Karena Terlampau Mencintai?

2.5K 210 13
                                    

Perempuan bertubuh tinggi semampai memunguti pakaiannya yang berserak di lantai. Dengan terburu dia mengenakan pakaian dalamnya. Dress kekurangan bahan yang hanya menutupi dada hingga sebatas bokongnya yang bulat dipakai dengan terus menyuarakan kemarahan dan kekesalan yang merajam hati.

Habis manis sepah dibuang, mungkin begitulah yang perempuan itu rasakan saat ini. Terhina? Sudah pasti. Deretan nama hewan beserta sumpah serapah berupa kutukan, dia tujukan untuk lelaki yang berdiri pongah dengan kedua tangan berkacak pinggang. Semua yang keluar dari mulut perempuan itu dalam bentuk bahasa tanah kelahiran yang sudah pasti tidak akan dipahami lawan mainnya di ranjang selama hampir tiga jam tadi.

Lelaki itu—Dimas Arisatya—mengedikkan bahu tak acuh. Siapa peduli? Mereka hanyalah pasangan one night stand yang tidak sengaja bertemu di sebuah pub. Memasuki kamar untuk bercumbu dan melepaskan birahi sudah menjadi kesepakatan mereka berdua.

"Get out!" seru Dimas dingin, menunjuk ke arah pintu.

"Bastard!" maki perempuan itu dengan jari tengah mengacung tinggi sebelum melangkah keluar dari kamar hotel dengan pencahayaan minim. Dengan kasar dia membanting pintu. Amarah sudah membakar habis dadanya.

Dimas tampak bergeming, pandangannya kosong ke arah pintu. Senyum kecut terukir di wajahnya, menertawai hatinya yang beku.

Dimas berbalik, memandang hampa pada deretan gedung pencakar langit yang memadati kota New York, tempatnya melarikan diri beberapa hari ini. Bukan ke Malaysia seperti dugaan banyak orang, dia sengaja membuat skenario itu agar orang-orang berpikir dia melakukan perjalanan bisnis ke negara tetangga. Padahal, Dimas memerlukan jarak lebih jauh dari hanya sekadar perjalanan ke Malaysia yang dapat ditempuh dalam hitungan beberapa jam saja. Semua dia lakukan untuk menenangkan diri.

Kerlip lampu dan pemandangan lalu lintas yang tidak pernah sepi menjadi pelarian beberapa malam terakhir. Namun, pikiran yang penuh sesak dengan permasalahan yang tumpang tindih, membuat Dimas selalu merasa berat dan kesepian.

Menghabiskan malam dengan bergonta-ganti perempuan layaknya mengganti celana dalam pun tidak bisa membuatnya lupa akan sosok Raina.

Salah satu korbannya adalah perempuan tadi. Dimas tahu benar jika perempuan itu bukanlah wanita penghibur. Perempuan—berwajah khas Asia dengan mata sipit dan kulit putih—yang baru saja meninggalkan kamar hotelnya adalah seorang mahasiswi asal negeri tirai Bambu. Setidaknya itulah yang dia ingat, sebelum minuman beralkohol dan hawa nafsu membawa raib seluruh akal sehatnya. Dimas bahkan melupakan siapa nama lawan mainnya tadi.

Dimas terdampar di kota ini demi menghindari Raina, berupaya memutus rantai perasaan bersalah yang mendera. Dia masih tidak menyangka, dirinya bisa lepas kendali diri seperti itu.

Dimas memandangi telapak tangannya yang gemetar. Telapak tangan itulah yang dia gunakan untuk menyakiti Raina. Bukan hanya sekali, tetapi sudah dua kali. Rasa panas yang menyengat seakan tertinggal di sana, bahkan begitu melekat meskipun dia telah berpuluh—hingga mungkin ratusan—kali membasuh tangan. Dimas merintih dalam hati, penyesalan itu menghukumnya sedemikian rupa.

"Andai dulu kamu gak mengkhianati aku, Rain." Dimas mengepalkan kedua tangan.

Memori di otaknya kembali menayangkan kejadian bertahun silam, saat di mana Hana mendatanginya dan membeberkan segala kebusukan Raina. Dimas tidak dapat menguasai diri dari rasa cemburu dan amarah yang berkecamuk.

-***-

"Jadi, Mas Dimas mau apa sekarang? Apa Mas yakin untuk melanjutkan rencana pernikahan kalian?" Hana duduk di sisi Dimas. Gaun dengan rok melebar yang dia kenakan sedikit terangkat karena posisi kaki yang menyilang.

(Tak) Sempurna ✅Where stories live. Discover now