Semanis Madu, Menyulut Ragu

2.7K 202 11
                                    

"Pagi, Sayang," sapa Dimas sembari melingkarkan kedua tangannya di perut Raina. Perut berkontak enam lelaki berusia dua puluh delapan tahun itu menempel pada punggung Raina yang berdiri persis di depan kompor berapi biru. Napas beraroma mint terembus hangat menyapu tengkuk Raina, membuat perempuan itu menegakkan punggung, membeku karena terkejut.

"P-pagi, Mas," jawab Raina terbata. Spatula yang digunakan untuk mengaduk udang asam manis di dalam wajan hampir saja terlepas dari genggaman karena gugup yang tiba-tiba melanda. Kehadiran Dimas sudah mengganggu kegiatannya menyiapkan sarapan. Jantung yang riuh bertalu membuyarkan fokusnya.

"Hmm ... aku suka wanginya."

Raina mengangguk pelan, merasa kikuk. "Hu-um. Wanginya emang enak. Sebentar lagi masakannya siap," jelasnya ketika melihat bumbu kental berwarna merah tomat meletupkan gelembung-gelembung kecil. Asap yang menari di atas udang berbumbu itu menguarkan aroma gurih menyegarkan.

"Bukan masakannya, tapi kamu," bisik Dimas membaui rambut Raina yang digelung ala kadarnya.

Huek! Narti yang melihat adegan itu merotasikan kedua bola mata jengah. Mencibir sikap sok mesra sang majikan yang seperti tidak mengenal tempat. Bagai makhluk tak kasat mata, kehadirannya seolah tak dianggap dan tak terlihat.

Dentang piring yang membentur gelas kaca kala Narti memperbaiki letak peralatan makan di atas meja tidak sedikit pun mengusik Dimas. Narti mencibir, diliputi rasa gemas.

"Mas bikin aku gak konsen," lirih Raina menahan diri agar tidak semakin tremor. "Ntar masakannya gosong." Dia mengeluh, berusaha melonggarkan belitan tangan Dimas di pinggangnya.

Dimas tak bergeming. "Aku lapar," bisiknya sensual. Tubuh tingginya membungkuk, mengendus leher Raina yang jenjang, mengabaikan keberadaan Narti yang melayangkan tatapan horor di belakang. "Gak sabar mau makan kamu," sambungnya tanpa beban, melayangkan rayuan.

Bisa gitu, ya? Minggu lalu nampol sampe bengep, sekarang manis manja kayak gak berdosa sama sekali. Wah, udah gak waras, nih, kayaknya.

Narti berpaling, membuang muka dari adegan penyulut birahi sekaligus memancing emosi. Ingin sekali melarikan diri, tetapi tugasnya membantu Raina menyiapkan sarapan belum selesai pagi ini. Namun, jika tetap tinggal, mata dan hatinya akan ternodai.

"Mas lebih baik cepetan mandi. Ntar telat ke kantor, loh!" Raina mengatur napas sebelum memutar badan. Maksud hati ingin mendorong Dimas agar menjauh, tetapi pemandangan yang tersaji di depan mata membuatnya meneguk ludah beberapa kali.

Dimas berdiri tegap dengan balutan handuk putih yang menutupi area perut ke bawah. Dimas mengerling menggoda kala mata mereka beradu. Kebahagiaan memenuhi hati melihat kedua pipi Raina memerah.

"Bikin pingin, ya?" Dimas menyeringai melihat kegugupan Raina. "Cepat selesai, ya. Kita kunjungi surga dunia," ujarnya sebelum menyambar cepat bibir Raina yang sedikit terbuka, tidak peduli meski apa yang dia lakukan terkesan memaksa.

Lah, emang gak ingat dunia lagi ini orang! Kerasukan kali, ya? Atau aku yang halusinasi? Narti panas dingin, memandang horor aktivitas dewasa sang majikan yang terjadi tepat di depan mata, hanya berjarak dua meter darinya.

Dimas menggeram karena ciuman yang tak terbalas. Dia semakin mengimpit tubuh mungil di depannya agar turut merasakan letupan yang melecut hasrat. Jemari besarnya semakin liar merayap ke area tengkuk, bersembunyi di sela-sela rambut Raina yang lebat. Perlahan tangan Dimas turun, menekan kepala belakang Raina. Memaksa agar ciumannya bersambut.

"Uhuk! Uhuk!"

Narti segera membekap mulut karena aksi batuk yang tidak disengaja itu membuat Dimas dan Raina menoleh ke arahnya. Sepasang manusia dewasa itu menampilkan ekspresi berbeda, membuat Narti merutuki diri.

(Tak) Sempurna ✅Where stories live. Discover now