Rasa Bersalah

3K 225 6
                                    

Aroma obat-obatan menyengat menusuk lubang hidung membuat dada yang diliputi rasa bersalah semakin sesak. Tivana memandang sedih pada sosok perempuan yang terbaring di atas hospital bed. Genggamannya mengerat, penuh harap agar sahabatnya segera sadar.

Tivana meraba punggung tangan Raina yang ditancapi jarum infus. Dia mendongak, memandang cairan bening dari kantung infus yang menetes perlahan mengaliri selang. Dia mengembus napas berat, berharap sesak yang mengimpit dada bisa sedikit berkurang.

"Maaf, Rain ... semua ini salahku." Air mata menitik dari pelupuk Tivana yang terpejam. "Andai aku punya kuasa menggagalkan pernikahan kalian." Isak tangis tak bisa lagi dia tahan.

"Cepat sembuh, Rain. Dan, please ... maafin Dimas," bisiknya pada sosok Raina yang terbaring bergeming tak mengindahkan dunia.

-***-

"Aku udah sejak lama jatuh cinta sama kakakmu, Van."

"Uhuk!" Tivana mendelik gusar pada perempuan yang duduk di hadapannya. Dia menarik dua lembar tisu dengan kasar dari kotak persegi panjang di atas meja lalu membersihkan bekas semburan lemonade yang meleleh di sudut bibir.

"Santai, girl!" Perempuan itu duduk bersandar dengan kaki menyilang. Bibir berpoles lipstik magenta itu menyunggingkan senyum lebar.

"Tapi Dimas udah sama Raina, Han! Mereka bahkan berencana menikah." Tivana melempar gulungan tisu ke atas meja. Dia berdecak seraya menggeleng. Sungguh, dia tidak bisa mengerti jalan pikiran perempuan berambut sebahu di hadapannya.

"Rencana itu kepunyaan manusia, tapi Tuhan yang memutuskan. Mereka gak akan bisa menikah, kecuali Raina tega membiarkan satu nyawa melayang."

Tivana tercenung memandang Hana. "Maksud kamu apa?" tanyanya dengan alis bertaut. "Kamu gak niat ngancam Raina dengan percobaan bunuh diri, 'kan?"

Hana terkekeh, kedua matanya berbinar memandang Tivana. Seolah apa yang baru saja diucapkan Tivana adalah sesuatu yang lucu. "Tadi pagi aku ngelakuin tes," terang Hana seraya mengacak isi tasnya. Perempuan dengan dress model sabrina itu meletakkan sebuah benda persegi panjang pipih ke atas meja. "Aku mengandung anak Dimas. Meskipun ini buah dari kesalahan kami berdua, tapi aku yakin Mama kamu akan senang menerima kabar ini."

"Hah? Gila kamu, Han!" Matanya menatap tajam alat tes kehamilan dan wajah Hana bergantian. Gusar dan jijik, entah mana yang lebih dominan.

Hana berdecak. "Bukan cuma aku yang gila, Van. Aku gak mungkin hamil kalo Dimas gak mulai duluan ngajak aku main gila."

"Aku gak tau hati kamu terbuat dari apa," lirih Tivana menatap Hana dengan kekecewaan mendalam. "Lagian gak mungkin Dimas ngajak kamu begituan kalo gak kamu duluan yang kegatalan buka selangkangan."

Hana mengedikkan bahu, tampak tak acuh. Dia meraih gelas tinggi ramping di atas meja lalu meminum jus melon dengan santai. "Lagipula kita sama-sama tau mengenai penyakit Raina. Jangan lupakan penyakit yang diderita Raina bukanlah penyakit yang gampang disembuhkan. Kanker ovarium bukan kayak sakit flu atau demam yang bakal sembuh setelah kita minum obat terus banyak istirahat. Raina bakal sembuh cuma kalo dia melakukan operasi pengangkatan ovarium. Itu tandanya, Raina perempuan cacat. Dengan dua ovarium aja, banyak perempuan yang susah hamil. Apalagi cuma mengandalkan satu ovarium. Itu pun masih belum jaminan karena kita gak tau sampai mana kanker itu menyebar. Bisa jadi malah kedua ovariumnya dibuang."

Tivana melongo mendengar penuturan Hana yang begitu lancar. Seakan tiada beban baginya ketika mengucapkan hal menyakitkan itu. "Tega kamu, Han. Padahal Raina sedang membutuhkan dukungan dari kita. Dia sedang berjuang melawan penyakitnya. Dia bahkan menyembunyikan perihal ini dari Dimas."

Hana menggeleng. "Ini yang disebut takdir, Van. Siapa yang pintar, dia yang terdepan."

"Dimas udah tau perihal kehamilanmu?"

"Cuma masalah waktu. Berita kehamilan ini gak akan lama lagi tersebar, sama seperti kabar mengenai penyakit Raina. Keduanya gak akan bisa disembunyikan terus-menerus."

"You're such an asshole, Han!"

Hana terbahak. "You're welcome, calon adik ipar," ujarnya di sela tawa seolah Tivana baru saja memuji atau mengucapkan terima kasih padanya.

-***-

"Kamu tau gak, Raina masuk rumah sakit ini kemarin malam?" Bram meletakkan mug berisi kopi di atas meja. Aroma minuman berkafein itu begitu kuat menyeruak indra penciuman. Asap putih yang mengepul di atasnya meliuk-liuk, menguarkan aroma menggugah ke penjuru ruang peristirahatan yang tidak terlalu besar.

Badai yang sedang membaca koran segera melipat lembaran kertas besar itu ke atas meja. Atensinya kini terpusat sepenuhnya pada sosok Bram yang duduk menyandar di sisi kiri.

Badai sebenarnya sudah merasa ada yang tidak beres, tetapi dia tidak tahu apa. Sejak semalam dia memang mencoba menghubungi Raina, dengan berdalih perihal sepeda motor yang sudah selesai diperbaiki. Namun, sampai tiga kali melakukan panggilan, Raina tak kunjung menerima teleponnya. Dia hanya mengira jika Raina merasa terganggu dan enggan menjawab panggilan darinya. Atau mungkin saja dikarenakan kesibukan Raina yang luar biasa.

"Raina sakit apa?" tanya Badai seraya memiringkan badan. Dia memelankan suara ketika seorang rekan sesama dokter melintas untuk mengambil snelli yang tergantung di dekat pintu.

"Mau visite, dokter Arum?" tanya Bram berbasa-basi.

Dokter perempuan dengan rambut bergelombang sepanjang bahu itu mengangguk seraya berkata, "Semalam ada beberapa pasien baru. Beberapa orang korban kecelakaan, tapi ada juga yang katanya korban penganiayaan. Sepertinya kasus KDRT, kata suster Ratmina."

Bram mengangguk saja mendengar penjelasan rekan sejawatnya itu. Kedua hal itu merupakan permasalahan yang lumrah dihadapi pekerja kesehatan seperti mereka.

"Mari dokter Bram, dokter Badai."

Bram dan Badai mengangguk bersamaan.

"Jadi, Raina sakit apa?" desak Badai tak sabar begitu di ruangan itu hanya tertinggal mereka berdua.

Bram mengedikkan bahu. "Tivana gak kasih tau. Waktu ketemu di parkiran tadi, dia cuma bilang kalo dia nungguin Raina yang lagi sakit." Bram mengambil gelas kopinya. Bibirnya berhenti di mulut gelas ketika teringat sesuatu. "Coba cek di resepsionis. Kok, firasatku gak enak, ya," katanya meletakkan kembali gelas ke atas meja. Cairan hitam pekat itu tidak jadi diminum padahal sudah mulai mendingin.

"Apa?"

"Dengar, 'kan, kata dokter Arum tadi? Semalam ada pasien baru, korban kecelakaan dan KDRT. Raina mungkin salah satunya."

Badai meneguk ludahnya kelat, bergegas secepat kilat ke bagian lobby.

(Tak) Sempurna ✅Where stories live. Discover now