(Bukan) Hari Istimewa

2.6K 249 19
                                    

Rencana pernikahan Raina dan Dimas terpaksa dipercepat atas permintaan Hana. Kondisi kesehatannya kian memburuk dari hari ke hari. Sementara itu, Hana masih bersikukuh tidak akan menjalani pengobatan sebelum suami dan sahabatnya menikah.

Tivana yang memang sejak awal tidak setuju dengan keputusan Raina, tiada hentinya berkicau sejak tiga hari yang lalu. Bahkan ketika Dimas sudah duduk di depan penghulu, dia masih berupaya menggagalkan pernikahan dengan memengaruhi Raina agar berubah pikiran. Dia tidak rela perempuan sebaik Raina harus menjadi tumbal keegoisan iblis cantik bernama Hana.

"Sah!"

Seruan yang berkumandang di ruang tengah kediaman Raina menghancurkan harapan Tivana. Rela tidak rela, dia harus terlihat bahagia. Demi sahabatnya, dia berusaha menebar senyum meski kedua sudut bibirnya kaku untuk ditarik ke atas.

"Selamat ya," lirih Hana. Segaris senyum tersungging di wajah pucatnya ketika mencium pipi Raina kanan-kiri. "Aku ... titip Mas Dimas dan Arka. Terima ... kasih," bisiknya dengan suara putus-putus. Napasnya tersengal untuk beberapa saat sebelum akhirnya ambruk menimpa Raina.

-***-

Harusnya ini menjadi hari istimewa yang membawa kebahagiaan buat semua orang. Namun, nyatanya tidak. Hana mengembuskan napas terakhir sebelum kendaraan yang membawanya tiba di rumah sakit.

Mata Dimas memerah, menatap nanar pada gundukan tanah basah. Di atas pusara itu, terdapat rangkaian bunga mawar, melati dan potongan daun pandan yang dijalin menggunakan pelepah pisang. Hana sudah terbaring tenang di dalam sana, melepaskan segala rasa sakit yang memecut setiap sendi tubuh di akhir hidupnya.

"Mas," tegur Raina menyentuh sebelah bahu Dimas yang merosot lesu. Dalam gendongannya ada si kecil Arka yang mengantuk. Raina merasa hatinya teriris pedih mendekap erat bocah lelaki berusia tiga tahun yang tidak akan pernah lagi melihat rupa ibu kandungnya.

Dimas mendongak. "Kamu balik duluan ke mobil. Aku di sini sebentar lagi."

Raina mengangguk. Meski ingin menemani Dimas lebih lama di sana, keadaan Arka sangat tidak memungkinkan. Dalam beberapa langkah menuju gerbang area pemakaman saja, bocah lelaki itu sudah jatuh terlelap.

Saat tadi sang Oma—mama dari Hana—ingin membawanya pulang lebih dulu, Arka malah menangis kencang. Namun, begitu Raina mengambil alih tubuh mungil itu dan memeluknya dalam gendongan, Arka menjadi tenang dan bersandar nyaman di bahu Raina.

Sampai di mobil, seorang sopir sudah menunggu. Dengan sigap lelaki paruh baya itu membukakan pintu mobil untuk Raina. Segaris senyum Raina berikan sebagai ucapan terima kasih.

Raina terpekur menatap langit kelabu melalui jendela mobil yang kacanya dibuka lebar. Sekarang apa? Bagaimana nasib pernikahannya? Hal yang mendasari pernikahannya sudah tidak ada. Hana yang memaksakan pernikahan ini terjadi sudah mengantarkannya pada fase di mana dia tak tahu harus melakukan apa di hari esok.

Apa Dimas akan menjatuhkan talak padanya malam ini juga? Atau ... demi Arka, mereka akan berusaha mempertahankan pernikahan? Sedangkan api kebencian seakan masih membara menjilati hubungan mereka.

Dimas masih saja menjaga jarak. Terbukti saat Raina mencium punggung tangan Dimas selepas prosesi akad, lelaki itu dengan cepat menarik lagi uluran tangannya. Seolah Raina adalah sesuatu yang begitu kotor dan membawa virus penyakit, Dimas tampak enggan bersinggungan dengannya.

"Aku antar kamu pulang."

"Ha?" Raina menoleh cepat karena terkejut dengan kehadiran Dimas di sisinya. Sedang di belakang kemudi, pak sopir memutar kunci lalu menghidupkan mesin mobil. Kendaraan melaju meninggalkan area pemakaman yang semakin sepi.

Dimas berdecak malas sembari mengurut kening, tak satu pun kata keluar dari mulutnya menjawab kebingungan Raina.

Dengan pelan, Dimas mengambil alih Arka ke dalam gendongannya.

Pulang ke mana?

-***-

"Jadi, kapan Dimas jemput kamu untuk tinggal di rumahnya?" tanya Ajeng saat makan malam berdua dengan Raina. Seolah tidak terjadi apa pun hari ini, mereka menikmati makan malam berdua seperti malam-malam yang telah lalu.

Raina menggelengkan kepala. Dengan tenang menyuap sesendok nasi beserta potongan daging sapi lada hitam ke dalam mulut. Dengan kunyahan lambat, dia sebenarnya sedang mencari jawaban agar ibunya tidak berprasangka buruk. Meski diyakini Raina, naluri seorang ibu sangatlah kuat. Namun, sebisa mungkin dia berusaha menjaga perasaan ibu dan juga kehormatan suaminya.

"Di rumah sana lagi diadakan tahlilan sampai seminggu ke depan. Mas Dimas cuma berjaga-jaga takut kalo keluarga besar Hana menggunjingkan pernikahan kami. Dia gak mau Na dituduh macam-macam. Gimanapun, gak semua orang bisa mengerti permintaan terakhir Hana. Cuma orang-orang dekat yang mengerti mengenai alasan dan gimana proses pernikahan ini sampai terjadi hari ini," jelas Raina setelah menelan makanannya.

"Bukannya malah seharusnya kamu ada di sana? Menurut Ibu, bersembunyi seperti ini justru menegaskan bahwa kejadian buruk yang menimpa Hana karena ulah kamu. Seenggaknya, kalau kamu berada di sana dan kehadiranmu diterima baik oleh orang tua Hana, orang-orang akan segan menggunjing dan malah berpikiran terbuka mengenai pernikahan kamu dengan Dimas." Ajeng menatap lurus ke wajah Raina, mata tuanya menyorot sendu. Lamat-lamat embusan napasnya terempas.

Raina menunduk, memilih menekuri makan malam yang sudah tidak menggugah selera. Ternyata jawaban yang diajukannya justru mengundang masalah.

Ah, menjawab begini salah, tidak menjawab juga salah. Jadi serba salah!

"Ibu cuma gak mau kamu disia-siakan," ungkap Ajeng pedih. Suaranya bergetar karena menahan beribu sesak yang menghantam dada. Melihat bagaimana Dimas mengacuhkan Raina tadi pagi, dirinya sudah tahu bagaimana posisi putrinya.

"Kalau ... " Ajeng menjeda kalimatnya, mengusap punggung tangan Raina lalu menggenggam dengan lembut. "Kalau Dimas memperlakukanmu dengan buruk, jangan segan untuk pulang. Pintu rumah ini selalu terbuka lebar untuk kamu. Ini rumah kita, Na." Akhirnya segala kekhawatiran Ajeng tersalurkan. Dirinya sebenarnya tidak ingin berkata demikian, bukankah segalanya harus diikuti dengan pemikiran dan harapan yang positif? Namun, jika mengingat lagi kejadian tadi pagi, entah mengapa hatinya tersengat nyeri. Semoga firasatnya kali ini salah.

Raina tidak berani menanggapi ucapan Ajeng. Dalam hati dia berdoa, semoga dia tidak harus kembali ke rumah ini membawa duka lara dengan menyandang status sebagai janda.

Aku harus bertahan!

(Tak) Sempurna ✅Where stories live. Discover now