09. Friend Kiss?

3.8K 291 93
                                    

Neratha menerawang buku di depannya. Walaupun dia membaca sebuah buku di tangannya, dia tidak benar-benar membacanya. Pikirannya terus berlari memikirkan orang yang sudah 2 bulan ini dihindarinya. Orang yang selalu menemani hari-harinya, menjadi pelindungnya, dan selalu membuatnya tertawa. Orang itu juga mulai menarik jarak sekarang, tidak berusaha mengejarnya lagi seperti satu setengah bulan yang lalu.

Pikirannya berlari memutar memori yang sudah mereka lalui bersama hingga berhenti di memori satu tahun lalu. Memori yang selalu membuat keningnya berkerut jika mengingatnya. Memori saat dirinya tengah mengalami masa pengasingan, kebencian, umpatan, dan hinaan dari teman-temannya.

"Ih liat deh, dia lewat."

"Heh dasar gak normal!" 

"Sampah!"

"Murahan! Hahaha."

Suara tawa yang mengejek hampir setiap hari dia dengar. Kata-kata hinaan menyakitkan sudah menjadi santapan sehari-hari. Isu yang beredar tahun lalu menjatuhkan namanya dan merusak kehidupan sosialnya. Isu bahwa dirinya berpacaran dengan teman sekamarnya disebar oleh seniornya yang mengaku sebagai pacar Fero. Nama Fero tentu tidak terlalu rusak karena dia anak kepala sekolah ditambah kepribadiannya yang disenangi banyak orang, dan segudang bakat dan prestasinya, tentu saja, tidak mempersulit keadaannya. Tapi posisinya tidak ia gunakan untuk menolong Neratha, gadisnya, yang sangat dicintainya, katanya. Ia malah memutuskan untuk menjauh dan meninggalkannya sendirian baik di sekolah maupun di asrama.  Di tengah keputus asaannya itu, Neratha berdiri di balkon sekolah, bersiap melompat dari atas sana hingga sebuah tangan menyelamatkannya.

"Sadar!! Jangan bodoh!" Mereka terduduk di lantai balkon sekarang, yang terbuat dari semen.

"Minggir! Kenapa kamu nolong aku sih?!"

"Yang kamu lakuin salah! Kamu kira dengan mati masalahmu selesai hah?!"

"Lepasin!!" 

"Gak akan! Gak akan pernah! Dan gak akan aku lepasin kamu sampai kapanpun!" 

Sosok itu berteriak sambil menahan kedua bahu Neratha. Ya, sosok itu. Sosok yang lebih berkuasa dari siapapun, sosok yang dipuja-puja tapi sangat sulit didekati siapapun karena sikap dinginnya, sosok yang sempurna, sosok yang kepribadian dan kharismanya dikagumi dan disegani banyak orang. Denata Praditya Agatha.

Neratha menangis tersedu-sedu, terdengar menyayat hati bagi siapapun yang mendengarnya.

"Semuanya udah berakhir. Aku gak punya apa-apa lagi. Aku udah hancur."

"Kamu masih bisa mulai ulang semuanya. Bangkit. Kamu gak sendiri. Inget Tha, aku udah balik. Dan aku bakal hajar semua yang ganggu kamu. Siapa yang ganggu kamu hari ini?"

"Kamu mau hajar satu sekolahan?" Gadis itu masih terisak sambil menatap Denata.

"...Iya!"

"Jangan gila den. Aku cuma udah gak kuat." 

"Kita kan udah janji bakal lewatin semuanya sama-sama. Terus kenapa kamu masih mau lompat darisitu? Nanti yang gantiin nepatin janji kamu siapa? Belum seminggu kita baikan sejak kamu dipukulin."

"...aku cuma gak kuat."

"Tha, kamu kira mati itu enak? Kamu bakal jadi arwah penasaran yang menyedihkan, kamu bakal mengulangi detik-detik pas kamu mau bunuh diri sampai waktunya tiba untuk kamu berhenti. Emang enak? Gak takut sama Tuhan nih?"

Neratha terisak tambah keras, ia benar-benar menangis pilu sekarang.

"Aku janji kita bakal lewatin ini sama-sama. Kamu gak sendirian. Kita buat satu sekolahan bungkam sama prestasi kamu. Aku janji gak akan ninggalin kamu. Kamu harus bangkit. Kamu masih punya aku, Tha." 

"Kenapa? Kenapa kamu balik terus ke aku disaat orang lain jijik liat aku?"

"Karena aku sayang banget sama kamu sampai kamu bikin perasaan aku jatuh sedalam ini ke kamu." Denata menatapnya dalam.

Neratha tertegun, ia tak percaya telinganya. Ia tak percaya pendengarannya.

"Apa Den?" 

"I love you, Tha. More than anyone. More than Fero loves you." 

"...den..?" 

"Dari kelas 1. Maaf kalau kamu kaget. Tapi aku gak minta kamu balas perasaan aku kok. Kamu cukup tau, aku bakal selalu ada buat kamu. Kapanpun. Dimanapun." Denata mengelus kepala Neratha lembut, ada senyum menyejukkan diwajahnya.

"Den..." Neratha menangis lagi, kali ini ia memeluk Denata.

"Aku sebenarnya gak mau ngaku. Tapi ngeliat kamu kayak gini, udah waktunya aku confess, Tha. Kamu gak sendirian. Tenang ya, dan jangan bodoh lagi kayak tadi kalo enggak...."

"Kalo enggak.. apa?" Neratha sudah mulai tenang sekarang, ia menatap Denata.

"Kalo enggak, nanti aku cium." Denata tersenyum jahil.

"Kamu mau?" Diluar dugaan, Neratha malah tersenyum. Denata tertegun. 

Neratha memangkas jarak, tangannya masih dikalungkan di leher Denata. Wajahnya mendekat hingga bibirnya menempel dengan bibir Denata. Awalnya hanya menempel. Denata yang terlalu terkejut tidak membalas, matanya terbelalak melihat sikap sahabatnya itu.

"Tha?"

"Diem dulu Den. Aku butuh ketenangan. Nikmatin aja ya. Hapus sekalian bekas bibir orang itu yang cuma ninggalin kenangan pahit." Neratha menjawab masih sambil memejamkan matanya. Ia kembali melumat bibir Denata yang kali ini dibalasnya, dan siang itu rooftop sekolah menjadi saksi bagaimana Denata akhirnya mendapatkan kebahagiaannya kembali.

Neratha tersenyum sekilas mengingat kejadian itu. Ia sedang rindu sekali orang itu. 

"Aku gak tau apa rencana kamu Den. Tapi aku yakin kamu gak akan ingkarin janji kita." Batinnya. Neratha kembali tenggelam dalam bukunya.

***

Kapan gue bisa gini wkwkwk 

-author yang malang-

Nuansa Rasa PadamuWhere stories live. Discover now