Lelaki Itu ...

2.3K 210 20
                                    

"Aku dengar dari Mbak Narti, katanya kamu udah pindah ke rumah itu." Tivana menatap sosok Raina yang duduk di hadapannya. Sambil memainkan isi gelas tinggi berisi jus alpukat menggunakan sedotan, dia menunggu Raina membuka suara.

"Iya," jawab Raina setelah beberapa detik diam. "Udah seminggu ini."

"Dia yang jemput kamu?" tanya Tivana penuh selidik. Sangsi Dimas akan melakukan hal itu.

Raina menghela napas pelan sebelum menggeleng, senyum masam susah dihindari jika berkaitan dengan Dimas belakangan ini. "Bu Maya yang bawa aku ke sana," jelas Raina sembari menyuap potongan kecil roti bakar rasa cokelat keju favoritnya.

Tivana berdecak. "Heran banget, tau gak, sih? Gak anak, gak emaknya, suka banget bikin rusuh," omelnya tanpa menyembunyikan ketidaksukaan sama sekali.

Raina mengedikkan bahu. "Kurasa yang dilakukan Bu Maya ada benarnya. Setelah nikah, emang seharusnya seorang istri berada di mana pun suaminya berada, 'kan?" tanya Raina dengan mata menerawang. Pernikahannya nyatanya tidak seindah surga yang pernah menjadi impiannya. Pil pahit lain yang harus dia telan setiap hari adalah sikap dingin Dimas yang tidak pernah menganggap keberadaannya.

"Cih!" Tivana menahan gusar yang merongrong minta dimuntahkan. Sekuat hati dia menghalau gumpalan kata kasar yang berjejalan di tenggorokan. "Jangan terlalu baik jadi orang! Rain, aku tau betul gimana karakter suamimu. Dia bodoh, persis seperti mantan istrinya yang lagi disiksa malaikat di dalam kubur. Matanya gak akan pernah terbuka sebelum ada yang nampar dia pake kenyataan."

Raina menatap Tivana lurus-lurus. Ada kengerian menelusup hatinya mendengar keseriusan Tivana. "Please, jangan ngomong apa pun sama Mas Dimas."

"Meski aku gak ngomong, suatu saat akan ada yang buka mulut di depan dia. Ingat Rain, Tuhan itu gak tidur." Tivana mendengus seraya melipat tangan di depan dada. "Mungkin aja nanti aku khilaf keceplosan. Lagian enek liat kamu yang kayak nerimo banget dijajah."

Raina bungkam, lidahnya kelu dan otaknya mendadak buntu. Susah bagi Raina membalas perkataan Tivana. Dari dulu, dia memang terbiasa diam. Hingga acapkali Tivana marah padanya karena dianggap terlalu pasrah.

Tivana membiarkan Raina yang tampak merenung. Entah berapa ratus kali dia mengingatkan sahabatnya itu, tetapi bagaikan angin, nasihatnya berlalu begitu saja.

"Tivana?" Seorang lelaki menghampiri meja yang ditempati Raina dan Tivana.

"Bram!" Tivana terkesima untuk beberapa saat. Setelah sadar, dia berdiri menyambut kedatangan lelaki itu. Keduanya lalu berpelukan dan bertukar ciuman di pipi tanpa sungkan. "Gak nyangka kita bisa ketemu di sini," ujarnya girang.

Seorang lelaki kemudian menyusul Bram. Lelaki itu baru saja mengakhiri panggilan di telepon genggamnya. Dia menyimpan benda elektronik tersebut dengan membenamkan sebelah tangan di saku celana bahan yang dia kenakan.

"Oh, ya, kenalin. Ini teman seperjuanganku, dokter Badai," ujar Bram, si lelaki berkacamata pada Tivana. "Dokter spesialis anak yang masih betah dengan status jomblo." Tawa Bram berderai melihat ekspresi Badai berubah masam. Sedetik kemudian dia mendapatkan tonjokan ringan di perut.

"Hai." Tivana menyapa dengan menyunggingkan senyum ramah. "Tivana," ujarnya menyebutkan nama seraya mengulurkan tangan pada Badai.

Lelaki jangkung berkemeja hitam lengan panjang yang digulung hingga ke siku itu menyambut uluran tangan Tivana. "Badai," ujarnya tersenyum menampakkan ceruk yang begitu dalam di kedua pipi.

"Nah, ini sahabatku, Raina," ujar Tivana memperkenalkan Raina pada Bram dan Badai.

Raina berdiri lalu mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Raina," katanya menyebutkan nama seraya menunduk.

(Tak) Sempurna ✅Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz