-Negeri Impian-

368 32 8
                                    

-Mentari telah nampak dari arah timur. Untuk kesekian kali menyinari ranah ini. Dia begitu patuh mengawal dunia. Menjadi spektator dan peresap hingga akhir hayat manusia. Beraneka jalan hidup tak terbayang akan hinggap pada se-antero manusia karena itu mereka perlu mengupayakan untuk memiliki bekal dalam mempersiapkan apapun yang ada di mukanya. Satu hal yang menjadi kunci kehidupan yakni menerima segala keadaan yang terjadi pada kita dan selalu merasa bahagia atas apa yang Allah sub'hanahu wa ta'ala berikan kepada kita. Bagaimanapun situasinya sebab keadaan tak selalu menyimpang  tetapi mengintropeksi diri selalu pasti agar kita senantiasa mensyukuri hari-hari yang kita miliki-

---

Aku, Safyatul. Panggil saja Safa. Kisahku berawal dari aku dan keluargaku yang menetap di pedalaman, Bandung. Namun akhirnya, Kami terpaksa pindah ke Jakarta meninggalkan malu yang mengakar.

Tok.Tok.Tok (Flashback)

"Pak Rahmat.." Wanita itu memanggil dengan mendesak.

"Wa'alaikumsalam, bu." Ayahku menjawab salam itu sembari membuka pintu.

"Sudah deh. Saya tidak perlu basa-basi. Mana? Sekarang bayar utang-utangmu." Wanita itu justru memalingkan salam dari ayahku dan berkata dengan teriakan hingga terdengar di rumah sebelah.

"Maaf ya, bu. Saya minta waktu lagi untuk membayar semua utang-utang saya." Jawab ayahku dengan cemas.

"Eh. Santai banget yah ngomongnya. Emang hutang loh seribu? Hutangloh itu 10 juta ke gue. Sekarang loh mau memilih menjual rumahmu ini atau mau kuhabisi saja kalian se-keluarga.?" Wanita itu berteriak lagi sekencang-kencangnya hingga menarik perhatian tetangga. Tidak ada yang peduli dengan kami. Mereka hanya menonton kami seolah kami sedang beradu dalam sebuah sandiwara. Ketika itu,  kami gemetaran di sekujur tubuh kami.

---

Ketika itu, aku kepingin sesampainya di Jakarta hidupku bakalan beranjak lebih baik sebab di Jakarta adalah kota besar yang dapat menampung banyak lowongan kerja. Aku lahir dari ayah yang bernama, pak Rahmat dan ibu yang bernama, bu Ningsih. Sebelum ke Jakarta, aku baru saja menuntaskan pendidikanku di SMP 34 Bandung. Semasa itu, aku terus saja menjadi murid yang terpandai. Sayang seribu sayang, mama tidak membiarkanku meneruskan sekolahku lantaran tidak adanya ongkos. Manalagi setelah pindah ke Jakarta. Semua telah dilegokan kepada wanita itu, untuk membayar hutang dan sisanya ongkos untuk pindah ke Jakarta.

Namun, aku selalu memegang kata hatiku. Aku ingin mengejar cita-citaku untuk menjadi orang kaya. Dengan semua tekad yang kumiliki, akhirnya aku dan saudaraku mendaftarkan diri di sekolah terkenal di Jakarta, SMA Pelita tanpa sepengetahuan dari mama. Ayahku tahu tentang ini. Ayahkulah yang selalu mendukung setiap keinginanku tapi ayahku berkata sebelumnya jika ayah tidak bisa membantu apa-apa, ia hanya bisa mendo'akan dari jauh.

Setelah mengikuti beberapa jenis test, keluarlah pengumuman yang menyatakan aku dan saudaraku diterima menjadi siswa di SMA Pelita. Di situlah kegalauanku dimulai. Jika terus kulanjutkan maka aku harus menyiapkan uang 2 juta sebagai biaya masuk di sekolah itu.

Aku diberi waktu 3 bulan untuk mempersiapkan dana itu. Aku berjuang selama 3 bulan sampai sewaktu-waktu aku berhasil mengumpulkan semua dana. Akhirnya aku dan saudaraku menjadi siswa asli di sekolah Pelita. Aku sangat senang karena ini. Sebulan lamanya aku bersekolah di sana barulah mamaku tahu tentang ini. Awalnya, mama sempat marah tapi lama-kelamaan mama akhirnya bisa mengerti.

AYAH'S POV

"Ya Allah, hamba merasa sangat bersyukur memiliki putri-putri yang cantik jelita, tak mudah menyerah dan tangguh. Ayah selalu mendo'akan kalian supaya keinginan kalian bisa terwujud. Ayah yakin, suatu saat nanti."

Aku menderu terharu atas kebahagiaan yang diberikan putriku kepadaku. Mereka terlihat bahagia ketika mendapat berita dari SMA Pelita. Akupun akan ikut bahagia atas mereka. Semua ini berkat kerja keras mereka. Terima lah itu, nak! itu hadiah untuk ketabahanmu.

1 tahun kemudian

Sejak kecil aku hidup dalam kemandirian dan tak semua orang dapat melakukan hal yang sama. Kadang kami ingin mengejar angin sekian jauh tapi sering kali angin melayang tinggi entah kemana. Perkataan dari mereka terus mengembara di otak kecil kami. Mengundang tanya dan tak kunjung aku dapat jawabannya. Namun aku yakin setiap pertanyaan tentu ada jawabannya. Asalkan melalui sebuah proses dan proses itulah yang terkadang membuatku ragu untuk menunggu. Sungguh membosankan.

"Safa maju kedepan! Jawab soal bagian b !" Sahut pak Hermawan.

Sudah kubayangkan sepulang sekolah aku akan memperoleh ocehan manis dari mama. Walau tak salah ya disalah-salahin aja. Membuatku pusing tujuh keliling. Rasanya akan lebih baik jika aku bersandar di dinding kelas sepanjang hari sambil berhayal mengenai hal mustahil terjadi dalam hidupku. Lebih baik aku memikirkan tentang hal yang indah-indah saja. Mimpi yang seperti ini akan membuatku tersenyum sendiri di ruang belajar. Menyenangkan juga.

Gmana nih udh cukup greget gk?😬

🔜

Negeri Impian Where stories live. Discover now