07. Cuma teman?

3.4K 276 40
                                    

Rapat OSIS baru dimulai 30 menit sore itu. Denata sedang duduk mendengarkan pemaparan dan laporan dari Roy sedangkan Neratha yang duduk disebelahnya sedang mengkonsep acara untuk diadakan 3 bulan ke depan. Masing-masing anggota sibuk berdiskusi dengan timnya. Tiba-tiba pintu terbuka, sesosok gadis cantik bermata sipit memasuki ruangan. 

"Permisi. Maaf terlambat." Cengirnya. Anak-anak dari kelas IPA menyambutnya, sedangkan anak-anak IPS hanya mengangguk sekilas. 

"Psst. Doi lu dateng juga." Renata menyenggol lengan Sonia.

"Sst. Diem lu. Nanti temen-temennya ngadu." 

"Eh dia mandangin elu tuh." 

Sonia mencuri pandang kearah kerumunan anak IPA, gadis itu masih memandanginya. 

"Jangan ngeliatin aku terus sayang nanti kita ketangkep." Sebuah chat masuk ke hp Riana. 

"Ketemuan di luar yuk." Balasnya.

"Tapi ini lagi rapat."

"Kapan sih kita bisa bareng lagi?"

"Ya sabar..."

Riana tidak membalas lagi chatnya. Rapat masih berlangsung.

"Oke kalo dari anak IPA gimana? Ada masukan atau tambahan?"

"Ah! Ada! Gimana kalo grupnya digabung? Biar kita lebih kompak aja jadi tim di kepanitiaan anak IPA sama IPS digabung!" Riana memberi usulan, yang menguntungkannya.

"Emh. Boleh juga. Yaudah sekarang kita bagi kelompok ya."

"Baginya gimana nih? Diundi? Apa bebas? Apa sesuai absen? Apa gimana?" Tanya anak yang lain.

"Bebas aja. Dicampur juga sama anak kelas 1 dan 2." Jelas Roy. 

Akhrinya sore itu terbentuklah tim-tim untuk panitia persiapan acara pensi amal bulan depan. 

"Kak. Aku sekelompok sama kakak ya?" Nita berdiri di depan Neratha.

"Ah, maaf Nit. Untuk tim inti gak dicampur karena isinya cuma 4 orang. Ketua, wakil, sekretaris dan bendahara." Roy yang sedang duduk disamping Neratha membantu menjawab pertanyaannya karena Neratha sedang sibuk mengonsep di laptopnya.

"Yah. Yaudah deh. Permisi kak." 

Kedua tangan itu sudah saling menggenggam di bawah meja. Karena mereka berdua duduk di bangku bagian dalam dan paling ujung tidak ada yang mencurigai mereka. Ketiga teman-teman yang duduk di depannya pun tidak menyadari hal itu.

"Akhirnya sekelompok juga." Riana berbisik lembut di telinga gadis yang tangannya sedang ia genggam.

"Sst!" Gadis itu menarik jarak dengan galak, tanpa melepaskan tautan jemari mereka. 

"Aku mau sama kak denata ih. Kenapa sih tim inti itu gak bisa diganggu gugat." Di meja lainnya, seorang anak dengan dasi dan vest hijaunya menggerutu.

"Iya. Mereka itu untouchable apalagi sama murid biasa kayak kita."

"Eh kita itu bukan murid biasa ya. Gak gampang banget bisa masuk jadi anggota OSIS di SMA ini."

"Iyasih. Tapi mereka untouchable. Huuuu"

"Iyalah jelas. Kak Denata gosipnya kan anak pemilik yayasan. Sekolah ini punya keluarga dia." 

"Hah? Masa sih?"

Eh tapi gosipnya kak denata itu pacaran loh sama kak renatha!"

"Haaah? Lesbi donk? Gak mungkin ih! Mereka kan perfect banget!"

"Iya. Potek deh hati cowo-cowo di sekolahan ini."

"Heh junior jangan gosip mulu! Kerja! Berisik banget sih!" Sebuah suara bass  milik pria tampan dengan rambut cepak mengejutkan mereka. 

"Ah.. eh.. iya kak."

"Eh itu kak refan kan ya?"

"Iya. Yang naksir kak renatha kan?"

"Ini kalian pada dapat gosip darimana sih anjir?" Nita yang hanya duduk mendengarkan akhirnya buka suara.

"Gatau deh nit pokoknya udah nyebar aja. Masa gak tau?" 

***

Sudah seminggu tapi suasana masih saja tidak mengenakkan bagi denata maupun neratha. Keduanya ditatap banyak siswa setiap mereka jalan berdua saja. 

"Kayaknya memang ada sesuatu deh." Neratha mulai tak nyaman.

"Iya. Kalo enggak, gak mungkin sekarang kita dipanggil kayak gini. Pokoknya nanti kita beresin." 

Mereka sedang berjalan menuju ruang BK, ruangan yang paling ditakuti seluruh siswa di sekolah itu.

"Aduh bu! Mau berapa kali saya jelaskan kalau kami hanya berteman saja?"

"Tapi kalian sekarang sudah jadi bahan perbincangan satu sekolah. Kepala sekolah sampai menegur Ibu." 

"Kepala sekolah?" Denata dan Renatha saling bertatapan.

"Tapi kami memang tidak ada apa-apa, Bu."

"Denata, Neratha, kalian dua siswa kebanggaan sekolah. Ibu tidak mau kalian membuat masalah di sekolah ini. Khususnya kamu, Denata! Kamu tahu posisimu kan?"

Denata terdiam. Dia tidak suka statusnya dibawa-bawa. 

"Kalian tidak boleh berdua-duaan lagi di sekolah!" 

"Tapi bu..." Denata sangaaatt keberatan sekali. 

"Tidak ada tapi-tapian." 

"Kami cuma teman bu." Neratha panik.

"Semua juga bisa beralasan begitu kan?" 

"Tapi menuduh sesuatu yang salah itu tidak benar bu. Ibu tidak punya hak melarang hubungan antar siswa." Denata mulai berargumentasi.

"Hubungan seperti apa?"

"Pertemanan!" Jawabnya, mantap.

"Tapi semua orang tahu kan kebenarannya sejak kejadian tahun lalu? Kalau kamu seperti ini posisi Neratha yang akan sulit, Dena." Jelas guru BK itu, dengan lembut.

***

"Udah jangan dipikirin."

"Gak bisa Den. Kita gak bisa deketan lagi di sekolah. Nanti kamu ikutan kena masalah."

"Kalo ngejauh nanti bukannya malah kasih kesan kalo kita beneran ada hubungan ya?"

"Tapi den, kalo kita berduaan terus nanti kamu bisa keseret-seret."

"Tapi kan kita beneran cuma teman, kan?" Denata berusaha meyakinkan Neratha.

"Iya kita cuma teman, Den. Tapi kan orang mikirnya beda." 

"Yaudah kita gak usah peduliin kata orang."

"Aku udah gak peduliin kata orang sampai tadi kamu juga kena tegur guru BK." Neratha berhenti berjalan.

"Gak masalah Tha!"

"Aku gak suka ya kamu kena masalah gara-gara aku." Neratha menatapnya tajam.

"Enggak. Udah, tenang ya. Mending kita jajan ke kantin." Denata mengelus pucuk kepala Neratha pelan.

"Gak. Nanti digosipin lagi."

"Yaudah! Kita pacaran aja beneran, gimana?" 

"Jangan gila!" 

"Hahaha. Becanda kok. Makanya gak usah dipikirin. Cuek aja."

"Ini pasti gara-gara kejadian tahun kemarin. Salah aku sih. Kalo kamu mau pergi juga gapapa den."

"Jangan ngomong gitu ah. Gak usah diingat-ingat lagi. Apa kamu mau kita ganti guru BK baru?" Denata tersenyum lebar.

"Jangan gila!" Neratha meninju lengannya

Jauh diatas gedung ada sepasang mata mengamati mereka berdua.

"Mereka masih berduaan. Lihat aja. Tunggu aja kalian akan hancur sebentar lagi." Gadis itu menekan tombol kirim di hpnya untuk foto-foto yang tadi ia ambil diam-diam.


Nuansa Rasa PadamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang