Keraguan

2.4K 230 17
                                    

Raina menatap rumah besar nan megah di hadapannya. Hatinya merasa gentar, membuat tubuhnya jadi gemetar. Jauh di dalam sana terjadi pergolakan batin, sebagian besar hatinya mengingatkan untuk berbalik lalu melangkah pergi.

Rumah tanggamu gak bisa dipertahankan, Rain!

Entah sudah berapa kali logikanya memberi peringatan, tetapi sebagian hatinya bersikukuh untuk kembali menarik perhatian Dimas. Tekadnya bulat untuk menumbuhkan kembali cinta di hati Dimas.

"Masuk, Raina! Jangan ngelamun terus!" seru Maya menarik kesadaran Raina. Perempuan paruh baya itu sudah berdiri di ambang pintu. Arka yang sudah lelap sejak di pertengahan jalan menuju pulang tadi, sudah lebih dulu masuk digendong pak sopir.

Sebuah anggukan Raina berikan, segaris senyum dia paksakan. "Sebentar, Bu," sahut Raina seraya mengedarkan pandangan pada sekeliling rumah. Tarikan napas dalam dia lakukan, tetapi kegundahan tetap tak terelakkan.

Bangunan berlantai dua dengan cat light grey itu sangat tidak asing bagi Raina. Rumah itu yang menjadi saksi bisu bagaimana dia menggilai dan memuja Dimas segenap jiwa sekaligus kehancuran hati atas kisah cinta yang terpaksa kandas.

Sementara itu, Maya sudah lebih dulu masuk. Berulang kali dia mengatakan lelah dan sangat mengantuk di perjalanan tadi.

Raina mengeratkan cengkeraman pada gagang koper, mengumpulkan seluruh keberanian. Dia menunduk, untuk sesaat menarik napas dalam sekali lagi dengan mata terpejam rapat.

"Biar saya yang bawa, Nyonya." Seorang perempuan berusia tiga puluhan mengejutkan dan memaksa mengambil alih koper kecil di tangan Raina.

"Nggak, Mbak. Saya bisa bawa sendiri."

Untuk sesaat mata mereka beradu. Senyum di bibir perempuan berdaster katun itu menggugah ingatan Raina. Raina mengenalnya. Namanya Narti, asisten rumah tangga yang sejak lama sudah mengabdi pada keluarga Dimas.

"Saya senang akhirnya bisa ketemu lagi sama Nyonya," lirih Narti.

"Ya Allah, Mbak! Sampai pangling saya!" seru Raina memeluk Narti.

"Nyonya Raina banyak berubah. Makin cantik dan anggun pake jilbab gini," kata Narti jujur setelah Raina mengurai pelukan.

"Ish, Mbak Narti kayak sama siapa aja lagi. Gak usah panggil Nyonya. Saya gak suka, ah! Biasa aja, Mbak, kayak dulu."

"Nanti Nyonya Maya marah. Saya gak mau dapat teguran. Lagian Nyonya Hana juga gak suka, katanya terlalu lancang," ungkap Narti. Sejurus kemudian, dia membekap mulut lalu merutuki diri yang terlalu ember.

"Udah, gapapa, Mbak. Saya tau, Hana memang begitu orangnya. Dan Mbak Narti musti ingat kalo saya dan Hana berbeda." Raina tersenyum dan mengerling.

"Sini, saya bantu bawa kopernya Mbak Raina."

Kali ini Raina membiarkan Narti membawakan barang miliknya. Keduanya berjalan beriringan memasuki rumah. Mereka terus berbicara hingga tanpa terasa langkah mereka terhenti di depan sebuah pintu di lantai dua. Narti lalu membimbing Raina memasuki kamar itu. Dengan sigap dia meletakkan koper di depan lemari pakaian.

"Biar saya sendiri aja nanti, Mbak," ujar Raina ketika melihat Narti berjongkok ingin membongkar isi koper miliknya.

Narti menurut.

"Mbak Raina ini kayak mau liburan aja. Barangnya sedikit betul!" celetuk Narti.

Raina kembali tersenyum. Dalam hati, dia tidak yakin akan berada di rumah ini selamanya.

-***-

"Papa!" pekik Arka girang menyambut kedatangan Dimas di ambang pintu. Dia berlari menyongsong sang ayah dengan tangan terbuka lebar. Suara tawanya menggema tatkala Dimas menghujaninya dengan kecupan di wajah dan lekukan leher.

(Tak) Sempurna ✅Donde viven las historias. Descúbrelo ahora