Lebam dan Bekas Luka

2.9K 234 26
                                    

Raina terserang demam. Sakit di pipi kiri bekas tamparan Dimas beberapa jam lalu sudah menjalar ke seluruh wajah. Mata, hidung dan mulutnya mungkin saja mengalami trauma atau luka dalam. Batang lehernya juga menegang dan susah digerakkan. Raina merasakan kepalanya berdenyut hebat dan berputar dahsyat. Telinga kirinya malafungsi, hanya dengungan dan gemuruh yang mengisi gendang telinga. Kini, dia hanya mengandalkan telinga kanan untuk mendengar, meskipun suara yang tertangkap indranya terdengar samar.

Raina meringkuk di sofa dekat jendela, tempatnya tidur selama seminggu terakhir. Embusan angin sore membuatnya semakin menggigil. Obat pereda nyeri yang satu jam lalu dia minum seperti tidak menunjukkan reaksi.

"Ini selimutnya, Mbak." Narti menutupi tubuh Raina dengan selimut tebal yang baru diambil dari lemari.

"Mbak Raina yakin gak mau rebahan di kasur? Di sini pasti gak nyaman. Saya bantu Mbak Raina pindah, ya," tawar Narti memandang prihatin pada Raina.

"Gak usah, Mbak, di sini udah cukup," tolak Raina. Suara yang keluar dari celah bibirnya terdengar begitu lirih.

Raina tidak mau kembali mendapat masalah dari Dimas. Hati kecilnya melayangkan tanya, bagaimana jika kejadian seperti ini terulang lagi? Apakah dia sanggup bertahan?

Yang pasti, dia harus ikhlas melepaskan Dimas dan melupakan segala yang pernah terjadi, termasuk perasaan yang masih mengisi hatinya hingga detik ini, jika dia memilih menyerah. Dia harus bergerak cepat memutuskan langkah selanjutnya untuk meluluhkan hati Dimas, jika memilih bertahan. Namun, itu semua jelas membutuhkan waktu yang panjang. Raina tidak mau mati sia-sia di tangan Dimas. Lelaki itu memiliki hati yang begitu keras dan keegoisan yang begitu tinggi untuk diruntuhkan.

"Saya bawakan makanan, ya, Mbak. Sejak siang tadi Mbak Raina belum makan. Supaya obatnya bekerja lebih baik, jadi Mbak Raina cepat pulih," bujuk Narti menarik Raina dari lamunan.

Raina menatap Narti sesaat kemudian menggeleng. Dapat dia lihat ekspresi sedih asisten rumah tangga itu, tetapi saat ini dia benar-benar tidak berselera makan. Terlebih mulutnya begitu sakit jika dibuka.

"Mbak Narti bisa tolongin saya? Ambilkan obat buat bersihin luka dan juga es batu buat kompres wajah." Susah payah Raina menyelesaikan ucapan. Wajahnya tak dapat menyembunyikan ekspresi kesakitan yang dia rasakan. Ringisan terlihat jelas setiap kali dia membuka mulut.

Narti tidak menyahut, hanya anggukan cepat sebagai jawaban. Setelahnya, Narti segera berlalu untuk mengambil barang-barang yang disebutkan Raina tadi.

Narti meletakkan wadah stainless berisi es batu dan salep antiseptik yang dia ambil dari kotak P3K dalam sebuah nampan. Dengan gesit, dia kembali membawa nampan itu ke kamar majikannya di lantai dua.

Narti lalu mengambil sebuah handuk kecil dalam lemari dan mulai membungkus es batu yang akan digunakan untuk mengompres luka Raina. Dia melantai, duduk bersimpuh tepat di sisi Raina yang terkulai tanpa daya.

"Pelan-pelan, Mbak," rintih Raina menahan sakit ketika Narti mulai mengobati lebam di pipinya. Sensasi perih dan terbakar adalah hal pertama yang dia rasakan ketika bongkahan es yang dibungkus handuk itu menyentuh kulit sebelum dingin yang menyengat menenangkan area tersebut.

Narti meringis ketika melihat pipi Raina yang berwarna merah kebiruan. Dia tidak dapat membayangkan seberapa besar kekuatan yang Dimas keluarkan saat melayangkan tangan pada Raina. Dari jarak sedekat itu, dia juga dapat melihat sudut kiri bibir Raina robek dan terdapat darah yang mengering di sana. Hampir separuh bibir Raina menebal. Narti membatin, luka itulah yang membuat Raina kesusahan merapatkan bibir. Pun Raina selalu meringis ketika membuka mulut.

"Ya Allah, Mbak Raina, kenapa bisa begini?" Air mata menitik dari kedua sudut mata Narti. Bukan dia yang mengalami kekerasan, tetapi seakan dia yang merasakan sakit dan perih yang Raina rasakan. Hatinya ikut terluka.

"Mbak, please, jangan kasih tau Tivana soal ini." Raina meringis lagi ketika Narti mulai mengoles salep di sudut bibirnya. Raina tidak tahu itu obat apa. Sensasi dingin yang ditimbulkan obat oles itu begitu menenangkan. Raina dapat merasakan perih di ujung bibirnya sedikit berkurang.

"Saya gak janji, Mbak. Saya gak tega liat Mbak Raina diginiin Tuan. Memangnya Mbak Raina salah apa sampai Tuan sebegini kasar?" Narti menyusut cairan bening yang meleleh dari hidung, sedangkan air matanya dibiarkan meluncur bebas tanpa bisa ditahan.

Raina membuka sedikit selimut yang menutupi tubuh untuk menjulurkan tangan. Dia lalu menggenggam tangan Narti, menghentikan gerakan tangan perempuan itu mengobati luka di wajahnya. "Semalam Mas Dimas pulang jam berapa?"

"Tuan pulang lewat jam 10 malam, Mbak. Baru masuk rumah, Tuan dengar Den Arka nangis jejeritan nyariin Mbak Raina. Di situ Tuan langsung naik darah karena tau Mbak Raina gak pulang."

Raina tercenung. Arka? Bagaimana bisa dia melupakan anak itu?

"Arka sekarang di mana, Mbak?" tanya Raina berbisik. Dia menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. "Saya dari tadi gak dengar suaranya. Bu Maya juga gak kelihatan sejak saya pulang."

"Semalam Tuan ngamuk. Tuan marah-marah dan semua kena damprat. Tuan juga sempat adu mulut sama Nyonya Maya. Makanya semalam Nyonya Maya langsung bawa Den Arka ngungsi, balik ke rumahnya."

"Ya Allah, Mbak, karena saya gak pulang semua jadi kena amuk." Seketika Raina dilingkupi perasaan bersalah. Nyeri yang merayapi hati mengalihkan segala sakit yang mendera tubuhnya.

"Tuan sepertinya lagi mabuk juga, Mbak. Mukanya kusut banget, pakaiannya juga awut-awutan. Saya dengar Nyonya Maya ngomong kayak gini ke Tuan, 'kamu bau alkohol, Dim! Hana baru pergi, bahkan belum ada sebulan, tapi kelakuan kamu udah kayak gini. Mabuk-mabukkan, bentak-bentak anak, juga berani membantah saya!'." Narti mengubah gaya bicaranya ketika menirukan ucapan Maya. "Tapi Tuan malah balik membentak Nyonya Maya. Katanya 'Perempuan matre sialan! Kalo bukan karena ketololan Hana, aku gak akan begini. Anak itu gak akan ada' sambil nunjuk-nunjuk Den Arka."

"Astaghfirullah, Mbak."

"Sekarang mending Mbak Raina istirahat yang banyak. Biar cepat pulih. Tadi sopirnya Tuan cerita ke saya kalo dia abis ngantarin Tuan ke bandara. Katanya, kemungkinan satu minggu Tuan gak pulang untuk urusan kerjaan. Dia dengar Tuan telponan, ngomongin berkas-berkas kerjasama dengan perusahaan di Malaysia. Kemungkinan Tuan pergi ke sana, Mbak." Narti memandang Raina penuh sayang. "Tandanya, Mbak Raina aman untuk sementara waktu," lanjutnya dengan debas penuh kelegaan di akhir kalimat.

-***-

"Tok tok tok!" seru Tivana menirukan bunyi ketukan pintu. Handle pintu lalu dia tekan perlahan. Tivana menjulurkan kepala, menengok ke dalam kamar tidur Dimas untuk mencari sosok Raina.

"Any body home? Raina ...?" Tivana membuka pintu lebih lebar ketika tidak mendapatkan jawaban. Matanya memicing di pencahayaan minim, hingga akhirnya dia menemukan siluet sosok yang dicarinya berada di dekat jendela.

Tivana menekan saklar lampu, cahaya putih terang memenuhi seluruh isi kamar dalam sekejap.

"Rain?" panggilnya sekali lagi. "Are you okey, Darl?"

Perlahan Tivana mengayun kakinya memasuki kamar tidur yang sunyi. Langkahnya berhenti tepat di sisi sofa tempat Raina berbaring memunggungi. Tubuh mungil itu tersembunyi dalam balutan selimut tebal hingga ke leher.

Tirai tipis putih menari meliuk-liuk tertiup angin malam yang berembus kencang. Raina tampak bergeming seakan tak terpengaruh hawa dingin yang menggigit hingga ke tulang.

"Rain?" Tivana mengulang panggilan sekali lagi karena merasa ada sesuatu yang janggal.

Raina susah payah membalikkan badan. Kernyitan di keningnya terpahat dalam. Peluh sebesar biji jagung membasahi wajahnya. Lenguhan parau lolos dari bibir Raina yang pucat.

Tivana berjongkok di sisi Raina. Tangannya lalu terulur menyentuh kening Raina yang tertutup beberapa helai rambut.

"Rain!" pekiknya panik memeluk tubuh Raina yang terkulai bermandikan keringat dingin.

(Tak) Sempurna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang