Badai Elnino

2.7K 219 9
                                    

Butuh usaha yang keras bagi Badai untuk dapat melewati jam kerja dengan baik selama dua hari ini. Konsentrasinya terganggu begitu kemarin mengetahui fakta tentang Raina.

Perempuan yang sudah lama menjadi incarannya ternyata sudah dipersunting lelaki lain. Pendekatan yang baru dia lakukan nyatanya sudah sangat terlambat. Dia tidak memiliki harapan sama sekali.

Badai memandangi layar ponselnya yang menampilkan potret perempuan bergamis ungu dengan motif bunga sepatu merah jambu. Tanpa sadar, Badai tersenyum.

Badai ingat, saat itu adalah kali pertama dia melihat sosok Raina. Sekitar delapan bulan yang lalu dalam sebuah acara amal yang diadakan di salah satu panti asuhan.

Senyum lebar terukir di wajah cantik Raina, meskipun matanya menyorot sendu. Tawanya terlihat lepas dikelilingi anak-anak dengan beraneka tingkah polah yang lugu. Diam-diam Badai mengabadikan moment itu, meskipun tak pernah terpikirkan olehnya akan kembali bertemu. Hingga pada suatu sore, ketika dia pulang bekerja dan ingin sekali mambelikan penganan untuk sang mama. Di toko kue itu, dia melihat Raina untuk kedua kalinya.

Suara Raina yang merdu mendadak menjadi candu baginya. Yang paling membuat Badai tidak bisa lupa adalah gigi gingsul yang membuat senyum Raina semakin memesona.

Raina ....

Badai tiada henti merutuki diri yang terlalu kaku dan terlalu lama mengulur waktu. Andai saja dia bergerak lebih cepat.

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Namun, apa yang dialami Raina saat ini kembali melecut semangatnya. Suami Raina jelas bukan lelaki yang baik. Memangnya, lelaki baik mana yang tega melakukan kekerasan fisik pada istrinya? Terlebih, perempuan selembut dan sebaik Raina.

Mungkin ini jalanku buat mendapatkan kamu, Rain.

-***-

"Enak banget kuenya, El."

"Itu namanya Tiramisu, Ma." Badai menjelaskan.

Yanti—ibunya—tidak berhenti berdecak kagum setiap kali memasukkan potongan kue tersebut ke dalam mulut. Badai tersenyum bahagia melihat ibunya bisa menikmati cake istimewa bercitarasa kopi tersebut.

"Dari kopi, ya?" tebak Yanti masih mengunyah dengan mata terpejam.

"Yup!" Badai menjawab mantap. "Pas banget kayak kesukaan Mama."

Yanti mengangguk. "Beli di mana? Ntar beliin lagi, ya, buat Mama."

"Gak ingat nama tokonya. Yang jelas, toko kue itu rame banget!" Di sana Badai ketemu cewek cantik itu lagi. Eh, gak sekedar cantik, dia itu jelmaan bidadari.

"Ish, malah senyum-senyum sendiri! Denger gak, tadi Mama bilang apa?"

Badai menggeleng melayangkan senyum canggung. Kedua lesung pipinya tercetak begitu dalam. "Memangnya Mama tadi bilang apa?" Dia memang tidak mendengar apa yang tadi dikatakan Yanti. Karena untuk sesaat tadi, pikirannya sempat terpecah.

"Kalo beli ini lagi, jangan cuma satu! Kalo kamu belinya satu, gak bakal Mama bagi!" ancam Yanti memasang wajah pura-pura cemberut.

"Iya, dong, Ma! Kalo perlu tiap hari El beliin." Biar bisa ketemu bidadari itu lagi. Mana tau jodoh, 'kan?

"Tuh, 'kan, kamu senyum-senyum lagi. Wah, alergi kopi kayaknya kamu, nih! Otak kamu jadi gatal-gatal. Efeknya langsung ke bibir."

-***-

Raina dan Tivana saling bertukar pandang mendengar suara ketukan di pintu. Tivana bahkan mengecek arloji di pergelangan tangannya, melihat pukul berapa saat ini. Dia mengembuskan napas lega begitu menyadari jam besuk sudah lewat sejak satu jam yang lalu. Dia bersyukur, rumah sakit ini memiliki peraturan yang ketat mengenai jadwal kunjungan untuk pasien.

"Kamu gak bilang sama Ibu, 'kan?" tanya Raina pelan, tapi matanya menatap Tivana penuh selidik. Bibirnya masih terasa sedikit sakit. Dia takut jika membuka mulut lebih lebar akan membuat luka yang nyaris kering kembali menganga.

"Enggak, lah! Yang ada malah kalian dirawat barengan," kilah Tivana sewot.

"Kalo gitu, siapa, dong?"

Tivana mengedikkan bahu. "Aku liat dulu, deh! Kalo aman, langsung kusuruh masuk aja, ya?"

Riana mengangguk. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ibunya tidak mengetahui jika dirinya sekarang terbaring di sana karena ulah Dimas. Dimas? Lelaki itu tidak mungkin menunjukkan batang hidung di hadapannya saat ini.

"Assalamu'alaikum."

Tivana terpaku memandang lelaki yang berdiri tegap di hadapannya. Lelaki itu membawa keranjang buah dan sebuah kantung plastik besar berisi beberapa bungkus snack dan botol minuman.

"Eh, dokter Badai? Eum, wa'alaikumsalam," sahut Tivana sedikit tergagap.

Aroma citrus segar menguar dari tubuh Badai, membuat cuping hidung Tivana mengembang. Dalam hati, dia memuji ketampanan dan pesona lelaki berusia matang di hadapannya. Sangat dewasa dan berwibawa.

"Badai aja, please."

Tivana mengulum senyum. "Pake embel-embel Mas aja, ya, biar kedengarannya lebih sopan."

Badai mengangguk. Senyumnya mengembang menampilkan ceruk dalam di kedua pipi. Lelaki berkulit sawo matang itu tampak begitu manis.

"Saya kemarin dengar dari Bram kalo Raina dirawat di sini. Boleh saya menjenguknya?"

Tivana mengerutkan kening. Seingatnya, dia tidak memberitahukan Bram mengenai kamar inap Raina.

"Tiv?" Badai mulai merasa canggung melihat Tivana yang berdiri mematung.

"Gak boleh, ya? Oh, atau mungkin Raina lagi istirahat? Kalo gitu, titip ini aja." Badai menyerahkan semua barang bawaannya.

"Bukan, dok! Aduh, maaf." Tivana mengibaskan kedua tangan karena merasa tidak enak hati. "Eh, Mas Badai. Boleh masuk, kok! Kami tadi lagi ngobrol aja," sambungnya seraya mempesilakan Badai masuk. Buah tangan yang Badai berikan langsung dia terima—bahkan terkesan merampas.

"Silakan duduk," ujar Tivana menunjuk sebuah kursi di sebelah kanan brangkar Raina. Buah tangan pemberian Badai dia letakkan di atas nakas.

"Mas Badai kenapa repot-repot begini?" tanya Tivana masih merasa sedikit canggung.

"Gak, kok! Gak merepotkan sama sekali."

"Terima kasih, Mas." Raina menyunggingkan senyum tipis. Dia sangat malu keadaannya yang seperti ini diketahui oleh orang lain. Namun, mau bagaimana lagi? Asalkan Ajeng tidak tahu, dia merasa cukup lega dan bersyukur.

"Dik Raina sakit apa?"

"Uhuk!" Tivana tersedak. Matanya melotot mendengar panggilan Badai untuk Raina. Dik Raina? So sweet ....

"Sorry. Kayaknya aku butuh permen pelega tenggorokan." Tivana tercengir melihat Raina meringis karena tingkah lakunya yang kampungan.

"Mas Badai, bisa titip Raina, 'kan? Saya mau ke kafetaria sebentar." Tanpa menunggu jawaban, Tivana berlalu. Kepergiannya meninggalkan suara debam pintu yang cukup nyaring.

Kepalang malu, Tivana tetap mengayunkan kaki menjauh dari ruang rawat Raina. Bukan ke kafetaria, dia memilih untuk ke taman saja. Tivana merutuki diri karena tidak hanya terlihat memalukan, niatnya melarikan diri malah menuai kesialan. Dompet dan ponselnya tertinggal di dalam tas yang dia letakkan di atas nakas.

Sementara itu, di kamar inap, Raina dan Badai terdiam. Kecanggungan mulai mengisi di keheningan. Dalam hati, Badai mengutuk perbuatan kasar suami Raina.

Jika boleh, aku akan berusaha merebut hatimu, Rain. Aku yakin, jika bersamaku, kamu akan lebih bahagia.

(Tak) Sempurna ✅Where stories live. Discover now