11화 | Tears From The Sky

2K 227 36
                                    

"Arghh kesaalll... Baru tiga hari masuk kuliah, kita sudah diberi banyak tugas yang sulit-sulit," keluh seorang lelaki bersuara tenor, yang tak lain adalah Haechan.

Renjun terus berjalan, menyeimbangi langkah kaki sahabatnya yang terlihat sangat frustasi dengan tugas yang diberikan oleh dosen. Sudut bibirnya tertarik keatas membentuk senyuman tipis diwajahnya. "Kita tidak boleh mengeluh, Haechan. Kita masih semester dua, dan kita belum merasakan bagaimana beratnya jika kita berada disemester atas," tuturnya.

Haechan menghembuskan nafas kasar. "Ya, kau benar!" perkataan yang keluar dari mulut Renjun sepenuhnya benar, dia bisa-bisa stress merasakan tugas kuliah yang semakin hari semakin berat.

Renjun tetap tersenyum sembari mengamati jalan setapak yang menjadi tempatnya berpijak. Suasana hening menyelimuti kedua sahabat yang sedang berjalan pulang menuju asrama, tetapi suasana hening tersebut tidak bertahan lama akibat suara telfon yang berbunyi dari dalam saku celana Renjun.

Dengan segera lelaki itu merogoh ponsel di saku celananya dan melihat sebuah panggilan dari Paman Huang, jari jempolnya dengan cepat menggeser icon gagang telpon berwarna hijau lalu menempelkan ponsel itu di telinga kanannya.

"Halo, ada apa paman?"

"...."

"Hah?" Kedua alis Renjun tertaut dengan dahi sedikit mengerut, langkahnya terhenti seketika, pikirannya mencoba mencerna kembali ucapan dari sang paman.

Haechan menghentikan langkah kakinya setelah matanya menangkap perubahan ekspresi pada wajah Renjun. "Ada apa, Renjun?" tanya Haechan khawatir.

Tangan Renjun terlihat gemetar saat mematikan telfon singkat itu, cairan bening membendung di pelupuk matanya. "A-aku harus pulang, Haechan. Aku ingin pulang," jawab Renjun dengan bibir yang bergetar menahan tangis.

Ketika Haechan hendak bertanya apa yang sebenarnya terjadi, lelaki bertubuh kurus itu berlari dengan sangat cepat meninggalkan Haechan yang berusaha sepenuh tenaga mengejarnya.

Brakk

Pintu asrama terbuka dengan sangat keras, membuat Jaemin dan Chenle yang sedang asik menonton televisi terperanjat kaget akibat suara keras itu. Keduanya bingung melihat Renjun berlari memasuki kamarnya dengan derai air mata yang mengalir di pipinya.

"Renjun Renjun..." panggil Haechan dengan nafas yang terengah-engah.

"Haechan, ada apa?" tanya Jaemin cemas.

"Aku tidak tau" jawab Haechan seadanya. Ketiga teman seasramanya itu berjalan menghampiri Renjun yang sedang mengemasi baju-bajunya ke dalam koper berwarna biru.

"Renjun, ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi?" Haechan semakin khawatir melihat tingkah sahabatnya itu.

"Ibuku ... ibuku kritis, Haechan," jawab Renjun terisak-isak.

Mendengarnya, mereka terdiam. Tak ada yang bisa menyembunyikan rasa sedihnya. Dari cara bagaimana Renjun bicara, isak tangisnya, air matanya, semua itu menuntun rasa simpati dari kawan-kawannya. Kesedihan memeluk ruangan. Hingga satu persatu dari mereka mencoba menguatkan Renjun, "Tenang lah, Renjun. Sekarang kamu berdo'a lah pada Tuhan, minta lah kesembuhan untuk ibumu," ujar Haechan untuk menenangkan kepanikan yang Renjun rasakan.

"Jika kamu pulang ke Jilin sekarang, apa kamu punya biaya untuk tiket pesawatnya?" tanya Jaemin.

Kepala Renjun yang tertunduk hanya menggeleng lemah, uang menjadi satu-satunya kendala baginya. Dia bingung harus mendapatkan uang darimana, bahkan uang dalam tabungannya pun tidak cukup untuk membeli tiket pesawat menuju Jilin.

Forbidden Love [Mark x Renjun]Where stories live. Discover now