. Nanti sore ada meeting SPF ya? Belinda nanti yang bakal dateng seperti biasa. Bagus deh, aku ada alasan lagi buat kabur."

Kalimat terakhir Janu membuatku terperanjat. Aku baru sadar betapa sebenarnya Janu sendiri juga membangun tembok yang sama seperti aku dulu. Ia tetap membangun hubungan baik dengan orang-orang, namun ada pembatas jelas mengenai privasinya. Pantas saja emak-emak heboh banget kalau ada Janu. Soalnya, sulit sekali ada kesempatan untuk bisa berbicara pribadi dengan pria jangkung itu.

Benar-benar deh, aku melewatkan segala detail perburuan informasi dan keberadaan Janu dulu. Yah, lagipula, buat apa aku berminat dengan lelaki lain, sementara ada suamiku yang walaupun menyebalkan, tetap dialah yang jadi siraman perhatian utamaku. Begitu pikiranku dulu, sih.

Sekarang? Selamat datang gita cinta di dunia asmara, Amanda! Coba periksa, apa di jidatmu sekarang ada jerawat gebetan mulai nongol!

Janu menyerahkan sebuah paper bag yang dibawanya, "Ya, udah, aku cabut dulu. Kopinya aku bawain satu aja, biar kamu tetap inget minum air putih. Satu lagi ada chicken salad, buat kamu ngemil sehat."

De Emaks Cadas (18+) [COMPLETED]Where stories live. Discover now