Ide Gila

8.9K 353 10
                                    

"Sebaiknya kamu pertimbangkan saran dari saya." Lelaki berkemeja biru dengan motif garis-garis kecil hitam di balik jas putih menyerahkan amplop cokelat besar pada perempuan yang duduk di hadapannya.

Hana menerima hasil medical check up-nya minggu lalu dengan tangan gemetar. Keraguan tampak begitu jelas dari kedua mata yang menyorot nanar.

"Saya harap kamu cepat mengambil keputusan," kata lelaki itu lagi.

Terdapat tulisan bordir dengan benang hitam di jas putih yang dipakainya, dr. Alodius Abraham. Lelaki jangkung berbadan atletis itu meletakkan tangan kiri di atas meja sedang tangan kanan memainkan bolpoin. Mengetukkan benda tersebut ke atas meja beberapa kali, dia meneliti ekspresi perempuan di hadapannya.

Lelaki berusia tiga puluh satu tahun itu memandang lekat mata Hana yang kini tampak berkaca-kaca. Meski hal itu sudah biasa terjadi di sepanjang karirnya, tetapi tetap saja pemandangan yang dia hadapi saat ini mengetuk nuraninya sebagai manusia.

Bram—panggilan lelaki itu,—menjatuhkan tatapan iba pada perempuan yang sudah dua kali ini dia temui di ruangannya. Meskipun sebenarnya mereka pernah bertemu sebelumnya di suatu keadaan berbeda. Satu kali di masa lampau, sekitar empat tahun yang lalu.

Hana diam, dia tidak tahu harus berkata apa. Speechless, shock. Wajahnya pias sepucat mayat. Bibirnya bergetar seperti menahan gigil kala diselimuti hawa dingin. Tubuhnya mulai berguncang, dia tremor.

Mulut Hana perlahan terbuka, tetapi tak lama kemudian menutup lagi. Apa yang hendak dia utarakan, tertelan kembali. Tenggorokannya cekat, mengering bagai gurun Sahara. Suaranya menghilang entah ke mana. Kosakata yang tersusun di benaknya tenggelam bagai tersapu air bah. Ada ketakutan yang menggedor di relung hati, membuat dadanya mendadak nyeri dan ngilu.

Bram membetulkan letak kacamata minusnya. Bibirnya yang tipis lalu membentuk sebuah garis datar. Beginilah setiap kali dirinya harus menguak fakta. Lawan bicaranya sudah pasti tidak siap meskipun sebelumnya pasti sudah menduga-duga. Pemandangan yang sangat tidak dia sukai, tetapi—sialnya—justru seringkali harus dia saksikan sepanjang pekerjaannya.

"Lebih baik sampaikan hal ini sama keluarga kamu secepatnya dan rundingkan langkah seperti apa yang akan diambil. Operasi dan kemoterapi mungkin alternatif terbaik untuk diambil saat ini. Itu saran saya."

Hawa dingin dari penyejuk udara di ruangan bercat putih itu tak mampu menghalau rasa panas yang tiba-tiba menyergap Hana. Peluh sebesar biji jagung mengalir turun ke tengkuk dan terus meluncur melewati tulang belakang, meninggalkan ngilu di ujung tulang ekornya.

Hana menghela napas berat. Tangan kanannya meremas tepian kursi mengumpulkan kekuatan yang menyusut. Kemudian dia berdiri dengan segenap kekuatan yang tersisa dan mengulurkan tangan kanan pada lelaki berjas putih. Tangan kirinya meremas pelan amplop hingga membuat tepiannya kumal.

"Terima kasih, dokter Bram. Aku permisi dulu," pamit Hana seraya berlalu. Dia membuka pintu kemudian menutupnya kembali dengan pelan.

Bram berdiri ingin mengejar Hana, tetapi asistennya tiba-tiba masuk. Masih ada satu pasien menunggu giliran bersiap memasuki ruang prakteknya.

Bram mendengus pelan, kembali memasang senyum saat berhadapan dengan pasien terakhirnya. Dia hanya berharap Hana masih di luar sana ketika dia sudah menyelesaikan pekerjaan. Bram ingin bicara serius dengan perempuan itu di luar jam kerja.

Hana yang baru saja keluar dari ruangan periksa Bram di Rumah Sakit Husada berjalan terseok dengan pandangan kabur karena deras air mata yang luruh tanpa bisa lagi ditahan. Amplop berukuran besar berlogo rumah sakit masih dalam genggaman. Amplop itu lalu dia peluk erat. Pandangannya nanar ke depan, jalannya terhuyung limbung. Kakinya seakan tak bertulang, melumer bagai keju mozarella yang terpapar suhu panas.

Hana duduk di sofa panjang ruang tunggu yang sudah sangat sepi. Bahunya merosot hingga berguncang seiring tangis yang menjadi.

Penjelasan dari Bram barusan meluluh-lantakkan hatinya. Air mata berlomba terjun dari kelopak, menganaksungai membasahi wajah.

Dunia seakan berhenti berputar, pasokan udara menipis menyesakkan dada. Bagi Hana, dunia ini sudah kiamat. Hingga dia berharap mati saja tanpa perlu merasakan sakit yang lebih lama.

Operasi? Apa dia akan mengambil alternatif pengobatan itu? Setahu Hana, dari berbagai cerita yang sering dia dengar, justru operasi seringkali malah memperburuk keadaan. Memperparah penyakit dan membuat sel kanker semakin cepat menyebar. Entahlah! Pikirannya kalut bagai untaian benang kusut.

Kemoterapi? Berbagai macam efek samping dari obat-obatan yang digunakan dalam kemoterapi membuatnya ngilu. Membayangkan saja sudah membuat nyalinya ciut. Hana semakin kalut. Pikirannya semakin carut marut.

Hana terpekur, tergugu dengan sebelah tangan membekap mulut. Dia tak ingin satu isakan pun lolos dari bibirnya.

Air mata yang baru saja terjun dari sudut mata dihapus kasar dengan telapak tangan.

Tiba-tiba terbesit sebuah ide. Entah itu pemikiran yang bijak, konyol atau bahkan sebuah kebodohan. Yang jelas ini suatu kegilaan. Kegilaan terakhir yang akan dia lakukan di sisa waktu yang dia punya. Keegoisan terakhir yang akan dia lakukan sebelum akhirnya menutup mata.

"Aku harus menemukan pengganti untuk Dimas secepatnya. Ya, secepatnya! Aku gak mau Mas Dimas dan Arka terlantar. Agar aku bisa pergi dengan tenang. Seenggaknya aku yakin ninggalin mereka di tangan orang yang tepat," cetusnya perih.

Wajah pucat Hana tengadah menghadap langit-langit bercat putih dengan jajaran lampu yang menghasilkan cahaya benderang menyilaukan, berharap upaya itu bisa menghentikan laju air mata yang terus saja mengalir. Dia menarik napas dalam sebelum akhirnya karbondioksida dibuang kasar dari lubang hidung.

Satu nama muncul di benaknya, Nefertari Raina. Perempuan itu harus mau menolong, untuk yang terakhir kali. Benar-benar untuk yang terakhir kali!

"Demi Dimas dan Arka," putusnya lirih.

"Raina harus mau,"  sambungnya dengan suara tercekat meyakinkan diri sendiri. "Raina pasti mau!" Hana mengangguk yakin. Suaranya kian surut tertekan rasa putus asa yang begitu kuat. Isak yang tadi ditahan akhirnya lolos.

(Tak) Sempurna ✅Where stories live. Discover now