Demi Hana

3.1K 251 12
                                    

Dimas mengetuk-ngetuk meja kerja dengan ujung telunjuk sehingga menghasilkan bunyi yang konstan. Selama hampir seharian berjibaku dengan tumpukan dokumen, harus dia akui jika pikirannya perlahan teralihkan. Kensentrasinya bubar jalan setelah sebelumnya sempat bercabang. Meski menolak, dia tak lagi bisa memungkiri jika perhatiannya sudah tersita sepenuhnya pada permintaan Hana semalam.

Dimas menggeram frustrasi mengacak rambutnya yang bergelombang dengan kasar.

"Brengsek!" makinya seraya melempar berkas dalam map biru hingga menampar dinding. Dalam sekejap lantai ruangan itu dipenuhi oleh lembaran kertas yang tadi sudah dia periksa dan tanda tangani.

Dimas berdiri dari kursi kebesarannya. Berbalik menghadap kaca-kaca besar, dia berkacak pinggang seolah menantang jajaran gedung pencakar langit.

Suara ketukan pintu tak membuat Dimas berminat untuk membalik badan. Sekretarisnya terkejut melihat lembaran kertas berserak memenuhi lantai. Untuk sejenak perempuan itu termangu di ambang pintu, tetapi setelahnya dia berjongkok cepat lalu memunguti lembar demi lembar kertas yang terhambur. Dalam hati dia merutuki perbuatan atasannya. Namun, atas kesadaran diri penuh, setiap makian dia tahan di ujung kerongkongan.

"Pak, rapat dengan manajer keuangan satu jam lagi," ucap sekertaris Dimas berusaha menarik perhatian atasannya. Dokumen dalam map biru sudah tersusun rapi dan dia letakkan di ujung meja bersama dengan tumpukan berkas lain.

"Atur ulang!" perintah Dimas. "Saya kurang enak badan," sambungnya beralasan.

Perempuan berblazer biru itu mengangguk patuh meskipun dia sadar Dimas tidak melihat perbuatannya.

"Bapak perlu sesuatu? Obat atau kunjungan ke dokter? Saya bisa aturkan sebuah janji temu."

Dimas menggeleng. "Saya mau pulang awal dan beristirahat. Tolong kosongkan jadwal hari ini. Kamu atur semuanya dan kabari saya perubahannya."

"Saya permisi." Sekretaris Dimas undur diri dan berjalan cepat meninggalkan ruangan, meninggalkan Dimas yang masih bergeming membelakangi. Dengan perlahan dia menutup pintu bercat cokelat, meninggalkan Dimas yang semakin tenggelam dalam kegundahan.

"Menikah dengan Raina?" gumam Dimas mengukir senyum miring.

Dulu, itu adalah mimpinya. Namun, tidak lagi setelah pengkhianatan yang dilakukan Raina. Di mata Dimas, Raina tidaklah sebaik penampilannya. Kerudung yang kini membalut menutupi rambut memang membuat Raina semakin cantik, tetapi bagi Dimas itu hanyalah kedok untuk menyembunyikan segala kebusukan.

Cih! Munafik!

"Engh ... pelan-pelan ...." lenguhan terdengar.
Raina bergerak gelisah di pangkuan Dimas. Kancing blus sutranya sudah tercerai tiga buah. Dada yang menyembul setengah, menyulut gairah Dimas yang semakin gencar mengecupi leher jenjangnya. Aroma sweet vanilla terhidu memenuhi rongga pernapasan. Dimas hampir kehilangan kontrol jika saja Raina tidak menahan pergerakan tangannya yang ingin meremas bagian dada yang sedari tadi begitu menggoda.

Dimas menggeleng, mengusir sepenggal kenangan yang tiba-tiba mampir.

"Berengsek!"

Dimas menyambar kasar jas di sandaran kursi lalu bergegas keluar ruangan. Tanpa pamit lagi pada sekretarisnya, dia berlalu begitu saja.

Dimas tidak tahu pasti ke mana dia akan pergi. Yang jelas, dia ingin menenangkan diri. Setelah sekian lama dia berusaha melupakan Raina, lalu mengapa sekarang takdir seolah menyeret mereka untuk kembali bertemu? Permintaan konyol Hana entah mengapa membangkitkan sebuah harapan yang lama terkubur. Mungkin saja kesempatan ini akan mengubah masa depan.

-***-

Dari balik kaca mobil yang gelap, Dimas dengan leluasa memandangi sebuah toko berplang Rain's Bakery tanpa khawatir jika ada yang mendapati dirinya. Mobilnya terparkir aman tanpa ada yang tahu jika sebenarnya kendaraan roda empat itu berpenghuni.

Dimas mencengkeram erat setir. Sapaan penuh kerinduan serasa menggantung di ujung lidah. Jika dia ingin, kakinya dengan mudah terayun menemui sang pemilik toko. Sayangnya, rasa benci begitu kuat membelenggu kedua kaki.

Dari jendela kaca di sepanjang bagian depan toko, Dimas samar-samar melihat keberadaan Raina. Dia rindu pada perempuan itu. Hasratnya menggebu ingin merengkuh, mengecupi kening, mencumbui leher dan melabuhkan ciuman panas di bibir mungil yang dahulu selalu melecut gairah kelelakiannya.

Jika saja dulu Dimas tidak memergoki Raina di dokter kandungan dan mendengar salah satu perawat mengatakan sesuatu yang buruk tentangnya, mungkin Dimas masih saja dibutakan oleh cinta.

Selama menjalin hubungan, bukan hal yang tabu jika mereka saling berbagi hasrat. Hanya saja, Raina membatasi diri padanya. Dimas tidak pernah lebih dari mencumbu. Raina menutup kesempatan baginya menikmati bagian tubuh yang lain padahal seringkali mereka hampir lepas kendali. Hal itu seolah menegaskan prinsip Raina, no sex before marriage!

Lalu, bagaimana bisa Raina ke dokter kandungan untuk melakukan aborsi? Dimas yakin bahwa waktu itu dia tidak salah dengar. Kedua perawat itu jelas mengatakan mengenai operasi pengangkatan ketika mereka sedang bergosip dengan suara rendah.

Raina melakukan hal itu dengan siapa? Bagaimana bisa selama tiga tahun berpacaran dia sampai kecolongan? Berkedok menjaga diri, nyatanya Raina tidak ingin melakukan hal itu dengannya karena takut jika Dimas mengetahui dirinya sudah tidak perawan.

Perempuan ular!

-***-

Dimas pulang dengan pikiran kalut. Kedatangannya diserbu oleh Hana dengan peluk manja dan kecupan di kedua pipi seperti biasa seolah perempuan itu sudah melupakan sakitnya.

"Gimana kerjaan hari ini?" Hana mengambil alih tas kerja Dimas. Dengan tangan kiri dia membawa tas itu sedang tangan kanannya melingkari lengan suaminya.

"Baik," jawab Dimas singkat. Dia tidak ingin mengatakan jika sisa waktunya hari ini terbuang percuma karena memikirkan Raina, bahkan seperti orang bodoh terus menunggui di depan toko berharap dapat melihat perempuan berhijab itu meski dari kejauhan.

"Aku sudah putuskan untuk berobat ke luar negeri. Dokter Bram merekomendasikan temannya, salah satu ahli bedah ternama di Singapura. Katanya, kalo mau, aku bisa segera dirawat dan mendapat penanganan yang tepat di sana," tutur Hana panjang lebar usai mereka memasuki kamar tidur.

Dimas yang tengah melucuti pakaian, tersenyum menanggapi penjelasan Hana. Semangat Hana yang seperti itu sangat diperlukan untuk memerangi sel ganas yang menggerogoti tubuhnya.

"Tapi sebelum aku berangkat ke sana, aku mau memastikan Mas dan Arka baik-baik aja selama aku tinggal," ucap Hana dengan nada menggantung. Seolah masih ada yang menjadi ganjalan di hatinya.

"Kami akan baik-baik aja. Lagipula Arka betah tinggal sama Oma-nya." Dimas meraih bahu Hana untuk didekap. Dapat dia rasakan tubuh istrinya mengecil. Hana memang terlihat lebih kurus. Wajahnya tampak semakin pucat dan tirus.

Hana tersenyum penuh arti. "Kalo gitu, biarkan aku tenang sebelum ninggalin kamu, Mas," ujarnya menangkupkan kedua tangan pada rahang Dimas yang mulai ditumbuhi bulu halus.

"Aku akan baik-baik aja," tegas Dimas memberikan segaris senyum untuk meredakan kekalutan Hana.

Hana menggeleng pelan. Matanya menyorot sendu. "Menikahlah dengan Raina. Supaya aku bisa pergi dengan tenang," lirihnya sendu.

Dimas tercenung. Apa dia akan mengenyampingkan ego-nya? Demi Hana ... apa itu bisa menjadi alasan sebuah hubungan baru dengan Raina?

Dimas tidak yakin masih bisa menahan diri jika berhadapan dengan Raina, apalagi jika sampai tidur dalam satu ruangan yang sama. Dimas takut rasa cintanya mengaburkan kembali logika yang susah payah terbangun. Da tidak ingin lagi hatinya goyah. Dia ingin hanya kebencian saja membentengi perasaannya. Dia takut ... kembali terkhianati.

"Please, Mas," pinta Hana mengecup bibir Dimas, memberi lumatan lembut dan menggoda. Sayangnya ciuman itu tak terbalas.

Hana tersenyum getir usai melepas tautan bibir. Dimas masih bergeming, memandangi Hana dengan tatapan kosong seolah jiwanya berkelana meninggalkan raga.

(Tak) Sempurna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang