9. Pindahan

67.9K 1.4K 19
                                    

Minggu depannya, gue adain traktiran perpisahan di Mall. Gue bilangnya mau pindah ke saudara buat memperdalam minat gue dibidang kuliner.

Semua pada nangis dooong, ALAY

"Huhu Sarah sering-sering kontak kita ya!"

"Kenapa sih mesti pindaaah?"

"Sarahhh jahattt!! Bakal kangen nih".

Makin ga tega aja sama mereka. Tapi yah. Suami di atas temen a.k.a Gue bucin.

Tapi dari semua, yang paling banyak nangis si Desi. Habis bahu gue dibikin basah. Dia ga lepas pelukan, kaya ini bakal terakhir kalinya kita ketemu.

Well iya sih, tapi ga selamanya,

"Sarah, jangan lupain Desi ya...", tangisnya.

Gue cuma bisa senyum sambil ngusap punggung. Masalahnya ini buat kebaikan gue...gue ga ada pilihan lain. Setelah dari traktiran, gue dan Kak Zac pergi ke dokter buat periksa kandungan, sekalian buat surat rekomendasi terbang dari dokter.

"Lebih jauh daripada Bali?", tanya gue sambil lipet baju

"Iya, kamu ga tau deh tapi bagus! Percaya kakak!", kata Kak Zac penuh rasa percaya diri. Tanpa basa-basi, malam itu juga, kita pindah. Sebelumnya kita pamit ke Bapak Emak di rumahnya.

Emak nangis deres,
"Baru nikah udah ikut suami ya...padahal dijodohin...", malah nyir-nyir,
"Tapigapapa, emang kewajiban istri. Toh ini buat kebaikan kamu", senyumnya hapus air matanya. Senyuman lembutan itu bakal selalu ada di ingatan gue.

"Pak, Sarah berangkat dulu ya", kata gue meluk Bapak

"Urusin suami kamu yang bener ya", senyumnya menepuk punggung gue.

Di pesawat pun, gue nahan nangis. Baru kali ini gue jauh banget dari mereka. Ini juga pertama kalinya gue berpisah sama temen-temen.

Mereka semua satu SD, beberapa ada yang baru sih. Tapi dari dulu, kita semua bakal janjian masuk SMP mana, dan SMA mana. Sampai kemarin semuanya sama, tapi sekarang....

Setelah mendarat di malam hari, kami menaiki kapal kecil lagi ke pulau kecil lainnya. Memakan waktu sekitar 1 jam.

Sesampainya pulau kecil ini...gue melihat pohonnya masih rindang dan jarak antar rumah cukup jauh. Jalan pun hanya di terangi lampu kuning yang jaraknya juga jauh. Di pinggir jalan hanya ada warung-warung kecil yang sangat sederhana, tempat bapak-bapak ngopi. Di ujung pulau ini ada bukit yang meninggi, ada beberapa rumah diatas sana. Dan ditengah pulau. Ada pedesaan...bukan, kota kecil bergaya Eropa.

"Kakak gede disini?", tanya gue ngeliat ke tempat ini

"Tepat! Dan kita tinggal di atas sana. Awas lho banyak tebingnya", Kak Zac rangkul gue dan nunjuk ke salah satu rumah di bukit yang cukup jauh. "HA?!", jerit gue ga percaya sebelum bis muncul menjemput kami. Dari bis, gue bisa liat pusat aktivitas pada umumnya, ada tempat makan, toko sayur, buah, daging, taman bermain, pemandian, rumah sakit, TK, SD, SMP, dan SMA. Intinya, kota ini tempat beraktifitas yang dikelilingi rumah-rumah warga.

Perlahan, jalan menanjak dan gue bisa liat pemandangan desa dari atas bukit ini. Apa yang menyita pemandangan adalah lautan dan langit penuh bintang, seperti serpihan yang menari-nari di warna biru, ungu, dan hitam.

"Cantiknya....", gumam gue tanpa sadar. Kak Zac menoleh,

"Kaya kamu. Bedanya kecantikan kamu bisa diliat dari pagi maupun malem", gombalnya nyender-nyender manja.

"Ih! Kakak apaan sih!!!", bisik gue malu

Bis berhenti, "Pemberhentian terakhir", kata supir tua itu menghadap kita, satu-satunya penumpang di malam hari.

Gue Nikah Pas SMA & Suami Gue CEODonde viven las historias. Descúbrelo ahora