22 : Tears

26.2K 4.7K 2.5K
                                    

          Pagi-pagi sekitar jam 8, Soha menikmati kopinya sembari membahas masalah pekerjaan dengan Jae Hyeon. Pria itu sibuk dengan laptopnya, sedangkan Soha menopang dagu, sembari senyum-senyum sendiri membalas pesan dari seseorang yang entah siapa.

Jae Hyeon tentu saja merasa tidak nyaman. Sejak kapan Presdirnya tersenyum menatap handphone?

“Ada apa Presdir?” tanya Jae Hyeon penasaran.

“Ahhh … mianhae, sampai dimana kita tadi?” tanya Soha. Perempuan itu meletakkan handphone-nya, lalu fokus kembali pada materi.

Jae Hyeon yang mendengarnya menjadi tidak enak. “Maaf, saya tidak bermaksud mengganggu anda, dan juga bahan persentasinya sudah selesai. Anda tinggal mempersentasikannya nanti siang. Maafkan saya Presdir.”

“Tidak, Jae. Aku yang salah. Sejak tadi kau mengerjakannya seorang diri. Aku curiga semalam kau tidak tidur.”

Jae Hyeon menggaruk tengkuknya. Dia memang berusaha keras mengerjakan semuanya tadi malam agar Soha bisa beristirahat. Presdirnya adalah seorang perempuan, dan Jae Hyeon tidak tega melihat seorang perempuan bekerja begitu keras sampai tidak tidur selama 3 hari. “Tidak juga, Presdir. Tadi malam saya sudah cukup tidur.”

“Oh ya?”

Jae Hyeon mengangguk, lalu mulai membaca materi sekali lagi.

“Jae … setelah aku lihat-lihat kau sangat tegang. Aku yakin, sejak lahir kau belum pernah berkencan’kan?”

Kepala Jae Hyeon mendongak, “Maksud anda?”

“Ya … jangan terlalu tegang. Kau pernah nakal tidak?”

Jae Hyeon berpikir sebentar, lalu menggeleng.

“Ck! Sekali-kali kau harus nakal,” ujar Soha.

Jaeh Hyeon tentu saja bingung. Tapi karena nasehat ini disampaikan oleh Presdir Queena yang merupakan orang yang paling Jae Hyeon hormati, pria itu akhirnya mengangguk. “Nakal itu seperti apa Presdir?”

“Mmm … Aku juga kurang paham. Tapi akhir-akhir ini Sehun selalu mengatakan aku nakal. Menurutmu nakal itu seperti apa?”

“Membolos, bodoh, tidak mentaati peraturan?”

Soha mengerjit, “Sepertinya definisi nakalmu berbeda dengan Sehun,” ujar Soha, lalu menyesap kopinya.

Jae Hyeon tersenyum kecil. Akhirnya sekarang dia paham kemana arah pembicaraan Presdirnya. “Apa anda sedang berkirim pesan dengan suami anda?”

“Hem, dia marah karena aku meninggalkannya sendirian di hotel. Lagi-lagi dia mengatai aku nakal. Menyebalkan sekali Sehun, tapi entah kenapa aku suka,” ujar Soha.

“Dia menyusul anda ke Spanyol?” tanya Jae Hyeon bingung.

Pipi Soha langsung bersemu, dia menatap Jae Hyeon, lalu mengangguk kikuk, “Gara-gara aku lupa mengabarinya.”

“Sepertinya anda sangat mencintainya.” Jae Hyeon menutup laptopnya, lalu fokus menatap Soha, “Dulu … anda tidak pernah membicarakan pria. Anda juga orangnya dingin, sangat tidak peduli dengan orang lain. Tapi, dengan pengacara Han, anda terlihat seperti seseorang yang berbeda. Anda bermain handphone, tersenyum, lalu bercerita dengan orang lain tentang pasangan anda.”

“Ini hal baru untuk saya. Anda terlihat jauh lebih hangat. Sekarang … apa anda bahagia Presdir?” tanya Jae Hyeon.

Soha terdiam. Dia tidak tahu apakah dia bahagia, atau tidak. Tapi yang jelas … Soha menikmati semuanya. Dia menikmati jantungnya yang berdebar saat bersama Sehun, dan dia juga menikmati perubahannya yang menjadi lebih hangat. Bersama Sehun, membuat Soha sadar ada banyak orang di sekelilingnya, jadi Soha tidak bisa hanya terfokus pada diri sendiri.

The Proposal Where stories live. Discover now