40. Kinderdijk

1.2K 103 11
                                    

Aku merangkulnya dari belakang, enggan melepasnya. Berada di luar negeri sungguh tenteram, aku bebas mau memeluk atau menggandengnya tanpa perlu ditatap aneh oleh orang-orang.
"Aku gak bakal ilang kok. Ini ferry nya udah mau nyampe, siap-siap turun ayo." Dia menengadahkan kepalanya, menatapku.
"Bentaaaaarrrr." Aku urung, malah kuletakkan daguku di bahunya.
"Denaaaa!" Ups, dia berteriak.
"Hehehe" aku melepasnya, takut mengganggu mahasiswa lainnya di water bus ini atau disebut ferry di Indonesia. Hari ini kami mengikuti tour keliling Kinderdijk, Desa kincir angin tertua di Belanda yang terletak 15km dari Rotterdam, tepatnya di Holland.
"Wah bagus banget!" Dia mengambil foto pemandangan deretan kincir angin yang sedang kami lewati ini dengan ponselnya. Ada sekitar 18 kincir angin disini kalau aku tidak salah hitung. Aku menyalakan kamera yang menggantung di leherku, membidik gadis berkaos navy di depanku ini yang lebih indah dari kincir angin, menurutku.
"Ih apaan, kok foto diem-diem!" Dia menoleh padaku, aku tersenyum saja.
"Jadi? Mau foto sama aku? Bilang donk..." Godaku.
"Gak usah senyum mesum kayak gitu!" Dia menatapku tajam. Apa-apaan, itu senyum misterius tau bukan senyum mesum. Aku merogoh kantong jaketku, mengambil ponsel.
"Ayo sini. Jangan say cheess, say I Love You." Aku tertawa lebar, merangkulnya dekat-dekat.
"I hate you." Ujarnya, sambil cemberut.
"Jelek banget sih. Ketawa donk. Senyum." Aku menarik pipinya.
"Ah sakit!" Dia memukul tanganku keras-keras. Hasil fotonya? Yang kudapati fotonya sedang cemberut, wajah kesakitannya saat kucubit pipinya tadi, dan foto dia hendak memukulku dengan muka kesalnya.
"Hahaha. Ayo turun. Kita liat molens." Aku menggandeng tangannya, kami bergegas turun.
"Jadi laper deh den. Kenapa molen sih namanya." Dia memasang muka lugunya.
"Molens yang ini windmill, sayang. Bukan pisang molen." Aku mengacak rambutnya, gemas!
"Beliin pokoknya. Aku gak mau tau!" Dia merengek.
"Nyari dimana disini? Kayak orang ngidam aja."
"Dena, may I take a picture with you?" Sebuah suara memanggilku. Teman satu jurusanku, dia ikutan tour ini juga rupanya. Memang tour ini khusus untuk mahasiswa penerima beasiswa dan Denis salah satunya.
"Hai Denis. Sure."
"Hi, I am Denis, may you help us?" Denis yang berambut pirang dan berkacamata gaya itu menyerahkan kameranya pada Neratha, aku menahan tawaku, geli melihat wajah sebalnya saat menatap Denis.
"Sure!" Neratha mundur, kami mengambil tempat tepat di belakang salah satu kincir angin.
"Look here. One.. Two... Three..."
"Wait. Once again." Denis merangkulku.
"Don't touch my girlfriend!" Neratha menunjuk Denis sambil berteriak.
"What?!" Aku tertawa geli. Benar-benar anak ini.
"Oh... I am sorry." Denis terkejut, ia melepaskan rangkulannya di pinggulku.
"Denis, just relax. Why you just stand up like that? Do you wanna take a photo for an identity card?" Tanyaku sambil tertawa geli, melihat Denis mendadak kaku seperti ingin foto KTP.
"C'mon." Aku merangkul tangan Denis dan tersenyum sambil memiringkan kepalaku sedikit ke dekat bahunya.
"Okay. Thank you Dena, and..."
"Neratha." Aku memberitahu namanya.
"Neratha." Denis menyebutnya ulang sambil tersenyum, kami lalu berjalan kembali, Denis tampak sedang mengecek fotonya sambil berjalan mengikuti rombongan.
"Wow... You damn good, Dena. Like a super model." Denis masih menatap kameranya, tak sadar Neratha sudah mendelik tajam kearahnya.
"Neratha, your girlfriend is really hot. You're lucky." Denis tersenyum jahil, menggoda Neratha. Dia kemudian berjalan mendahului kami.
"Thank you Denis!" Aku tertawa puas.
"Apaan sih! Bule sia**n!" Neratha memakinya.
"Kamu juga ganjen nyender-nyender!" Dia menatapku tajam.
"Aduh sayang, kenapa sih? Cemburu ya? Tadi diajak foto gak mau." Aku tertawa geli melihatnya.
"Kamu tuh ya kalo lagi sebel lucu tau, makanya banyak yang jahilin kamu kalo liat kamu lagi cemberut."
"Gak lucu!" Dia berjalan mendahuluiku.
"Ayo sini kufotoin." Tawarku.
"Gak butuh!" Dia masih memasang wajah masamnya, yang menurutku menggemaskan.
Aku menikmati suasana di Kinderdijk, pemandangannya sangat indah dan menenangkan. Setelah puas berkeliling dan mengabadikan momen, kami masih harus melanjutkan perjalanan. Baru saja keluar dari dalam salah satu kincir angin yang dijadikan museum, Neratha diam saja.
"Kok duduk sih? Bangun."
"Cape." Ujarnya.
"Yaudah, sini aku gendong." Aku berjongkok di depannya.
"Kamu ngapain?"
"Gendong kamu lah. Apalagi?" Aku menoleh ke belakang.
"Gak usah. Aku bisa jalan sendiri." Dia mengalihkan pandangannya kearah lain.
"Yaudah." Aku ikut duduk disampingnya, iseng membidiknya dengan kamera. Rambutnya yang tertiup angin, memberikan kesan misterius.
"Udah kamu sana jalan duluan. Jangan main kamera terus." Dia mengusirku.
"Kamu cantik." Aku mengecek hasil fotoku. Dia mendekat, melihat hasil fotoku dari awal.
"Ih ini kan daritadi? Jadi daritadi kamu fotoin aku terus?" Dia terkejut tapi wajahnya nampak senang.
"Iya. Udah yuk jalan lagi." Aku menarik tangannya, hendak mengajaknya berdiri.
"Nanti, masih cape. Kamu duluan aja." Ujarnya. Dia mengerutkan keningnya, tampak kelelahan.
"Kita belum dapet foto yang bagus loh." Aku kembali duduk di sampingnya.
"Nanti aja."
"Kalo bisa sekarang ngapain nanti." Aku mencium pipinya.
"Den! What are you doing?!" Dia terkejut.
"Ngambil foto. Dapet. Hahaha." Aku berhasil. Fotoku sedang mencium pipinya.
"Ih! Kirim!" Ujarnya. Setelahnya kami tertawa bersama.
"Ayo. Kita udah ketinggalan rombongan." Aku mengajaknya berjalan lagi.
"Masih capeee." Dia merengek. Aku menggulung lengan kemejaku. Walau sama-sama navy tapi dia ngebandel lebih memilih kaos daripada kemeja. Dasar keras kepala. Aku jadi penasaran, apakah semua zodiak aquarius itu keras kepala?
"Cepetan naik." Aku jongkok di depannya. Kali ini tanpa menolak dia menurut saja, naik ke punggungku.
"Gak berat?" Tanyanya.
"Berat. Berat banget kamu. Cinta kamu nih berat banget." jawabku, berusaha menggodanya.
"Ih apaan sih, jayus." Jawabnya, sinis. Tapi dapat kupastikan dia tersenyum. Aku berjalan pelan, berusaha menikmati sore ini di jalan setapak Kinderdijk yang dikelilingi rumput hijau dan kincir angin sambil menggendongnya.
"Foto pre-wed disini bagus nih." Ujarnya.
"Kamu mau nikah sama siapa?" Tanyaku.
"Ya sama kamu lah sama siapa lagi!" Dia menjewer telingaku keras-keras.
"Aduh! Sakit! Kamu nyakitin aku terus sih!" Aku berteriak.
"Hahaha!" Dia merangkulku lagi erat-erat.
"Gak usah balik ya. Kita gini aja terus." Aku tidak dapat menahan senyumanku.
"Ya kita liat aja yang bentar lagi encok. Awas aja nanti malem minta dipijitin gara-gara sakit pinggang."
"Dasar jahat."
***











Nuansa Rasa PadamuWhere stories live. Discover now