Melukai

2.7K 225 30
                                    

Raina melambaikan tangan pada Badai yang dibalas anggukan lelaki itu. Kendaraan roda empat Badai melaju perlahan meninggalkan pekarangan rumah Ajeng. Raina menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Berusaha menenangkan diri dan menyusun berbagai alasan di balik tempurung kepala demi tidak membuat ibunya curiga, Raina merasa otaknya semakin sukar digunakan untuk berpikir.

Akhirnya Raina memilih mengetuk pintu rumah ibunya dengan perlahan. Debaran jantungnya bersahutan dengan napas yang terengah. Raina tidak bisa tenang, keringat dingin sampai meluncur mulus di balik gamis yang terasa lengket. Dia masih tidak bisa menemukan satu pun jawaban jika nanti Ajeng bertanya mengenai kedatangannya yang tiba-tiba malam ini.

"Assalamu'alaikum," Raina menarik tangan Ajeng lalu menciumnya takzim ketika perempuan paruh baya itu berdiri di hadapannya.

"Wa'alaikumsalam." Ajeng membelai puncak kepala Raina dengan sayang. Senyum lembutnya terukir. Mata tua itu memancarkan kerinduan yang dalam. "Malam banget, Na. Sama siapa?" tanya Ajeng ketika tidak mendapati siapa pun selain putri semata wayangnya.

"Sama Mas Dimas, Bu." Raina merutuki lidahnya yang menyebutkan nama lelaki itu. Bisa-bisanya dia berbohong.

"Loh?" Ajeng celingukan, mengedarkan pandangan pada sekitar rumah yang tampak begitu lengang. Hanya ada suara jangkrik bersahutan di balik semak-semak dan seekor anak katak melompat-lompat di teras rumah.

"Masuk dulu, Bu. Di sini dingin." Raina menggosok lengannya, mengalihkan perhatian sang ibu.

Ibu mengangguk dan menggandeng Raina masuk. Wajahnya terlihat begitu semringah. Dia tidak akan kesepian malam ini, setidaknya ada yang bisa diajak mengobrol setelah lebih dari dua pekan dia ditinggal sendirian.

"Terus sekarang Dimas mana? Kenapa tadi gak diajak masuk, Na?" Ajeng bertanya pada Raina usai menutup pintu rumah dan menguncinya. Ajeng lalu mengekor langkah Raina menuju dapur.

Ajeng memperhatikan putrinya dengan saksama. Mata tuanya awas memperhatikan sosok Raina yang tergesa mengambil air minum dan bagaimana putrinya menandaskan air putih dingin dalam gelas. Raina tampak begitu haus seolah tenggorokannya tidak teraliri air sekian lama.

Raina tahu ibunya sedari tadi memperhatikan setiap gerak-geriknya. Namun, rasa haus yang luar biasa membuatnya tak peduli. Yang penting saat ini adalah mengairi tenggorokan yang terasa begitu cekat. Dia menyesal karena telah menolak tawaran Badai untuk mampir makan dulu di warung lesehan saat dalam perjalanan pulang tadi.

"Ibu masak apa tadi?" Raina melihat meja makan tampak kosong. Perutnya yang kelaparan memaksanya untuk buka suara, meskipun enggan karena yakin ibunya pasti semakin curiga. Namun, dia tidak akan bisa tidur nyenyak dalam keadaan perut kosong. Raina ingin tidurnya pulas malam ini karena selama di rumah Dimas, dia selalu tidur dalam keadaan was-was. Tidurnya menjadi tidak tenang semenjak malam itu Dimas mencekiknya.

"Ibu gak masak apa-apa. Tadi siang ada undangan pengajian di rumah Bu Yanti. Pulangnya dari sana udah sore, terus dikasih nasi kotakan lagi. Jadi Ibu makan malam, ya, dari pemberian Bu Yanti itu."

Raina mendesah tertahan. "Padahal Raina kangen masakan Ibu." Padahal Raina lapar banget, Bu. Suara yang meluncur dari bibirnya berlawanan dengan suara hatinya.

"Ya, udah. Ibu masakin nasi goreng aja kalo gitu. Praktis dan enak, 'kan, kita makan malam-malam begini," usul Ajeng melewati Raina menuju lemari pendingin untuk memeriksa bahan apa yang dapat digunakan sebagai pelengkap membuat nasi goreng yang dia janjikan pada putri semata wayangnya.

"Emang ada nasinya, Bu?"

Ajeng menepuk kening mendengar pertanyaan polos Raina. "Oalah, lupa, Na! Ibu, 'kan, tadi gak masak." Debas kekecewaan meluncur.

"Gak papa, Bu. Kalo gitu kita pesan online aja sekarang. Udah lama kita gak makan bareng." Raina mengeluarkan ponsel lalu memesan makanan melalui daring. Beruntung ada rumah makan yang buka selama 24 jam tak jauh dari rumah ibunya.

"Jadi, Dimas tadi ngantar kamu, Na?" tanya Ajeng lagi penuh selidik. Mereka duduk di ruang tamu menunggu antaran makanan yang tadi dipesan Raina.

Mas Dimas lagi? Kenapa selalu menanyakan dia, Bu?

"Masih ada kerjaan di kantor, Bu. Hari ini Mas Dimas lembur, makanya Na bilang mau nginap di sini aja," sahutnya berbohong lagi.

Rasa bersalah menghantam telak hatinya. Seumur hidup, Raina tidak pernah membohongi Ajeng.

"Ya, sudah. Mungkin besok kita bisa sarapan atau makan siang bareng Dimas."

Raina tidak menjawab lagi, ketukan di pintu depan menyelamatkannya. Seorang kurir berdiri dengan bungkusan berisi makanan pesanan Raina.

-***-

"Terima kasih, Mas. Nanti motornya saya ambil sendiri di bengkel," bisik Raina pada Badai yang berada di ujung sambungan telepon.

"Gak usah, Mas. Ntar malah ngerepotin. Saya ambil sendiri atau saya minta tolong karyawan toko aja buat ambil kalo saya sibuk. Mas kirim aja alamat bengkelnya."

Berjeda, Raina mendengarkan apa yang dikatakan Badai. Matanya dari tadi terus tertuju pada pintu kamar. Dia khawatir jika sewaktu-waktu Ajeng muncul dan mendengar pembicaraannya dengan Badai di telepon.

"Iya, Mas. Terima kasih banyak bantuannya. Wa'alaikumsalam." Raina memutuskan sambungan usai menjawab salam. Napas lega terembus, Badai tidak memaksa untuk mengantarkan sepeda motornya. Dia takut Ajeng akan memberondongnya dengan banyak pertanyaan hingga kebohongannya semalam terbongkar. Dia belum siap untuk bicara jujur, terlebih membicarakan perihal rumahtangganya.

-***-

"Dari mana aja kamu?" Sepasang mata tajam milik Dimas menghunus Raina tepat di jantung. "Rumah ini bukan penginapan yang bisa sesuka hati didatangi lalu ditinggalkan," ucapnya tak kalah tajam.

Raina menunduk, memilih jemarinya dengan ujung jilbab. "Maaf, Mas. Semalam motorku mogok. Seorang teman yang kebetulan lewat lalu nolong aku dan ngantarin ke rumah Ibu karena emang sejalur dengan rumahnya. Semalam aku udah kirim pesan ngabarin Mas Dimas, tapi sepertinya sampai sekarang belum Mas baca."

"Kamu mau menyalahkan aku?"

Raina menggeleng cepat. "Gak gitu, Mas. Tapi aku beneran udah izin buat nginap di rumah Ibu," sahutnya bergetar.

Telapak tangan Dimas mendarat di pipi mulus Raina. Badan mungil perempuan itu terhuyung hingga kepalanya membentur ujung nakas. Sengatan rasa panas di pipi menjalar hingga ke kepala dan batang leher, meninggalkan sakit dan nyeri luar biasa. Bola matanya seakan hendak keluar dan melompat dari tempatnya. Pandangannya mendadak berkunang, lalu kabur oleh air yang menggenang di pelupuk mata.

"Jangan sekali-kali berani membantah! Kamu gak punya hak bicara seperti itu sama aku! Ingat kedudukan kamu di sini." Dimas menggeram, telunjuk dan jempolnya menekan kedua rahang Raina. Bulir air mata serta gigil ketakutan yang dia lihat di wajah Raina, sama sekali tak menyurutkan kemarahannya. Pikiran buruk terlampau jauh menguasai. Dia sama sekali tidak memercayai apa yang Raina katakan.

"Bitch, dengar baik-baik! Sekali lagi kamu bertingkah seperti ini, kabar buruk perceraian kita akan mampir di telinga Ibumu yang tua dan ringkih itu. Aku yakin kamu cukup sadar diri dan mengkhawatirkan kesehatan jantungnya. Jangan sampai perceraian kita menjadi kabar terakhir yang Ibumu dengar."

Dimas melangkah meninggalkan Raina yang tergugu melantai memeluk lutut. Ancaman Dimas begitu membekas di ingatan. Sakit di hati mengalahkan sakit yang mendera fisiknya.

Raina tidak pernah menyangka Dimas bisa sekejam itu padanya. Seakan tangan Dimas begitu ringan melayang ke tubuhnya. Bukan untuk memberi belai kasih seperti yang seharusnya seorang suami berikan. Dimas melukai fisiknya untuk kali kedua.

Ya, Rabb ... kuatkan hamba. Raina meratap pilu.

(Tak) Sempurna ✅Место, где живут истории. Откройте их для себя