Memaafkan, Bukan Berarti Melupakan

3K 232 19
                                    

"Kamu mau, 'kan, maafin, aku?" bisik Dimas masih menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Raina. Bibir tebalnya mulai menempel, melayangkan kecupan-kecupan ringan. Dia mulai terbuai oleh rasa rindu yang semakin menuntut pemuasan.

Raina bungkam. Debaran jantung yang bertalu membuat jutaan kosakata yang dia pelajari sepanjang hidup menghilang. Bagai butiran pasir yang tertiup angin di gurun Sahara, sikap manis Dimas menghapus segala kekalutan yang menekan mentalnya sebulan terakhir.

"Mas serius?" tanya Raina penuh harap. Tidak dapat dipungkiri, keraguan itu mendiami hati yang sekian lama rapat terkunci. Hanya ada sosok Dimas di sana sebagai penghuni yang terpenjara, tak tergeser dan terganti meskipun terus menorehkan luka.

Dimas mengangkat kepala, memberi jawaban dengan sebuah anggukan. Mata sayunya menatap Raina dalam, berusaha untuk meyakinkan. Dalam hati yang selalu diliputi ego, tidak terbersit sedikit pun akan mengalami penolakan.

"Kita mulai semua dari awal," ujar Dimas membelai wajah lembut Raina. Telapak tangannya menangkup pipi Raina yang bersemu kemerahan.

"Mas janji nerima aku apa adanya?"

Dimas terdiam. Apa adanya? Pertanyaan itu juga yang mengusik pikirannya. Apa aku bisa? Dimas dirundung dilema.

"Aku bukan perempuan sempurna. Aku ini perempuan cacat. Masa lalu yang bikin aku takut menghadapi masa depan," lirih Raina. Gumpalan dilema menyumbat tenggorokan, membuatnya kesulitan bernapas. Rasanya begitu sesak, membekukan dari rongga dada hingga ke tulang belakang.

"Aku akan berusaha untuk itu." Dimas menyusuri bibir ranum Raina dengan ibu jari. Salah satu bagian dari Raina yang tidak bisa dia lupakan. Sekian lama menahan diri, malam ini Dimas ingin kembali merasakan manis yang dulu selalu membuatnya lupa daratan.

Kedua ujung bibir Raina sedikit terangkat, mengukir sebuah senyum tipis saat menatap tepat kedua netra kelam Dimas. Menyelami perasaan lelaki yang sampai saat ini masih merajai hati.

"Kita bisa mulai dengan saling memaafkan."

"Hmm ...." Dimas tidak sanggup menjawab, hanya dehaman yang keluar dari celah bibir. Konsentrasinya buyar, teralihkan oleh fantasi liar. Pikirannya semakin kacau, terkalahkan oleh keinginan menuntaskan dahaga dengan mereguk kenikmatan dari bibir manis berwarna merah muda perempuan di hadapannya.

Memaafkan, tapi bukan berarti melupakan. Aku harap kamu gak menyia-nyiakan kesempatan yang aku kasih saat ini, Mas. Meskipun berat, aku akan belajar melupakan kamu. Aku ikhlas kalau memang harus melepaskan karena aku gak bisa terus hidup dalam bayang-bayang penuh kepalsuan.

Dimas menurunkan tangannya yang bersarang di bibir Raina. Jemari besar itu bergerak pelan, membelai leher jenjang yang telanjang. Bermain-main sebentar di sana, lalu mulai menyusuri kerah piyama. Tangannya terus turun lalu berhenti di bagian dada, berusaha menceraikan kancing dari lubangnya.

Raina menangkap tangan Dimas yang semakin nakal bergerilya. Senyum lembut dia berikan, kedua netra yang jernih memberi tatapan memohon pengertian.

"Aku mau minta dua hal dari Mas Dimas. Boleh?"

Dimas mengangguk. Jemarinya menangkup jemari Raina, menyatu menjadi sebuah genggaman di atas pangkuan Raina.

"Pertama, jangan lagi menyakiti seperti yang sudah-sudah. Bukan hanya secara fisik, tapi juga hatiku, Mas."

"Maaf, aku menyesal." Dimas menarik napas dalam, embusan napas putus-putus dia keluarkan untuk mengurangi beban yang bersarang di dalam hati. "Kamu harus tau. Di sini," Dimas membawa jemari Raina menekan dadanya, "Aku juga ngerasa sakit. Selama aku pergi, pikiranku gak bisa lepas dari kamu. Rasa bersalah bikin aku gak bisa ngelupain kamu sedikit pun," lanjutnya lirih putus asa.

"Kedua, tolong beri aku kepercayaan. Karena itu adalah dasar dari sebuah hubungan. Mungkin terdengar sepele, tapi sangat besar makna dan dampaknya." Raina balik membawa jemari Dimas mendekati bibirnya, mengecup jemari besar itu satu per satu penuh kelembutan. Di bawah sana, tepat di bagian yang dia duduki, dia dapat merasakan bagian tubuh Dimas membengkak dan menggeliat, perlahan tapi pasti menunjukkan sebuah eksistensi. "Kalau sesuatu terjadi atau seseorang bicara buruk tentang aku, please, kasih aku kesempatan buat menjelaskan. Jangan langsung menghakimi."

Dimas tiba-tiba menyentak tangannya hingga terlepas dari genggaman Raina.

"Kamu mengungkit tentang Mama dan Hana? Maksud kamu, mereka sudah meracuni aku, begitu? Kamu mau bilang kalo dulu mereka berbohong dan mengarang cerita tentang kamu?" Suara Dimas meninggi. Tatapannya kembali tajam menguliti. Kemesraan yang semula tercipta dengan apik, begitu cepat tertampik. Emosi mulai membakar di balik dada, kesalahpahaman mulai melebar menimbulkan prahara.

Raina menggeleng cepat. Bukan maksudnya seperti itu, tidak terbersit sedikit pun keinginan untuk mengungkit masa lalu. Namun, sepertinya Dimas telah salah paham.

"Aku sudah ngelupain masa lalu. Apa yang sudah terjadi, masalah yang membuat kita dulu berpisah atau alasan apa pun yang menyebabkan sikap Mas Dimas ke aku berubah, aku udah lupain semuanya." Raina menatap kedua netra Dimas. Menunjukkan kesungguhan hati yang mendasari kalimat yang dia keluarkan. "Aku lagi membicarakan masa depan, Mas."

"Kamu tau gimana aku, Rain. Apa pun yang berkaitan sama kamu, bisa dengan cepat mengguncang duniaku. Apa pun yang berkaitan sama kamu, bisa dengan mudah mendidihkan darahku." Dimas tersengal. Emosinya terpantik. "Aku ini pencemburu. Aku yakin kamu sudah tau gimana karakteristikku. Aku bisa jadi buta dalam sekejap mata. Jadi, please, jangan bikin aku marah. Kamu jangan sekali-kali berani menjalin hubungan dengan laki-laki mana pun di belakangku," ujar Dimas tegas. Nada rendah di akhir kalimat membuat perkataannya seperti mengandung ancaman.

"Percaya sama aku, Mas. Cuma ada kamu di hatiku, baik dulu maupun sekarang. Aku milikmu."

Dengan berat hati Dimas mengangguk.

"Kamu bikin duniaku jungkir balik, Rain," bisik Dimas kembali menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Raina, memberi isapan-isapan kecil yang membangkitkan hasrat.

Tangan Dimas kembali merayap, meraba perut rata Raina dari luar piyama. Hasratnya semakin naik, meminta sebuah pelampiasan. Dia sudah pasrah, meskipun Raina bekas laki-laki lain. Yang terpenting saat ini Raina terikat dengannya. Perempuan itu sudah berjanji akan selalu menjadi miliknya.

Dimas bertekad akan menjaga dan mengawasi Raina, memasang mata dan telinga di mana-mana, memastikan Raina tidak bermain lagi di belakangnya seperti yang dulu Hana katakan.

"Aku lapar, Rain."

"Mas, lebih baik mandi sekarang. Aku mau nyiapin makan malam." Raina bukannya tidak mengerti kemauan Dimas. Dia paham betul.

Dimas menggeleng, sedikit mengangkat wajah untuk melihat hasil karyanya di leher Raina. Jejak kemerahan yang begitu indah, kontras dengan warna kulit Raina yang seputih susu.

"Kamu adalah menu makan malamku. Aku gak mau yang lain." Napas Dimas semakin berat. "Aku mau kamu ... sekarang," sambungnya dengan suara serak.

"Maaf, Mas." Raina menggeliat, berusaha melepaskan diri karena tidak nyaman berada di situasi saat ini.

Dimas menggeram frustrasi karena Raina lagi-lagi menghindar. Bagaimana bisa Raina kembali menolaknya? Padahal baru saja mereka berjanji untuk memulai lembaran baru bersama.

Kekecewaan Dimas terbaca jelas di mata Raina. Dalam hati dia sangat menyesal. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Semua di luar kendali dan kuasanya. Ketakutan itu masih pada tempat semula di hatinya, tidak berkurang sedikit pun.

"Bukan maksud aku nolak kamu, Mas. Tapi karena aku beneran gak bisa." Sebuah kecupan ringan Raina berikan di pipi. Jemari kurusnya membelai wajah Dimas dari kening hingga dagu, berharap hal itu mampu meredakan amarah Dimas yang mulai berkobar. Matanya menyelami kedua netra Dimas yang berkabut hasrat. Dia tersenyum sebelum berkata, "Tamu bulananku baru aja datang sore tadi. Maaf karena harus membuat Mas menunggu."

(Tak) Sempurna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang