33 - Titik Terang dan Titik Buta

156 32 24
                                    

Pak Choi melangkah gontai menuju kamar rawat Minhyuk. Sejak malam setelah ia menemukan Minhyuk tergeletak di gang sempit dekat asrama dan hampir tak sadarkan diri, ia benar-benar sibuk kesana-kemari.

Minhyuk sedang berbaring di ranjang kamar rawatnya dengan kaki kiri yang diapit dua kayu penyangga dan berbalut beberapa lapis perban. Di pelipis kirinya nya tertempel secuil perban yang menutup luka benturan. Pandangannya menembus kaca jendela kamar, baru menyadari kehadiran Pak Choi saat sang pelatih duduk di sampingnya.

"Jangan banyak bergerak dulu," ucap Pak Choi, mencegah Minhyuk yang akan beringsut duduk.

Minhyuk menurut. Ia kembali merebahkan tubuhnya yang masih lemah. Menatap langit-langit kamar rawat berwarna putih nan polos, seperti pikirannya saat ini.

Masih terngiang kalimat yang diucapkan seseorang yang menyerangnya tadi malam itu.

"Karirku sudah hancur, Lee Minhyuk. Jadi, kau harus ikut hancur bersamaku!"

Minhyuk tidak sempat melihat wajah si pengendara motor yang menyerangnya itu. Hanya satu hal yang bisa ia lihat jelas saat itu; si penendang menggunakan sepatu olahraga.

Namun meskipun wajahnya tertutup masker hitam di tengah kegelapan, Minhyuk dapat mengenali dengan jelas suara lelaki yang menyerempetnya dengan motor itu.

Suara penuh dendam.

"Jadi, apakah karir saya sudah hancur juga?" lirih Minhyuk, amat pelan.

"Jangan khawatir, Minhyuk. Kau hanya absen di turnamenmu yang sekarang, kau bisa mengikuti kembali ikut turnamen dalam beberapa bulan pemulihan."

Minhyuk tersenyum tipis dan mengangguk pelan.

"Baiklah. istirahatlah," Pak Choi berdiri dari tempat duduknya, "Kami juga akan mencoba menyelidiki kasus ini, mencari siapa pelaku bodoh yang tega melakukan ini padamu! Ini sudah masuk tindakan kriminal-"

"Saya tahu orangnya, Pak."

Seketika dahi sang pelatih berkerut. "Ya?"

"Orang itu.. Lee Gikwang."

Pak Choi menelan ludah dalam-dalam sambil memegang kepalanya yang semakin pening saja. "Bocah itu, astaga. Tidak ada bosannya membuat masalah!"

***

Seunghee melangkahkan tungkainya di koridor menuju ruang kelas pagi ini. Langkahnya masih terasa berat sejak ia menginjakkan kaki keluar dari apartemen. Pikirannya masih dibayangi pertikaian dengan adiknya semalam.

Adiknya bahkan pergi ke kampus tanpa menyentuh sarapan yang sudah ia siapkan sebelumnya.

Seharusnya aku tidak menamparnya.

Seharusnya aku bisa menahan amarahku seperti biasa..

"Seunghee!"

Teriakan Jiyeon mengusik lamunan paginya. "Ada apa, Jiyeon?"

Jiyeon segera menghampiri Seunghee dan memegang lengannya erat-erat. "Sepertinya.. kau.. harus bicara sekarang."

Dahi Seunghee kian berkerut. "Bicara? Bicara apa?"

"Tentang.." Jiyeon berdeham sejenak, "Hubunganmu dengan Jung Sunbae. Sekarang seisi kelas semakin ramai membicarakanmu. Aku tidak bisa bicara apa-apa karena mereka tidak akan mempercayaiku."

Terlalu mendadak. Seunghee tidak tahu harus bicara apa di hadapan teman-temannya sekarang, dan kini Jiyeon sudah menyeretnya masuk ke kelas.

Ia sudah berada di hadapan teman-teman sekelas dan seketika menghentikan keriuhan kelas. Menatap berpasang-pasang mata yang penasaran dan menunggu dirinya mengatakan sesuatu. Jiyeon sudah duduk ke kursinya dan meninggalkan Seunghee sendirian di tengah kegugupan.

B[L]ACKSTREETOnde histórias criam vida. Descubra agora