Keegoisan yang Mutlak

2.8K 251 21
                                    

Raina membenahi duduknya. Di atas meja di hadapannya sudah tersaji jus alpukat dan cheese-chocolate toast kesukaannya, padahal dia sama sekali belum memesan apa pun.

Raina mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe dengan konsep industrial mewah. Penggunaan kayu dan besi hitam sebagai material utama, menjadikan desain interior kafe itu terlihat maskulin dan modern. Pencahayaan tempat itu mengenyahkan segala kekakuan yang diakibatkan oleh pemilihan bahan. Cahaya lampu berwarna kuning yang memendar membuat tempat itu terasa hangat, nyaman dan Instagramable khas masyarakat kekinian.

Tempat itu tidak ramai, tetapi cukup membuat Raina tenang karena bukan pengunjung satu-satunya. Raina lalu menunduk, meremasi ujung hijab yang terdapat bandul manik berbentuk bola. Cukup lama dia terdiam. Usai menghela napas panjang diam-diam, dia pun bertanya, "Jadi, kenapa Mas Dimas ngajak aku ketemu?"

Dimas menyesap kopi dari cangkir putih. Asap yang semula meliuk-liuk di atas cairan hitam pekat, kini sudah terlihat samar. "Aku yakin Hana sudah bicara sama kamu sebelumnya. Jadi, aku to the point aja. Kamu mau mengabulkan permintaannya, 'kan? Dia janji mau berobat asal kita menikah," ungkapnya lugas.

Raina mendongak, mencoba membaca ekspresi Dimas. Sayangnya, lelaki itu lebih memilih membuang muka pada jajaran lampu yang menggantung di langit-langit. Raina kembali menunduk, sedikit kecewa karena Dimas ternyata sama sekali tidak menoleh padanya.

"Pernikahan seperti apa yang Mas janjikan? Tanpa perlu diberitahu, aku sudah cukup sadar diri kalo Mas terpaksa melakukan semua ini." Raina berusaha tenang. Sekuat mungkin menahan gejolak emosi yang merangkak naik.

Dimas berdecih sebelum menoleh pada Raina dan memberi tatapan meremehkan. Namun, entah kekuatan dari mana, Raina berani membalas tatapan itu dengan keteguhan yang begitu kuat tersirat.

"Semua demi Hana. Kamu sebagai sahabatnya gak mau berkorban? Perempuan seperti kamu harusnya senang. Aku menawarkan sebuah pernikahan, dengan begitu aibmu tertutupi dengan rapat. Andai kita berpisah suatu hari nanti, kamu gak akan lagi ketakutan menikah. Lelaki malang yang nikah sama kamu cuma tau kalo istrinya adalah seorang janda. Keperawananmu gak akan pernah dipertanyakan. Citramu sebagai perempuan baik-baik akan tetap terjaga."

Raina tercenung, gumpalan sesak akibat perkataan tajam Dimas menyeruak tanpa bisa dicegah. Pertahanannya runtuh. Bulir bening mulai merembes dari kedua sudut mata yang bulat. Bulu mata lentiknya basah dalam sekejap.

Kenapa harus selalu mengungkit hal itu, Mas? Raina yang sudah bosan memberi penjelasan, akhirnya memilih diam.

Menyadari Raina menangis meski tanpa suara ternyata tak menggerakkan hati Dimas sama sekali. Rasa iba seolah pergi jauh dari hatinya yang pekat berselimut kebencian.

"Tersinggung?" Dimas mengenyakkan punggung pada sandaran kursi. Sebelah kakinya diangkat dan menumpu pada kaki yang satunya. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Tatapannya semakin mengintimidasi dan bibirnya tersenyum miring penuh penghinaan.

"Oke, aku setuju!" tandas Raina setelah bisa mengendalikan diri. "Tapi, ada syaratnya."

Dimas bertepuk tangan, memandang lucu Raina yang terlihat putus asa.

"Kamu boleh minta apa pun. Rumah? Mobil? Keliling dunia? Uang? Sebutkan!"

Raina tersenyum tipis. "Aku meminta hakku sebagai seorang istri. Dalam hal ini, yang kumaksud bukan hanya nafkah lahir, tapi juga nafkah batin. Aku mau disama-ratakan dengan Hana, Mas Dimas harus adil dalam hal apa pun. Gimana orang-orang mengenal Hana sebagai istri kamu, aku juga mau seperti itu. Aku gak mau dikenal sebagai pelakor apalagi perebut suami orang. Mereka harus tau kalau pernikahan ini terjadi atas kehendak dan izin dari Hana."

"Kamu terlalu banyak maunya."

Raina mengangkat kedua bahu acuh. "Deal or no deal?"

Dimas takjub pada kebulatan tekad Raina. Perempuan itu baru saja tampak begitu terluka dan hancur, tetapi di menit berikutnya dia tampak sekokoh karang.

"Aku gak akan termakan tipu dayamu, bitch!" sergah Dimas meski sebelah hatinya merasa goyah. Ketidakyakinan justru menghantam telak, membuat kepercayaan dirinya luluh lantak.

Raina mengacuhkan perkataan Dimas, memilih bangkit, membenahi barang bawaannya dan meletakkan dua lembar uang berwarna merah di atas meja. "Aku yang traktir." Senyum terulas di wajahnya sebelum berbalik dan melangkah menuju pintu keluar.

Dimas menggertakkan gigi karena merasa terhina dengan sikap Raina. Perempuan itu semakin berani saja. Keangkuhan itu ... seperti bukan Raina yang dia kenal dulu. Ditatapnya lekat punggung perempuan bergamis navy itu hingga sosoknya semakin jauh dan akhirnya tidak terlihat.

Dimas mendesah. Kepalanya serasa mau pecah sekarang. Syarat yang diajukan Raina terlalu berat. Rencana yang sudah disusun bisa hancur berantakan. Tadinya, dia hanya akan menjadikan pernikahan ini sebagai alat agar Hana mau berobat. Bagaimanapun perasannya terhadap Hana, perempuan itu tetaplah istrinya. Hana yang sudah menemani selama ini, dalam keadaan terburuk dan ketika dirinya berada di titik terendah karena pengkhianatan Raina.

Dimas sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak sedikit pun menyentuh Raina. Ada perasaan jijik menelusup ketika membayangkan Raina sudah dimasuki oleh  lelaki lain. Baginya, miliknya adalah miliknya. Tidak ada yang boleh menyentuh selain dirinya.

Lalu jika Raina meminta haknya sebagai seorang istri, apa Dimas masih bisa menahan diri? Sampai saat ini saja, dia masih begitu mendamba. Bahkan ketika dia melakukan hal itu dengan Hana, dia selalu membayangkan Raina yang berada di bawah kekuasaannya.

Shit! Raina betul-betul perempuan ular!

-***-

"Pernikahan itu bukan permainan, Na. Pernikahan itu janji suci yang diucapkan di hadapan Sang Pencipta. Apa kamu yakin? Dimas itu suami temanmu. Ibu gak mau kamu jadi bahan gunjingan." Ajeng membelai lembut rambut Raina yang terurai. Anak semata wayang berusia dua puluh lima tahun itu berebah di pangkuannya.

"Bu, ini jalan satu-satunya. Hana gak mau berobat kalau Na dan Mas Dimas gak nikah."

"Teman kamu satu itu, kok, gak bisa banget liat kamu hidup tenang? Dulu, dia merebut Dimas dari kamu. Sekarang malah ngajak berbagi. Dia anggap Dimas apa? Hatimu ini," Ibu menunjuk dada Raina. "Memangnya gak sakit? Sampai sekarang Ibu masih gak ngerti alasan kamu putus sama Dimas itu kenapa. Bisa-bisanya dia tiba-tiba batalin rencana pernikahan kalian dan mengumumkan pernikahannya dengan Hana di depan keluarga kita saat acara lamaran kalian. Rasa sakit dan malunya itu, loh! Masih belum sembuh dan hilang, Na."

Raina mendengarkan curahan hati Ajeng. Jika ingin jujur, dia pun merasakan hal yang sama. Gunjingan keluarga dan tetangga yang mengatainya sebagai perempuan gagal. Jika kini menerima pinangan Dimas, bisa jadi besok-besok dia menyandang gelar sebagai perempuan gatal. Muntahan kata-kata Ajeng sedikit-banyak membuatnya kembali goyah.

"Waktu itu belum jodoh aja, Bu," kilahnya.

"Terus sekarang jadi berjodoh, gitu?"

Raina bungkam. Perkataan Ajeng menyentil akal sehatnya.

"Istikharah, Na."

(Tak) Sempurna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang