Aku Pulang, Aku Rindu

2.7K 217 29
                                    

Dimas melarikan pandangan ke sepanjang sisi kiri jalan. Jantungnya berdebar kencang, meresapi segala rasa yang berbaur dalam hati. Terlalu banyak hal yang mengganggu pikiran, membuat isi kepalanya berkecamuk dan carut-marut. Kernyitan dalam terpahat di keningnya akibat menahan denyut hebat yang menghantam kepala hingga ke leher bagian belakang.

Dimas membetulkan posisi duduk, menyamankan bagian belakang tubuhnya pada sandaran kursi. Punggung hingga ke pinggang seakan tak bertulang. Beberapa menit kemudian dia mulai memejamkan mata, tetapi bukan untuk tidur, melainkan mengurangi penat yang mendera.

"Langsung ke rumah atau ke kantor dulu, Tuan?" Sopir di belakang kemudi bertanya.

"Langsung pulang saja, Pak. Saya capek." Dimas menjawab tanpa membuka mata.

"Baik, Tuan."

Tidak ada lagi pembicaraan. Sepanjang jalan dilewatkan dalam keheningan. Perjalanan dari bandara menuju rumah memakan cukup banyak waktu dan Dimas menggunakannya untuk beristirahat.

Jarum jam di ruang tengah menunjuk angka lima. Narti bergegas ke luar rumah untuk menyambut kedatangan Dimas. Ujung daster batik semata kaki yang dia kenakan berkibar tertiup angin sore yang cukup kencang. Beberapa helai rambut yang terlepas dari jepitan, menggelitik wajah. Narti meraba bagian dada, jantungnya berdebar kencang saat melihat mobil hitam memasuki pekarangan. Otaknya memerintahkan untuk tersenyum, tetapi hatinya melarang, membuat wajahnya jadi terkesan datar---cenderung masam.

"Barang bawaan saya langsung ditaruh di kamar saja, Pak." Dimas menunjuk sebuah tas yang dikeluarkan sang sopir dari bagasi mobil.

Pak sopir mengangguk patuh lalu masuk menenteng tas berwarna cokelat berukuran sedang ke dalam rumah, langsung menuju ke kamar tidur majikannya di lantai dua. Saat melewati Narti, pak supir sempat tersenyum sebelum berbisik, "Mukanya masam banget, Mbak. Kehabisan gula, ya?"

Narti memajukan bibir kesal karena gurauan yang baginya sama sekali tidak terdengar lucu.

"Selamat datang, Tuan," sapa Narti sekadar berbasa-basi. Hanya melontarkan kalimat itu saja terasa begitu berat baginya.

Dimas hanya mengangguk, segaris senyum membayang di wajahnya yang menampakkan kelelahan luar biasa.

"Raina mana?" tanya Dimas pada Narti begitu menjejakkan kaki di teras.

Narti yang mengekor langkah Dimas berhenti, terlalu terkejut dengan pertanyaan majikannya. Aneh!

"Dia sehat?" Dimas terus melangkah, tidak menyadari jika Narti tertinggal beberapa langkah di belakang.

Maksudnya apa, Tuan? Memastikan Mbak Raina masih hidup atau sudah mati? Narti merutuk dikuasai rasa kesal.

"Dia masih kerja, ya?" tanya Dimas lagi karena Narti sama sekali tidak menjawab.

"Iya, Tuan."

Dimas mengenyakkan tubuh yang lelah di sofa. Perjalanan yang memakan waktu hampir sehari semalam menguras habis tenaganya. Ditambah lagi laporan yang dia terima bahwa ada masalah di kantor. Kemungkinan besar telah terjadi penyelewengan dana yang merugikan perusahaan dalam nominal cukup besar.

"Mbak, tolong buatkan saya minum," pintanya seraya memejamkan mata. Kepalanya lunglai di sandaran sofa yang hanya setinggi leher.

"Kopi atau teh hangat, Tuan?" atau jus semangka campur racun tikus?

"Cokelat panas ada gak, Mbak? Raina bilang, kalo capek dan lagi badmood, minum segelas cokelat hangat bikin suasana hati jadi lebih baik. Istirahat juga terasa lebih nyaman."

Narti mengernyit mendengar perkataan Dimas. Namun, dia mengiyakan saja permintaan majikannya. Nasib orang rendahan sepertinya hanya menurut, tanpa punya keberanian untuk membantah. Lagipula, permintaan Dimas kali ini tidak susah untuk dikabulkan.

(Tak) Sempurna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang