Dingin

2.3K 227 11
                                    

Raina terpekur ketika membuka mata dan mendapati dirinya tertidur di lantai. Entah sudah berapa lama dia meringkuk tanpa alas di atas marmer yang dingin.

Mas Dimas di mana? Raina mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Dia tidak menemukan sosok Dimas. Kosong, tiada seorang pun di sana selain dirinya. Raina mempertajam pendengaran. Suara gemericik air dari kamar mandi juga tidak lagi terdengar. Berarti Dimas memang sudah meninggalkan kamar.

Raina menghela napas dalam, dadanya terasa begitu sesak. Dia membutuhkan lebih banyak pasokan oksigen. Namun, serakus apa pun dia mengais udara, entah mengapa dadanya justru kian sesak.

Raina tergugu. Yang dia hadapi kini jelas lebih berat, begitu jauh di luar dugaan. Dimas tidak hanya menolak kehadirannya, tetapi bahkan tega menyakiti secara fisik.

Apa aku menyerah saja? Cinta itu sepertinya memang sudah mati untukku. Bulir bening berjatuhan, alirannya menderas seiring ingatan yang silih berganti.

Harusnya dulu aku jujur sama kamu. Kalau sudah seperti ini, percuma menyesal. Raina merutuki diri sendiri.

-***-

"Kamu tulis berapa pun nominal yang kamu mau." Perempuan itu tanpa basa-basi melemparkan buku cek ke atas meja. Wajah cantiknya memancarkan keangkuhan yang tak terbantahkan.

Bersandar nyaman pada punggung sofa, perempuan itu duduk dengan kaki menyilang. Matanya terpatri pada sosok Raina. Dengan tatapan setajam elang, dia menelanjangi Raina tanpa ampun.

"Maksud Mama?" Raina bergidik ketika mengucapkan panggilan itu. Raina tahu benar, perempuan yang duduk di hadapannya saat ini sangat tidak menyukainya. Panggilan itu hanya sebagai bentuk formalitas demi menutupi kebencian pada sosok Raina.

"Kamu tau pasti apa yang saya mau." Perempuan itu memainkan jemari. Tatapannya pada sosok Raina yang menggigil tak sedikit pun teralihkan.

"Tapi kami saling mencintai, Ma," jawab Raina gemetar.

"Cih!" Perempuan angkuh itu berdiri, dengan gusar dia meraup kasar wajah Raina. Jempol dan telunjuk lentiknya menjepit rahang Raina, begitu kuat hingga menimbulkan rasa nyeri dan panas yang menyengat. Matanya menyala, penuh amarah dan dendam di sana.

"Cukup Ibumu saja yang jalang. Seharusnya kamu lebih pintar untuk tidak mengulangi kesalahan orang tuamu."

Raina meneguk ludah perlahan, terasa begitu getir saat cairan kental itu melewati tenggorokan. Raina paham betul apa yang dimaksud perempuan itu. Namun, dia sangat yakin bahwa ibunya tidak bersalah. Menjadi orang ketiga apalagi perempuan perusak hubungan seperti yang dituduhkan tidak sesuai dengan kepribadian ibunya. Lagipula masa lalu kelam itu sudah terkubur dalam, tidak seharusnya kembali diungkit apalagi bersinggungan dengan kisah cintanya saat ini. Dia dan Dimas harusnya bisa bahagia bersama.

"Kamu bisa gunakan uang itu untuk keperluanmu," bisik perempuan dengan gaun selutut itu tepat di depan wajah Raina. "Saya tau betul kalau kamu sedang memerlukan uang. Lagipula ...." Perempuan itu tersenyum sinis sebelum melanjutkan perkataannya, "Saya tidak mungkin membiarkan Dimas menikahi perempuan cacat sepertimu. Dimas adalah pewaris kekayaan almarhum kakeknya. Dia hanya akan menikahi perempuan dengan rahim yang subur serta memiliki latar belakang terhormat."

Wajah Raina dilemparkan kasar hingga tertoleh ke samping. Air mata berjatuhan tanpa bisa ditahan lagi, membasahi wajahnya yang pucat. Bibirnya bergetar, sekuat tenaga bertahan dengan mencengkeram bagian dada kemeja. Penghinaan yang sudah dia terima ini bukan pertama kali terjadi. Dia harap suatu saat nanti bisa meluluhkan hati perempuan di hadapannya.

"Kamu tau? Hana sedang mengandung anak Dimas."

Kilatan petir menyambar tepat ke jantung Raina.

-***-

Raina membeliak. Kegelapan menyambut netranya yang basah. Dia mulai mengatur napas, menghimpun oksigen lalu membuang karbondioksida perlahan. Dadanya yang sesak sama sekali belum terasa longgar meski sudah melakukannya berulang kali.

Raina menghapus jejak basah di sudut mata dengan telapak tangan. Dia bahkan dapat merasakan tubuhnya masih gemetar. Gigil yang sama menyerangnya bertahun lalu, seakan baru saja terjadi.

Luka itu ... masih menganga lebar. Tidak berdarah maupun bernanah, tetapi sakit yang ditimbulkan begitu dahsyat hingga ke sumsum tulang. Berulang kali Raina membubuhi obat bertajuk ikhlas, tetapi luka itu tetap tak kunjung kering. Dia bahkan sudah lama mencoba berdamai dengan sumber rasa sakit.

Mengapapa kejadian itu harus menjadi bunga tidurnya malam ini? Perempuan angkuh itu bahkan telah berpulang setahun yang lalu. Namun, mengapa kepergiannya yang damai tidak juga memberi kedamaian pada hati Raina?

Raina beristighfar, dalam hati memohon ampun atas segala kesalahannya di masa lalu. Dia hanya ingin memulai segalanya dengan baik dan benar saat ini, tetapi kenapa jalan yang dia lalui harus begitu terjal?

Raina meneguk ludah kelat, gusar karena mimpi yang tadi menyambangi tidurnya masih membekas dan mengusik ingatan. Dia melirik jarum pada jam yang terpancang di dinding, masih cukup waktu untuk melakukan sholat malam sebelum waktu subuh datang.

Bergegas bangkit, Raina segera menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Tiap tetes air yang membasahi anggota tubuhnya terasa menyejukkan. Dia berharap rasa sakitnya turut luruh bersama butir air yang jatuh. Entah meluruh ke mana atau pun bermuara di mana, yang penting bagi Raina adalah rasa sakitnya turut terbawa pergi. Pergi sejauh mungkin.

(Tak) Sempurna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang