18

3.9K 191 23
                                    

Matahari sudah menampakkan sinarnya yang terik. Tapi Ana masih terlihat memejamkan matanya. Sepertinya Ana masih sangat lelah. Baru sekitar dua jam yang lalu Ana tertidur karena menunggu Daniel pulang.
"Daniel..."
Tiba-tiba Ana tersentak dari tidurnya.
Ana melihat disekelilingnya tapi tidak ada tanda-tanda Daniel berada di kamar itu. Bahkan di bagian sisi tempat Daniel biasa tidur masih terlihat rapi.
Ana kemudian segera turun dari tempat tidurnya dan keluar dari kamarnya.
Ana menuruni tangga dan menuju ruang makan. Tapi dia tidak menemukan seorang pun di ruangan itu.
Dan kemudian Ana menuju ke dapur, untuk mencari Maria.
"Maria..."
"Ya Nyonya?"
"Ehm..." Ana ingin bertanya kepada Maria apa dia melihat Daniel pagi ini? tapi sepertinya Ana ragu untuk menanyakan.
"Tidak. Tidak jadi," Ana tidak ingin Maria berfikir ada masalah antara dirinya dan Daniel.
"Ya Nyonya."
Kemudian Ana segera keluar rumah untuk mencoba melihat mobil Daniel.
"Ana!" panggil Kevin.
"Oh, hai... Aku pikir kau sudah pergi," kata Ana.
"Belum. Aku masih mengecek kondisi mobilku."
"Apa ada masalah?"
"Tidak," jawab Ana singkat.
"Apa kau mencari Daniel?"
"Ehm... ya... Apa kau melihatnya?"
"Tidak. Sepertinya dia tidak pulang. Ehm... Ana... maaf aku bertanya. Apa kalian ada masalah?"
Ana sebenarnya enggan menjawab pertanyaan Kevin. Tapi percuma menutupinya dari Kevin. Karena kemungkinan Kevin sudah mengetahui permasalahannya dari Daniel sendiri, batin Ana.
"Hanya sebuah salah paham. Aku ingin menjelaskannya tapi sepertinya Daniel masih marah."
"Aku tidak tau Ana. Sepertinya Daniel tidak sekedar marah tapi sangat... sangat... marah. Aku harap kalian berdua bisa segera menyelesaikannya."
"Ya terimakasih. Kira-kira kau tau dimana Daniel sekarang?"
"Aku tidak tau pasti. Tapi Daniel tipe orang yang tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Sepertinya dia ada di kantornya sekarang ini."
"Oke terimakasih," jawab Ana dan segera berbalik untuk masuk ke dalam rumah.
"Kau mau ke kantornya? Aku bisa mengantarmu!"
"Tidak. Terimakasih. Kali ini aku mau sendiri."
"Oke. Baiklah."
"O ya... tentang perkataanku yang kemarin. Soal aku bilang lebih suka melihat kalian membenci satu sama lain. Aku tidak sungguh-sungguh. Aku tidak bermaksud. Kau tau maksudku bukan?"
"Iya aku tau," jawab Ana singkat.

*
Ana sudah bersiap untuk pergi.
"Kau yakin tidak mau aku antar?" tanya Kevin.
"Terimakasih Kevin. Tapi tidak, aku ingin menyelesaikan semuanya sendiri."
"Oke. Good luck!"
"Terimakasih."
"Pak Andi bisa saya minta kuncinya?"
"Hah? Tapi Nyonya? Nyonya ingin berangkat sendiri?" Pak Andi terlihat sedikit terkejut karena sepertinya Ana ingin menyetir mobil sendiri.
"Iya."
"E... tapi Nyonya?"
"Pak saya bisa menyetir mobil sendiri. Jangan khawatir!"
"Tapi Nyonya..."
"Berikan saja Pak. Saya yang bertanggung jawab," sela kevin dengan tegas.
Pak Andi pun tidak bisa berkata lagi dan langsung memberikan kunci mobil yang di bawanya kepada Ana.
"Terimakasih," kata Ana lirih sambil tersenyum kepada Kevin.
"Pastikan saja kau selamat," kata Kevin dengan perasaan khawatir. Sebenarnya Kevin tidak terlalu yakin untuk membiarkan Ana pergi sendiri. Tapi sepertinya Ana sangat bersikeras sehingga Kevin tidak mempunyai pilihan lain.
"Oke... bye..."
"Ya," jawab Kevin singkat sambil melihat ke arah Ana.
Kemudian Ana segera masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesinnya. Tidak menunggu lama  Ana langsung melajukan mobil itu keluar kejalanan.

*****
Ana turun dari mobil setelah memarkirkan mobilnya di halaman parkir kantor Daniel.
Kemudian Ana berjalan menuju ke arah lift, tapi tanpa disengaja Ana melihat sebuah mobil sedan mercy hitam yang sangat dikenalnya. Tiba-tiba hati Ana terasa panas dan batinnya menjadi bergejolak. Dia tidak menyangka bisa melihat mobil itu kembali disaat-saat seperti ini. Apalagi Ana melihat mobil itu terparkir di parkiran kantor Daniel.
Kemudian tanpa menunggu lama lagi Ana segera memasuki lift untuk menuju lantai kantor Daniel. Di dalam lift itu Ana berusaha mengatur nafas untuk menenangkan gejolak di dalam hatinya. Ana ingin bersikap tenang dihadapan Daniel meskipun hatinya sekarang ini ingin sekali berontak.
Ana melangkahkan kakinya dengan tegap dan wajah yang terlihat tanpa senyuman ketika mulai memasuki lantai dimana kantor Daniel berada.
"Aku ingin bertemu Tuan Daniel," kata Ana kepada receptionis.
"Apakah anda sudah ada janji sebelumnya?" tanya receptionis itu tanpa tau siapa Ana.
"Apa kau baru di sini?"
"Iya saya baru di sini Nona."
Tanpa ingin menjelaskan siapa dirinya, Ana yang sudah tidak sabar bertemu dengan Daniel kemudian segera meninggalkan tempat itu untuk langsung menuju ke ruangan Daniel.
"Nona... Nona... anda tidak bisa bertemu dengan Tuan Daniel begitu saja," kata receptionis itu sambil berusaha mengikuti langkah Ana.
Terlihat Ana terus saja melangkah tanpa menggubris receptionis itu.
"Ada apa ini?" kata sekretaris Daniel sambil langsung berdiri melihat kedatangan Ana bersama seorang receptionis dibelakangnya.
"Aku ingin bertemu Daniel sekarang!" kata Ana dengan nada sedikit ketus.
"Maaf... Tapi Tuan Daniel tidak bisa ditemui sekarang," jawab sekretaris itu.
"O ya? Kenapa aku tidak bisa menemuinya?"
"Tuan Daniel masih ada tamu. Mungkin anda bisa menunggu sebentar agar bisa saya tanyakan ke beliau!"
Ana menghela nafas dan wajahnya terlihat mulai sangat jengkel sekali.
"Dengarkan kalian berdua! Aku akan masuk keruangan itu, tanpa harus menunggu persetujuan kalian atau Daniel sekalipun. Karena kenapa? Karena aku isteri Daniel. Dan jika kalian masih ingin bekerja di sini! sebaiknya jangan halangi aku! Kalian mengerti?!" tegas Ana dengan penuh emosi.
Kedua wanita itu pun langsung saling berpandangan dengan ekpresi terkejut dan ketakutan.
Kali ini Ana sepertinya tidak bisa menahan gejolak emosi di dalam hatinya.
Akhirnya receptionis dan skretaris itu dibuat terdiam oleh Ana tanpa bisa berbuat apa-apa. Dan Ana pun dengan leluasa segera melangkahkan kakinya menuju ke ruangan Daniel tanpa ada yang menghalanginya lagi.
*
Ana membuka pintu ruangan Daniel, dan dengan raut wajah tanpa terlihat terkejut melihat sosok Jennifer yang sedang duduk di sofa bersama Daniel.
"Oh... Nyonya Daniel Stewart. Senang bisa bertemu anda lagi," sapa Jennifer dengan senyum yang mengembang.
Sedangkan Daniel terlihat diam dan sepertinya enggan menanggapi kedatangan Ana.
"Tidak usah berbasa-basi! Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ana dengan nada ketus.
"Aku? Aku sedang berbicara sesuatu hal dengan Daniel. Tapi aku rasa itu tidak penting untuk kamu tau," jawab Jennifer masih dengan senyum yang mengembang. Dan tentu saja senyuman Jennifer itu tidak dengan tulus.
"Jika tidak penting, sebaiknya kau segera pergi dari ruangan ini!"
"Kau memerintahku? Kau bisa galak juga ternyata. Pantas saja Daniel tidak ingin pulang ke rumahnya," sindir Jennifer.
"Apa maksudmu?"
"Kau lebih tau daripada aku bukan?" jawab Jennifer seperti ingin menantang Ana.
"Daniel! Apa kau mengatakan sesuatu padanya?" tanya Ana sambil menatap ke arah Daniel.
"Aku tidak mengatakan apa pun," jawab Daniel singkat sambil berdiri.
"Jadi apa yang kalian lakukan berdua di sini?"
"Ini tidak ada hubungannya denganmu!" potong Jennifer.
"Apa katamu?" kata Ana dengan nada tinggi.
"Kau dengar apa kataku!" jawab Jennifer semakin menantang.
"Sudah! Cukup!" tiba-tiba Daniel memotong dengan nada tinggi.
"Jennifer sebaiknya kau pulang sekarang! Sudah tidak ada lagi yang perlu kau khawatirkan tentang aku. Terimakasih atas perhatianmu. Tapi aku harus kembali bekerja."
"Tapi..."
"Jenn... Tolong!" Tegas Daniel kepada Jennifer dengan tatapan tajam dan serius yang sudah menjadi cirikhasnya.
Jennifer pun tanpa bisa berkata lagi segera mengambil tas nya dan langsung melangkah keluar dengan perasaan kesal.
Brakkk....
Terdengar suara pintu yang sengaja di tutup dengan kasar dan keras.
"Apa kau mengundangnya kesini?" tanya Ana.
"Aku rasa kau datang kesini bukan untuk menanyakan hal itu. Apa yang kau inginkan?" Tatapan Daniel terlihat sangat tajam. Tatapan itu mengingatkan Ana, pada awal pernikahan mereka. Tatapan tajam, dingin dan tanpa perasaan. Sepertinya Ana harus kembali berhadapan dengan seseorang yang sangat asing baginya.
Ana terlihat terdiam dan tidak langsung menjawab pertanyaan Daniel. Sebenarnya Ana sangat ingin tau tentang kedatangan Jennifer di kantor Daniel. Tapi mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk membahas hal tersebut. Terlebih Daniel masih bersikap dingin kepadanya.
Otak Ana terus berfikir bagaimana cara mengawali pembicaraan dengan Daniel, agar Daniel mau menerima penjelasannya.
"Jika tidak ada hal yang penting, sebaiknya kau pulang! Banyak yang harus aku kerjakan."
Ana menghela nafas sebelum menjawab Daniel.
"Aku ingin bicara tentang masalah kita," kata Ana sambil menatap Daniel.
Daniel hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Dia hanya menatap Ana dengan tatapan dingin  dan tajam.
"Aku tau aku bersalah. Tapi yang terjadi tidak seperti yang kau pikirkan. Aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Tony."
"Kau ingin aku percaya hal itu?"
"Aku mohon... aku memohon padamu Daniel! Tolong percayalah! Berilah aku kesempatan!" mata Ana mulai terlihat berkaca-kaca.
"Aku tidak ingin mendengar hal ini lagi! Sebaiknya kau pulang!" kata Daniel dengan ekspresi dingin dan berbalik menuju meja kerjanya.
"Pergilah! Tidak ada yang bisa kita bicarakan lagi!"
"Daniel..." Ana meraih lengan Daniel dan membalikkan badan Daniel untuk melihat ke arahnya.
"Lihat aku Daniel! Lihat mataku! dan katakan padaku, kau sudah tidak mencintaiku lagi!" air mata Ana pun mulai mengalir membasahi pipinya.
Daniel hanya bisa diam. Dia tidak kuasa melihat air mata Ana. Tapi hatinya masih terasa sakit ketika mengingat kejadian ciuman itu.
"Katakan sesuatu Daniel. Aku mohon! Jangan memintaku untuk pergi! Aku ingin kita segera menyelesaikan masalah ini!" kata Ana dengan segala kerendahan hatinya kembali memohon kepada Daniel.
"Apa kau sudah tidak mencintaiku lagi?" tanya Ana sekali lagi.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu. Apa kau pernah mencintaiku?"
"Aku sangat mencintaimu...," jawab Ana dengan air mata yang terus mengalir di pipinya.
"Bohong!!" kata Daniel dengan nada tinggi dan keras sambil menghempaskan tangan Ana dari tangannya.
"Jika kau mencintaiku, kau tidak akan pernah melakukan hal seperti itu!! Kau melakukan ciuman itu dengan sepupuku dan di dalam rumahku. Dan aku melihatnya tidak hanya satu kali tapi dua kali. Mungkin bukan kau yang mengawali ciuman itu tapi kau membiarkan hal itu terjadi. Dan sekarang kau meminta aku percaya kalau kau mencintaiku??" wajah Daniel terlihat memerah. Suaranya keras dan tinggi ketika mengatakan hal itu.
Daniel terlihat sangat emosi. Dia tidak bisa menahan luapan kemarahan yang sedang menghinggapi hatinya. Daniel terlihat sangat kecewa dan sangat putus asa. Dia telah menyerahkan hatinya untuk mencintai Ana, tapi pada akhirnya Ana lah yang membuat hatinya menjadi terluka dan hancur.
"Damn... Ana... Jangan membodohi aku! Aku tidak tau apa yang kau rencanakan. Tapi jika kau merencanakan untuk membalas perlakuanku dahulu kepadamu... maka kau berhasil. Jika kau ingin membuat hatiku terluka... kau juga berhasil. Jadi sebaiknya kau pergi sekarang! Semuanya sudah berakhir! Lakukan apa pun yang kau inginkan. Kau bebas sekarang!" Daniel memalingkan mukanya, air matanya pun mulai menetes tapi Daniel sekuat tenaga untuk menahannya. Setiap ucapan yang keluar dari mulutnya menambahkan sayatan-sayatan luka di hatinya.
"Maafkan aku... aku..." kata Ana dengan terbata-bata.
"Aku mencintaimu. Tapi apa yang kau lakukan sudah menghancurkan semuanya!"
"Jika kau mencintaiku kenapa terlalu sulit bagimu untuk memaafkan ku? hah? Kenapa kau tidak ingin aku bertahan bersamamu? Kenapa kau ingin melepaskanku?" Suara Ana mulai meninggi dan air matanya pun terus saja mengalir.
"Daniel... aku selalu bertahan bersamamu. Apa kau tidak bisa melihat itu?"
"Aku tidak bisa melakukan hal ini," kata Daniel sambil berjalan menuju pintu keluar. Sepertinya Daniel tidak tahan harus berhadapan dengan Ana dalam situasi seperti ini. Daniel ingin segera keluar dari ruangan itu. Saat ini hati dan pikiran Daniel saling berlawanan. Sebenarnya jauh di dalam hatinya Daniel tidak kuasa menahan untuk memeluk Ana saat ini. Tapi pikirannya sedang mendorongnya untuk berbuat sebaliknya.
"Berhenti! Jangan pergi! Jangan melangkah lagi! Aku sudah memohon kepadamu dan aku tidak akan mengulanginya lagi untuk kedua kali."
Daniel menghentikan langkahnya dan berbalik pelan melihat ke arah Ana.
"Mungkin aku tidak cukup baik untukmu," kata Daniel dengan suara lirih.
"Jadi hanya seperti ini? kau akan membiarkan aku pergi dari hidupmu?"
" Kau pantas mendapatkan pria yang lebih baik. Aku yakin Tony bisa membahagiakanmu..." suara Daniel terdengar lirih dan bergetar.
"Damn Daniel... Aku tidak ingin Tony atau pria lainnya. Apa kau sengaja ingin membuangku? Apa ini karena Jennifer?"
Daniel terlihat terdiam sesaat. Daniel kemudian menundukkan kepalanya dan berusaha menahan air matanya.
"Ini sudah berakhir!!" suara Daniel terdengar lirih dan dalam. Bibirnya bergetar saat mengatakan hal itu. Ada kepedihan yang tersirat dari suaranya.
"Baiklah kalau begitu! Aku mengerti! Semua selalu tentang dirimu dan perasaanmu." Ana menghela nafas dan mengusap air matanya.
"Selamat tinggal!" kata Ana sambil mengusap air matanya dan kemudian langsung melangkah pergi, keluar dari ruangan itu.
Daniel tidak sedikit pun ingin menghentikan langkah Ana. Yang dilakukannya hanya melihat Ana pergi begitu saja dari hadapannya.

Anastasia Lee ( One Heart  One Love  One Destiny )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang