Berdamai Dengan Hati

2.4K 198 10
                                    

Narti menyambut kedatangan Raina di teras rumah. Senyum lebar tersungging, lega melihat sang istri majikan kembali ke rumah dalam keadaan sehat.

Wajah cantik Raina berseri, meskipun bekas luka di ujung bibirnya masih samar terlihat. Pun lebam bekas tamparan di pipi, membayang sedikit keunguan.

"Selamat datang Mbak Raina," ujar Narti riang, tidak kuasa menahan diri untuk tidak memeluk tubuh Raina. Tidak sadar bahwa tubuhnya habis bermandi peluh usai berkutat dengan pekerjaan rumah.

"Makasih, Mbak." Raina tersenyum mengusap punggung Narti dua kali. Lega karena masih memiliki kesempatan kembali dan bersua usai menjalani perawatan beberapa hari di rumah sakit.

"Ini barang-barangnya, Dik." Badai tersenyum pada Narti yang menatapnya heran. Dua buah tas milik Raina dia letakkan di lantai granit mengilap dekat dengan kursi teras.

"Ah, ya, makasih banyak. Maaf, saya benar-benar merepotkan Mas Badai." Raina menunduk, masih merasa tidak enak hati.

Tivana yang sebelumnya mengatakan akan menjemput, terpaksa membatalkan janji dikarenakan suatu urusan mendesak. Saat Tivana menelepon, Badai masih berada di ruang inap Raina. Badai mendengar sendiri apa yang diucapkan Tivana, membuatnya memiliki alasan untuk mendesak Raina agar mau menerima tawarannya mengantar pulang. Lelaki yang berusia delapan tahun lebih tua dari Raina itu bahkan mengurus biaya administrasi dan membayar tagihan rumah sakit.

"Gak perlu sungkan, saya senang bisa membantu Dik Raina," sahut Badai. Kedua matanya tidak dapat menyembunyikan binar kebahagiaan. "Saya permisi pulang kalo begitu." Badai berpamitan dengan senyum mengembang. Sepasang lesung pipi tercetak dalam di wajah lelaki berkulit sawo matang itu.

"Gak masuk dulu, Mas? Kita bisa minum teh dulu."

Badai menolak tawaran Raina dengan gelengan. Dia tahu benar bahwa Raina hanya sekadar berbasa-basi. Dia tidak ingin mencari masalah dengan Dimas pun menimbulkan masalah baru buat Raina.

Badai tersenyum dan melambaikan tangan pada Raina. Mobil yang dia kendarai melaju meninggalkan kediaman Dimas, membawa hati yang dipenuhi bunga-bunga bermekaran. Selangkah lebih dekat dengan wanita idaman.

"Sepi banget Mbak," tukas Raina celingukan mengedarkan pandangan ke penjuru rumah yang lengang. Menoleh pada Narti yang berdiri di sisi kiri. Perempuan itu sama sekali tidak tampak kerepotan meskipun masing-masing tangannya menenteng tas milik Raina.

Narti mengembuskan napas panjang. "Tuan masih belum balik, Mbak. Nyonya Maya sama Arka juga. Beberapa waktu lalu Nyonya Maya ada nelpon nanyain Mbak Raina, saya jawab aja kalo Mbak dirawat di rumah sakit."

Raina tersenyum mendengar penuturan Narti. "Tapi Mbak gak bilang, 'kan, sama Bu Maya alasan saya sampai dirawat?"

Narti menggeleng. "Nyonya Maya juga gak nanya apa-apa lagi. Telponnya langsung ditutup gitu aja."

Debas keras terdengar lolos. Raina tahu benar bahwa Maya memang tidak begitu peduli padanya. Semua kebaikan yang dilakukan Maya hanya karena perempuan paruh baya itu mengharapkan sesuatu darinya.

Maya ingin Raina datang ke rumah Dimas untuk memperkuat posisi Maya di rumah itu. Siapa pun yang mengenal Dimas, pasti tahu betul watak lelaki itu. Dia tidak segan-segan memutus hubungan dengan orang lain. Maya pasti takut dia tidak bisa bertemu lagi dengan cucu semata wayangnya. Arka adalah pewaris kekayaan Dimas. Jika sampai Dimas memiliki perempuan lain dan ternyata perempuan itu juga memberi Dimas keturunan, posisi Arka terancam.

Sedangkan Raina? Maya pasti mengetahui bahwa Raina pernah mengidap kanker ovarium. Namun, tidak banyak yang mengetahui bagaimana hasil pengobatan yang telah Raina lakukan, termasuk Maya dan mendiang Hana.

"Ada kabar dari Mas Dimas? Mbak tau, kapan rencana dia pulang?" Wajah Raina memerah. Rasa malu menyengat luar biasa. Bagaimana bisa seorang istri tidak mengetahui perihal suami sendiri? Siapa pun yang mendengar pertanyaan Raina akan dengan sangat mudah menerka bagaimana kondisi rumah tangganya.

Narti tersenyum maklum lalu menjawab, "Kata sopirnya Tuan, pulangnya beberapa hari lagi. Pastinya kapan, masih belum tau, Mbak."

-***-

"Kalo kamu begitu terus, bukan hal yang mustahil kalo suatu saat Raina bakal ninggalin kamu."

"Van, kamu tau? Kamu cerewet!"

Dimas mengurut kening dengan telunjuk dan ibu jari. Kepalanya semakin pening. Tidak hanya karena efek alkohol yang ditenggaknya di pub semalam menyisakan pengar, tetapi juga karena mendengar ocehan Tivana selama lebih dari sepuluh menit.

"Mas, kamu berubah semenjak gaul sama Hana. Apa pun yang aku bilang ke kamu tentang Raina, kenapa gak pernah kamu dengar, sih? Raina gak seburuk apa yang dibilang sama Hana. Aku gak tau gimana cara Hana nyuci otak kamu. Aku juga gak tau pasti apa yang dulu dia omongkan ke kamu, sampe bikin kamu segitu bencinya sama Raina. Tapi, mbok, ya, punya otak itu dipake. Jangan mengandalkan cemburu! Pake logika. Tuhan ngasih kamu akal buat berpikir. Jadi cowok, tuh, jangan baperan! Jangan mengandalkan intuisi dan perasaan. Kalo gitu, kamu gak jauh beda sama cewek. Mending potong itu tytyd. Buang semua celana kamu terus ganti pake rok mini."

"Berisik!" Dimas memutus sambungan telepon. Telinganya sakit mendengar perkataan Tivana yang panjang lebar tanpa berjeda. Persis seperti ibu empat anak yang mengomel karena anak-anaknya berulah.

Dasar cewek! Susah banget dilawan. Aku baru ngomong satu kata, dia balasnya langsung seratus kata. Dalam sekali embusan napas pula.

Dimas mendesah, menyibak selimut dan bergegas ke kamar mandi. Rasa kantuknya terbang terusir oleh ocehan Tivana. Otaknya memanas karena perkataan tajam Tivana yang membuka harinya.

Air dingin dari pancuran tercurah memijat kulit kepala Dimas. Dia mengacak rambut kasar. Perkataan Tivana membekas di otaknya. Perasaan bersalah yang susah payah ditepis kembali menyeruak menyesakkan dada.

Sial!

"Aku harus gimana, Rain?" gumamnya dalam kesendirian. "Sulit rasanya maafin kamu. Tapi terus menghindar setelah menyakiti kamu juga gak bisa bikin aku tenang. Tanpa ada yang tau, sebenarnya aku juga ngerasa sakit, Rain. Apa aku harus mulai berdamai dengan hati supaya bisa memulai lembaran baru sama kamu?"

Dimas termangu, berjongkok memeluk diri sendiri di atas air yang menggenang. Dimas berharap, gemericik air mampu membawa jauh keputusasaaan yang melingkupi setiap bilik hatinya. Jauh mengalir menemukan muara bernama kedamaian.

Mungkin memang harus berdamai dengan hati, baru bisa menerima keadaan dengan hati lapang. Dimas merenung, berusaha menepis segala keegoisan yang membungkus amarah. Dia pikir, mungkin inilah saatnya belajar memaafkan. Mengikis kekecewaan yang berkarat.

(Tak) Sempurna ✅Where stories live. Discover now