19. Frienemy

2.3K 191 19
                                    

Suasana aula pagi itu sangat ramai, acara pentas amal yang digadang-gadang sejak berbulan lalu akhirnya dilaksanakan. Tak hanya petinggi sekolah dan yayasan sosial, para pejabat, pebisnis dan tokoh terkenal pun turut hadir di acara ini. Denata sedang berpidato di mimbar. Anak-anak OSIS yang menjadi panitia sibuk di tempatnya masing-masing termasuk Neratha. 

"...dan tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Stefy Mandala Putri yang telah menjadi donatur terbesar dalam acara ini." Seluruh aula memberikan tepuk tangan yang meriah saat nama Stefy disebutkan. Selanjutnya Denata masih melanjutkan pidatonya.

Seorang pria berjas dengan kacamata hitam yang senada dengan jasnya berjalan ke tempat duduk tamu VIP paling depan, ia duduk dan menepuk pria berjas cokelat disampingnya.

"Eh! Kapan kamu pulang Res? Apakabar?" Kedua pria itu saling berjabat tangan ala bapak-bapak.

"Dua hari yang lalu. Anak kamu hebat sudah bisa jadi donatur." 

"Ah kecil, anak kamu juga hebat sudah bisa memimpin." 

Denata terpaku di mimbar, dia melihat ayahnya yang baru tiba.

"Den? Denaaa!" Sebuah teriakan kecil dari samping panggung berhasil menyadarkan lamunannya.

"Okay, thank's honey." Ujarnya dalam hati.

"Demikianlah pidato saya, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih." Tamu undangan di seluruh aula memberikan tepuk tangan atas berakhirnya pidato Denata sebagai ketua pelaksana acara hari itu. MC kemudian mengambil alih.

"Selanjutnya kepada yang terhormat, Bapak Ares Hermawan selaku Pemilik dan Pendiri SMA Swasta Boarding School dipersilahkan dengan segala hormat untuk memberikan kata sambutan sekaligus membuka acara pagi hari ini." Seluruh aula kembali riuh karena kedatangan pemilik sekolah yang sangat jarang sekali bisa dilihat apalagi ditemui.

"Yuk, bantu anak-anak prepare." Denata yang sudah berada disamping Neratha segera menarik tangan Neratha untuk menjauh.

"Eh, sayang? Kamu gak mau liat papa kamu pidato?"

"Gak. Ayo buruan." 

***

Kelima pria tampan diatas panggung itu membuat gadis-gadis histeris. Refan, Roy, Jimmy, Edwin, dan Dimas mengcover dance lagu Crown dari boyband Korea TXT.

"Kyaaa Soobin! Refan jadi Soobin!"

"Roy! Roy! Yeonjun Oppa!"

"Itu si Jimmy mirip Beomgyu beneran masa. Kocak."

Ketiga gadis itu riuh. Gadis-gadis kelas 1 dan 2.

"Terus itu yang jadi Taehyun siapa?"

"Dimas. Ketua klub gue." Nita berjalan mendekat.

"Tenis Nit?"

"Iyaaa." 

"Yang paling ganteng mirip Huening Kai itu Kak Edwin kan? Habis ini gue mau minta foto!"

"Idih gantengan juga Soobin Oppa!" 

"Beomgyu!"

"Taehyun!"

"Soobin!"

"Berantem aja kalian. Seneng gue." Nita berjalan menjauh.

"Itu kok mereka bisa sepanggung?" Denata menoleh pada kelima pemuda tampan yang sedang show.

"Bisa lah. Kan team." Neratha heran.

"Bukan gitu Tha." Denata menoleh pada Renata yang berjalan disampingnya. Tatapan matanya sedang nanar melihat pemandangan diatas panggung, wajahnya kaku. Di tempat lain seorang gadis sedang menangis tersedu-sedu di West Garden yang sepi. Gadis itu memegang selembar foto dirinya dan seorang gadis lainnya, sedang saling merangkul dan tersenyum.

***

"Ah, gue ke kantin dulu deh." Renata hendak berjalan menuju kantin, mencari ketenangan dan menjauh dari keramaian. Dia melewati West Garden. 

"Eh buset suara apaan siang-siang." Dia menoleh keatas, kebawah, kedepan, kebelakang, mencari sumber suara.

"Hmm. Dia lagi." Renata berbelok memasuki halaman berumput yang bentuknya seperti labirin kecil.

"Nih. Lap ingus lu." Dia mengulurkan saputangannya. Gadis yang sedang menangis sendirian itu tersentak kaget.

"Ingus lu kemana-mana." 

"Pergi lu. Bukan urusan lu." Jawab gadis itu.

"Urusan gue. Suara lu nakutin tau siang-siang. Kalo ada yang pingsan gimana?" Ia jongkok, menyamakan kedudukannya dengan gadis itu dan mengusap air mata yang mengalir di pipi gadis itu. Gadis itu malah menangis tambah keras.

"Gue gak iklas Ren." isaknya.

"Udah jangan nangis terus. Baru kemarin kan lu nangis di taman asrama yang gak ada orangnya itu? Kesambet lu lama-lama sendirian terus." 

"Kok lu tau sih?" 

"Yaa gue gak sengaja liat."

"Terus lu ngapain sok care kayak gini? Lu kan benci sama gue?" 

"Kata siapa? Gue gak benci tuh." 

"Tapi lu kan pernah marah sama gue."

"Siapa yang marah? Itu elu yang marah-marah gak jelas. Gue mah kalem. Gue cuma lerai waktu itu."

Gadis itu tertegun sejenak, lalu menangis lagi.

"Mana antek-antek lu?" 

"Gak ada. Mereka bukan antek-antek gue lagian." 

"Sorry deh, temen-temen lu maksudnya."

"Gak ada." Gadis itu tertawa sumbang.

"Kemana mereka?" 

"Gak ada yang mau temenan sama gue yang udah hancur reputasinya ini."

"Setidaknya lu jadi tau kalo mereka muka dua."

"Iya. Hahaha!" Gadis itu tertawa sumbang lagi.

"Mending temenin gue minum yuk di kantin. Haus nih. Udah jam makan siang juga." Renata mengulurkan tangannya.

"Gue?" 

"Iya. Temenin gue."

"Lu gak malu jalan sama gue?"

"Ya enggaklah. Kenapa harus malu?" Renata menaikkan alisnya heran.

"Karena satu sekolahan udah tau gue lesbian." Ujar gadis itu.

"Lu gak bunuh orang kan? Emangnya kenapa kalo lesbian? Cuek ajalah. Lu gak ganggu mereka lagian. Ayo." 

"..." Gadis itu tampak berpikir.

"Lu kan temen mereka? Ngapain lu baik sama gue?" Gadis itu tertawa sumbang.

"Gue temen mereka, bukan berarti gue musuh lu. Cuma karena temen gue itu musuh lu, bukan berarti gue benci lu. Dan kalo gue temen lu, bukan berarti gue musuh mereka. Ngerti?"

Gadis itu mengangguk pelan.

"Memangnya mereka musuhin lu?" 

"Enggak. Gue yang udah terlalu jahat sama mereka, gue yang gak pantas dekat sama mereka. Sama dia terutama." Gadis itu menangis lagi.

"Udah, tenangin diri lu dulu. Jangan mikirin mantan dan selingkuhannya itu. Ayo, Van." 

***






Nuansa Rasa PadamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang