Kunjungan

2.5K 247 18
                                    

"Mbak Rain, ada yang nyari di depan," bisik salah satu pekerja ber-name tag Seruni. Perempuan berambut sebahu itu menunjuk area depan dengan jempolnya.

Raina menoleh ke arah jempol Seruni. Dari dapur, dia dapat melihat seorang perempuan paruh baya bersama seorang bocah lelaki. Dapur dan area pengunjung memang hanya bersekat kaca riben, memungkinkan yang berada di dapur untuk melihat langsung ke arah luar.

"Udah lama, Ni?" tanya Raina seraya melepaskan sarung tangan yang belepotan tepung. Dia baru saja menguleni adonan muffin, eksperimen varian rasa baru yang sudah terpikirkan olehnya sejak dua bulan lalu.

"Sekitar sepuluh menit. Dari tadi cuma liat-liat etalase sambil celingukan kanan-kiri. Saya kira salah satu pembeli. Eh, ternyata malah nyari Mbak Rain."

"Bilang sama Ibu itu untuk tunggu saya sebentar lagi, Ni. Saya keluar setelah ganti baju." Raina berpikir sejenak, kemudian mencekal pergelangan tangan Seruni sebelum perempuan itu meninggalkan dapur.

"Ada lagi, Mbak?" tanya Seruni dengan kening berkerut.

"Hidangkan makanan sama minuman buat tamu saya. Korean garlic cheese bread, chocoberry croissant, muffin chocovanilla, ..." Raina mengetuk-ngetukkan telunjuk di dagu. Kebiasaannya ketika sedang berpikir atau mengingat sesuatu.

"Mungkin si Adik suka klappertaart, Mbak. Lembut dan manis gitu, kan, biasanya kesukaannya anak kecil," saran Seruni.

Raina mengangguk, tersenyum puas atas usulan Seruni.

"Minumnya mungkin teh jahe atau teh serai hangat buat si Ibu dan untuk si Adik saya kasih milkshake cokelat."

Raina mengacungkan jempol, mengakui keahlian Seruni yang sangat mengerti selera pelanggan. "Makasih, Ni."

Seruni hanya mengangguk dan tersenyum lebar sebelum melesat kembali menemui tamu atasannya.

-***-

"Maaf menunggu lama, Bu. Tadi saya ganti baju dulu. Belepotan tepung soalnya." Raina meraih punggung tangan Maya—mama mendiang Hana—lalu menciumnya takzim.

Maya tersenyum, mengelus kepala Raina yang terbalut hijab instan hijau lumut.

"Bubu!" seru Arka riang begitu melihat Raina. Bocah lelaki itu langsung melompat dari tempat duduknya dan memeluk erat Raina seolah menyalurkan kerinduan. Padahal mereka terbilang jarang bertemu, tetapi bocah itu sangat lengket dengan Raina.

"Arka, hati-hati! Nanti kamu jatuh!" jerit Maya panik melihat tingkah cucunya. Perempuan itu mengurut kening lalu mengempas tubuhnya yang lelah di sofa.

"Arka kangen, ya, sama Bubu? Tapi jangan gitu lagi, ya! Bahaya soalnya. Nanti Arka jatuh, terus Bubu sama Oma sedih," jelas Raina yang langsung dibalas cengiran oleh Arka.

Raina duduk di sisi Maya dengan memangku Arka. Bocah lelaki itu tidak mau lepas sama sekali darinya.

"Saya capek. Arka gak bisa diam. Rusuh banget! Pengasuhnya kabur semalam, padahal baru kerja tiga hari. Dia gak cukup sabar menghadapi kelakuan Arka," keluh Maya panjang lebar. Debas terdengar berat keluar dari mulutnya.

Raina terkekeh mencubit gemas pipi gembil Arka. "Bubu cubit, ya, pipinya! Oma bilang, Arka gak bisa diam, sih! Itu hukumannya udah bikin Oma capek."

Arka menatap Raina lalu menunduk memainkan jari. Seperti merasa bersalah, Arka berujar, "Ayka gak nakay yagi. Bubu dangan mayah."

Maya dan Raina terdiam melihat ekspresi Arka. Bocah berusia tiga tahun itu tampak begitu sedih. Bukan sedih yang biasa dibuat-buat oleh anak seusianya.

Mengecup kening Arka dua kali, Raina lalu mengangkat dagu Arka. Kedua pasang mata itu beradu, bagai membahasakan kasih antara ibu dan anak.

"Siapa yang bilang Bubu marah? Bubu cuma mengingatkan. 'Kan, Arka anaknya Bubu, jadi harus dengar apa yang Bubu bilang. Karena Bubu sayang sama Arka, Bubu gak mau Arka kenapa-kenapa. Kalo Arka sakit, Bubu jauh lebih sakit," jelas Raina tanpa melepaskan kontak mata dengan Arka. Bocah lelaki itu mengangguk pelan.

"Ayka janji, gak nakay yagi," lirih Arka. "Ayka cayang Bubu," imbuhnya melingkarkan kedua tangan pada pinggang ramping Raina. Wajahnya dia benamkan di dada Raina begitu dalam dan manja.

"Anak Bubu pintar!" puji Raina tulus.

Usai drama singkat yang disuguhkan Arka, Raina dan Maya larut dalam obrolan ringan. Maya memuji suasana toko roti Raina yang begitu nyaman juga aneka olahan berbahan dasar tepung begitu memanjakan lidah. Sedangkan Arka sudah larut dalam dunianya sendiri, tontonan di OwnTube menjadi andalan sang Oma untuk memasung kaki mungilnya.

"Jadi, kapan pernikahan kalian disahkan?" tanya Maya pada akhirnya.

"Udah sah, 'kan, Bu?"

"Ish, kamu ini! Di mata negara pernikahan kalian belum sah. Hubungan kalian masih abu-abu," tukas Maya.

Raina termangu. Sebenarnya pertanyaan itu juga terus berputar di otaknya. Belum lagi rongrongan pertanyaan dari Ajeng, membuatnya tidak nyaman berada di situasi saat ini.

"Raina?" Maya menepuk bahu Raina, menyadarkannya dari lamunan.

"Baru seminggu Hana meninggal, Bu. Kita masih dalam suasana berkabung," kilah Raina jengah.

"Laki-laki gak ada masa iddah-nya, Rain. Sah-sah aja Dimas mengesahkan pernikahan kalian."

"Ibu gak sedih? Dimas menantu Ibu, loh!" Raina mengingatkan. Sepengetahuannya, Maya sangat memanjakan Hana. Bahkan ketika dulu Hana mengaku mengandung anak Dimas, Maya seolah tutup mata dengan kesalahan sang putri. Dengan dalih 'setiap orang pernah melakukan kesalahan', Maya secara pribadi menemui dan meminta Raina mengikhlaskan Dimas untuk Hana. Demi bakal calon cucu yang tengah tumbuh di rahim anak semata wayangnya.

Maya tersenyum, sebelah tangannya diletakkan di atas tangan Raina. Air mata menggenang di pelupuk mata tua itu.

"Saya dulu pernah salah. Anak saya membuat kamu berpisah dengan Dimas, di saat kalian sedang merencanakan pernikahan. Dan sekarang, saya bisa melihat Dimas begitu membenci kamu. Padahal dalam hal ini, kamu gak salah apa-apa," lirih Maya.

"Bu ..." Raina memelas. Dia tidak ingin mengenang luka masa lalu. Baginya, masa depan lebih berharga dan patut untuk diperjuangkan.

Maya menarik tangannya lalu menyatukan dengan tangan satunya di pangkuan. Kedua tangan itu saling meremas gelisah.

"Andai saat itu Hana gak melakukan kesalahan dengan Dimas ..." Maya menoleh pada cucunya. Bocah lelaki itu semakin tenggelam dalam dunia animasi yang mengundang tawa. Terkadang gelak tawanya terdengar. "Ah, saya menyesal Arka harus lahir dengan cara seperti itu."

Cairan bening turun perlahan dari sudut mata Maya. Bibir tipis berpoles lipstik merah bata itu tersenyum masam.

"Bu, jangan diungkit lagi." Raina mengulurkan beberapa lembar tisu yang dia ambil dari kotak di atas meja.

Maya menerima tisu pemberian Raina lalu menghapus jejak air mata dan menyusut ingus dengan tisu itu.

"Yang saya masih gak paham, kenapa Dimas membenci kamu? Padahal jelas-jelas dia yang berkhianat. Gak tanggung-tanggung, dia melakukannya dengan sahabatmu sendiri. Anak kesayangan saya."

Penuturan Maya mau tidak mau kembali mengorek luka lama di hati Raina yang sekian lama dia biarkan menganga. Tanpa darah dan nanah, nyatanya luka itu sangat menyakitkan. Bukannya Raina tidak berusaha mengobati, hanya saja, sampai saat ini dia masih belum menemukan penawar.

"Saya akan membantu memperbaiki hubungan kamu dengan Dimas," janji Maya.

Raina terperangah, tidak memercayai apa yang baru saja dia dengar.

"Gimana caranya?"

(Tak) Sempurna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang