14. Gara-gara pelukan

2.6K 240 11
                                    

Sudah sebulan ini kami disibukkan dengan persiapan acara sekolah yang tinggal hitungan minggu akan segera dilaksanakan. Aku dan Denata sama-sama disibukkan, tapi dialah yang paling sibuk memikirkan semuanya sebagai ketua osis. Semakin hari semakin banyak pula orang-orang yang berhubungan dengannya. Kuperhatikan kemampuan sosialnya mengalami peningkatan, dia sudah mulai bisa bercanda dan tersenyum pada siapapun yang mengajaknya bicara, tidak seperti dulu yang benar-benar memilih kepada siapa saja dia bisa memberikan senyuman atau sapaannya. Sudah sebulan ini pula hubunganku dengan Fero mulai membaik, sepertinya aku sudah bisa memaafkan kesalahannya yang dulu. Dan tentu saja tak ketinggalan kesibukan kami menghadapi adik-adik kelas 1 dan 2 dengan segala modusnya. 

"Eh itu belepotan, gimana sih?" Denata membersihkan bekas saus di tepi bibirku dengan tissue. Dan tentu saja, walaupun kami sibuk, hubungan kami tidak pernah ketinggalan perhatian satu sama lain. Perhatian yang kami sama-sama tahu bukan perhatian teman biasa.

"Udah?"

"Udah."

"Makasih. Yuk balik ke ruang rapat." Aku menggandeng tangannya, tapi dia melepasnya.

"Kenapa?" Tanyaku.

"Gapapa, yuk jalan lagi." Ia hanya menggeleng pelan sambil tersenyum lalu melanjutkan berjalan.

Dan hal inilah yang berubah darinya selama sebulan ini. Dia memang masih sangat perhatian padaku, tapi semua perhatian dariku ditolaknya. Dia bahkan terkesan tidak mau jika aku menyentuhnya terlebih dahulu seperti tadi.

"Jadi, konsep udah matang ya. Kita juga udah selesai persiapan, tinggal latihannya aja lagi dimatangin untuk pertunjukkan." Aku memberi ulasan untuk acara nanti di rapat sore ini. Selama aku berbicara ada pemandangan yang menggangguku, yang pertama tatapan Refan. Yang kedua Roy, yang berbisik-bisik pada Denata dan beberapa kali mengajaknya bercanda. Keduanya tampak dekat sekali, sekalian aja tempelin pipi kalian! Deket banget! Perlu ya ngomong sedekat itu?! 

Ketika rapat selesai, Refan mencegatku di pintu keluar. Di belakangku masih ada Roy, Denata dan Renata.

"Kenapa?" Tanyaku sedikit dingin.

"Tha, aku mau ngomong." Refan memperlihatkan sebuket bunga dari balik punggungnya. Aku menoleh ke belakang, mereka sedang berjalan kesini.

"Tha, aku sayang kamu. Kamu mau gak jadi pacarku? Aku udah suka sama kamu dari kelas 1. Aku udah hampir sebulan nunggu jawaban kamu, tapi aku rasa aku perlu ngomong langsung." Refan sudah berdiri dihadapanku sekarang sambil menatapku lekat.

"Fan.."

"Cieeeee... Cieeee... Terima! Terima!" Roy menyoraki kami, di sampingnya berdiri Denata dan Renata dibelakang mereka.

"Gue duluan ya." Denata sedikit menunduk dan melewati kami. Dia tersenyum pada Refan dan padaku, tapi aku menangkap kesedihan di matanya.

"Goodluck." Renata menepuk pundakku sambil berjalan mengikuti Denata.

"Fan, sorry. Tapi aku gak bisa."

"Aku kasih kamu waktu, Tha."

"Aku gak bisa jadi pacar kamu. Ada orang lain yang aku suka. Makasih ya, Refan. Maaf aku gak bisa." Aku tersenyum padanya, lalu hendak berjalan pergi menyusul teman-temanku di depan sana. Tapi tiba-tiba Refan berdiri di depanku, kemudian memelukku. Dan sialnya pelukan itu harus disaksikan Denata saat ia menoleh ke belakang. Mata kami bertemu. Ada tatapan sakit dimatanya, dia mempercepat jalannya. 

"Fan?" 

"Maaf, Tha. Ini pelukan terakhir. Gue, gak akan ganggu lu lagi. Tapi kita masih temen kan?" 

"Masih, Fan." 

"Thank's Tha. Yuk balik ke asrama." 

Kami berjalan dan berpisah ketika dia harus kembali ke asrama pria sedangkan aku memasuki gedung asrama perempuan di seberang gedung asramanya. Aku segera menuju kamar Denata.

"Den, buka pintunya donk." Aku terus menggedor pintu kamarnya tapi tidak ada jawaban. Aku meneleponnya tapi tidak diangkat. 

"Den!" Kemudian pintu kamar terbuka. Renata yang masih mengenakan baju seragam menutup pintu dari luar.

"Mau ngapain nyari dena?"

"Ada yang mau gue jelasin, Ren."

"Apa? Jelasin kalo lu jadian sama Refan?"

"Enggak Ren. Gue-"

"Kan lu cuma temen sama Denata? Ngapain pake jelasin segala?"

"Ren, gue pengen ngomong sama dia."

"Gak! Kan cuma temen. Balik sana ke kamar lu!" Renata kembali masuk ke kamarnya.

Ketika dia membuka pintu kamarnya, sekilas aku bisa melihat Denata sedang menangis di lantai kamarnya. Aku berjalan gontai menuju kamarku. Kemudian melangkah ke kamar mandi. Kenapa rasanya sesakit ini cuma liat dia sedih? Sampai malam dia tidak bisa dihubungi.

***

"Den gue mau ngomong."

"Den-"

"Den..."

"Den!"

Dan sepanjang hari ini semua usahaku untuk mendekatinya atau mengajaknya berbicara semuanya gagal. Dia memang masih tersenyum, tapi dia selalu menghindariku. Renata? Tampak sebal padaku hari ini. Kudatangi kamarnya pun percuma. Mereka tidak membukakan pintu. Malam ini dibawah cahaya bintang aku berdiri di balkon, mendengarkan lagu yang dikirimkannya waktu itu. Sekali lagi, kali ini kudengarkan sambil memperhatikan setiap nada, setiap bait, dan setiap makna didalamnya sampai air mataku turun. Air mata penyesalan. Air mata yang baru menyadari makna yang ingin disampaikannya padaku. Jadi apa yang kurasakan ini? Rasa kesal setiap melihat dia berada di dekat orang lain, rasa nyaman, rasa sayang, rasa sedihku ketika melihat dia terluka, semuanya, rasa yang lebih dari teman. Aku membatasinya dengan egoku yang takut terluka lagi, tapi justru aku malah melukainya. Bintang di langit, masih adakah kesempatanku untuk memperbaiki semuanya? Aku terlalu egois dengan membatasinya tapi aku terlalu takut untuk kehilangannya jika kami memulai.





Nuansa Rasa PadamuWhere stories live. Discover now