37. Just a Simple Way To Love

1.3K 125 16
                                    

"Aku pindah kewarganegaraan aja ya." 

"Gak usah!" 

"Aku beli rumah dulu." 

"Dena, demi apapun gak perluuu!" 

"Aku bakal les privat bahasa Belanda." 

"Gak usaaah. Kita gak butuh itu!" Neratha pusing daritadi melihat pacarnya uring-uringan. Setelah setengah jam mempelajari syarat-syarat untuk menikah sesama jenis di Belanda, nyali mereka ciut. Menikah di luar negeri tak semudah yang dibayangkan. Syarat-syaratnya sulit dipenuhi.

"Jadi gimana aku bisa nikahin kamu?" Denata murung, wajahnya pupus harapan. 

"Tadi kan udah." 

"Masa gitu doank sih?" 

"Ya gapapa. Memangnya kenapa?" 

"Ulang!" 

"Ini kenapa kamu yang ngotot sih?" 

"Aku mau nikahin kamu!" Denata berteriak sambil memegang kedua bahu Neratha. 

"Yaudah buruan." 

"Gak. Gak jadi." Denata urung. 

"Ih gak jelas banget deh." 

"Udah jam 11. Yuk kita jalan keluar." Denata menarik tangan Neratha, membawanya dalam genggaman seperti biasa. 

"Udah lama aku gak digenggam gini." 

"Seneng kan?" Denata tersenyum, senyum kemenangan.

"Banget."

Berjalan di sepanjang jalanan yang dihiasi pohon maple berwarna oranye. Siang hari yang cerah, membahagiakan sepasang kekasih yang baru bertemu kembali. 

"Kesitu yuk." Neratha menunjuk sebuah kafe di pinggir jalan.

"Kenapa?" Neratha menoleh pada Denata yang tidak juga bergerak padahal ia sudah menarik tangannya.

"Kamu cantik kalo lagi seneng kayak gini." Denata tersenyum menggoda.

"Ih apaan sih." Neratha tersipu, pipinya sudah merah sekarang karena gombalan pacarnya itu. Tapi sayangnya itu bukan gombalan, itu kenyataan. Hahaha.

Mereka menghabiskan waktu berdua sepanjang siang itu. Bercanda, berpelukan, bergandengan, berkeliling berdua. 

***

"Udah sore aja nih. Balik yuk?" Neratha tersenyum menatapku yang duduk di sampingnya. Kami masih berada di taman kota.

"Ayo." Aku berdiri. 

"Tarik." Neratha mengulurkan kedua tangannya manja, memintaku menariknya agar berdiri.

"Enggak." Aku pura-pura cuek.

"Ih nyebelin!" Dia memukul kaki kiriku dengan tangannya.

"Buruan." Aku menggenggam kedua tangannya. Menariknya cukup kuat hingga ia berdiri, mata kami bertatapan. Jarak wajah kami dekat sekali.

"Ehem." Dia berdehem sekali lalu mengalihkan pandangannya ke pohon-pohon maple di sekitar kami.

"Yuk. Jalan lagi sayang." Aku tersenyum, merangkul bahunya dari belakang. Ia menurut saja. Ia masih diam tapi senyum tak lepas dari wajahnya. Tak lama ia menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Mungkin mulai kedinginan karena hari sudah sore. 

"Kenapa?" Tanyaku.

"Enggak. Gapapa." Jawabnya. Aku melirik jam tanganku, jam 7. Tapi masih terang. Suasana langit sangat bagus sore ini.

Nuansa Rasa PadamuKde žijí příběhy. Začni objevovat