38. A Painful Truth

1.4K 108 5
                                    

"Kenapa kalian gak bilang?!"

"Kamu! Bisa-bisanya kamu! Aku kecewa sama kalian!"

***
"Yah lepas." Neratha baru saja berjalan dua langkah dari gerbang kampusnya, Erasmus University, sebelum simpul tali sepatunya lepas.
"Sini aku bantuin." Gadisnya yang berkaos hitam itu menoleh.
"Nih." Neratha menyerahkan dua buku tebal di tangannya pada Denata, namun Denata malah berjongkok.
"Eh-" Neratha kaget, ia hendak menarik mundur kakinya.
"Diem dulu. Jangan gerak, gimana sih?" Denata membuat wajah kekasihnya yang berkaos putih itu manyun karena ditegur.
"Udah. Yuk." Denata berdiri sambil tersenyum, lalu menggandeng tangan Neratha.
"Sayaaang jangan nyender, beraaat. Kebiasaan deh."
"Ehehe. Habis enak nyender ke kamu." Neratha malah bergelanyut manja di lengan pasangannya itu.
"Entar kabarin ya kalo udah selesai kelas."
"Iya sayang iyaaa. Bye." Neratha mencium pipi Denata sekilas lalu berjalan menuju kelasnya sambil melambai-lambai. Hari itu ramai seperti biasanya, Denata berjalan menyusuri gedung jurusannya. Menuju Economics & Bussiness Major, tadi dia hanya mengantar Neratha saja ke jurusannya, Major in Arts, Culture and Society.
"Hei! Dena!" Sebuah suara bariton memanggilnya, Denata menoleh mencari sumber suara. Dia memang sudah berbulan-bulan kuliah disini tapi dia tidak merasa punya teman akrab laki-laki untuk saling sapa diluar kelas.
"Roy?!" Denata terkejut mendapati sosok pria yang memanggilnya. Roy berlari kearahnya dengan semangat.
"Ih! Susah banget diajak ketemuan!" Roy merangkul Denata dan mengacak rambutnya. Penampilannya tampak jauh lebih rapi dengan setelan kemeja biru dan celana dasar berwarna hitam.
"Ih kok lu jadi rapi gini sih?"
"Biasa. Anak hukum, harus rapi donk. Hehehe. Elu tuh kemana aja? Di chat selalu lama banget jawabnya, sok sibuk lu."
"Tapi kan gue bales." Denata tak acuh, memandang pemandangan indah gedung-gedung Erasmus di depannya.
"Ya tetep aja susah diajak ketemuan diluar. Payah lu ah." Denata hanya tertawa renyah mendengar ocehan Roy. Ia meneruskan jalannya.
"Sore ini ada waktu? Jalan yuk?" Roy mengiringi langkahnya.
"Mmm... Gatau gue. Nanti gue tanya Neratha deh ya." Denata menjawab tak yakin, dia perlu izin kekasihnya itu.
"Yah kok nanya Neratha sih?" Roy menampakkan raut wajah tak puas. Ia menautkan alisnya.
"Gak usah cemberut gitu. Muka lu ancur." Denata terkekeh menertawai sahabatnya itu. Dia bohong, Roy masih tampan walau wajahnya ditekuk begitu.
"Kok kita gak pernah ketemu ya?" Denata bertanya serius.
"Sibuk gue. Lu main-main kek ke major gue. Gak juga." Roy mendengus sebal, Denata tak terkejut. Walau dulu seingatnya, saat bercanda di kantin Roy memang ingin menyusulnya tapi ia tak menyangka Roy mengambil jurusan yang berbeda. Ia teringat obrolan mereka di telepon berbulan-bulan yang lalu.

"Gak. Gue di International Law Department sama Refan." Cengirnya.
"Ooh. Kok sama Refan sih? Gak jadi ekonomi?"
"Enggak. Bosen. Gue udah jago bisnis."
"Ih sombong amat!"

"Lu kira gue gak sibuk?" Denata meninju lengan Roy, cukup kuat.
"Hahaha. Duh, udah gak ikutan ekstrakulikuler beladiri masih aja sakit Den tinjuan elu." Roy meringis sambil memegangi lengannya.
"Ya jelas donk. Mau lagi?"
"Kalau dicium mau lah. Hahaha."
"Ih apaan sih. Terus lu dateng kesini ngapain?" Denata kembali berjalan.
"Nyari kamu donk Deeen. Orang kangen juga."
"Gaya lu. Chat tiap hari gak cukup?" Denata tertawa mengejek.
"Gak. Lu lama sih balesnya. Keburu kabur konsumen." Jawab Roy, asal.
"Ih lu kira gue online shop?!" Denata meneruskan jalannya.
"Den, tunggu. Nanti malem ketemuan yuk? Serius. Ada yang mau gue omongin." Roy menahan tangan Denata. Denata menatapnya ragu.
"Please. Ya? Ya?" Roy menangkupkan kedua tangannya, memohon. Sudah tampan, lucu, baik, pintar, manis, tajir, kurang apa coba?
"Gue sama Neratha gapapa kan?" Jawab Denata kemudian.
"Yaaah. Sendiri aja kenapa sih Den? Berdua terus deh. Ga bosen apa tiap hari berdua Neratha? Berdua sama guenya kapan?" Roy mengeluh, menunjukkan rasanya, ia protes, unjuk rasa kecil-kecilan.
"Gak." Denata menjawab dengan dingin.
"Yaudah deh ajak aja."
"Eh tunggu, boleh ajak Refan juga gak sekalian?" Denata berhenti berjalan, ia menoleh pada Roy dengan mata berbinar.
"Sekalian aja ajak satu fakultas!" Roy menjawab dengan sebal, wajahnya ditekuk tanpa senyum sekarang.
"Ayolah, kapan lagi sih kita kumpul?" Denata sebal, ia memanyunkan bibirnya.
"Hmm... Yaudah deh. Kita semua kan udah deket juga." Putus Roy akhirnya.
"Yeeey. Jam berapa? Dimana?"
"Jam 7 deh di Gauchos, Rotterdam Centrum."
"Restoran steak? Mendadak bule lu ya?" Denata menaikkan sebelah alisnya sambil menatap Roy. Roy masih menatapnya, tatapannya tak bisa lepas mengamati setiap ekspresi wajah Denata.
"Dateng ya. Gue tunggu." Jawabnya, tidak nyambung.
"Iya bawel. Gue masuk dulu. Daaaah." Denata tersenyum lebar lalu berjalan menuju kelasnya.
"Yes akhirnya..." Roy masih tersenyum di tempatnya, bersorak sendiri, menatapi Denata berjalan menjauh. Ia menatapi sosok gadis berambut panjang itu sambil tersenyum.
***
"Sayang, udah siap?" Sebuah suara memanggilku dari ruang tengah.
"Udah. Bentar." Aku mengambil jaket tracktopku yang kugantung di lemari. Kuputuskan untuk memakai kaos dan celana jeans saja malam ini, udara diluar cukup dingin.
"Sayang, liat sepatu skate aku gak?" Neratha masuk ke kamar kami.
"Di balkon. Aku jemur dari kemarin." Jawabku sambil mengenakan jaket. Dia juga hanya mengenakan kaos dan jeans.
"Pake sneakers aja udah." Bujukku sambil tersenyum melihatnya.
"Yaudah, yuk?" Ia menoleh padaku.
"Jaket kamu mana?" Aku menarik tangannya sebelum ia membuka pintu dan berjalan keluar.
"Eh iya, lupa. Hehe." Ia tersenyum kikuk, lalu berjalan kembali ke dalam mencari jaketnya. Aku teringat bagaimana antusiasnya ia tadi siang ketika aku menyampaikan ajakan Roy.

Nuansa Rasa PadamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang