-Negeri Impian-

40 2 0
                                    

WELCOME!!!

"Ternyata selama ini kamu cuma cinta sama aku karena kasihan saja kan?" kataku padanya sambil menangis.

"Maksud kamu apa?" Dia yang tidak tahu menanyakan maksudku berkata demikian. Akupun memperlihatkan kertas yang kutemui di kamarnya.

"Maafin aku Safa. Itu.." Aku tidak ingin mendengarkan alasannya cukup aku menjelaskan kemarahanku padanya. Namun saat aku akan naik di motor Hanifan kepalaku terasa sakit. Penglihatanku kabur. Aku sudah tidak dapat menahannya lagi. Badanku terjatuh di depan Hanifan.

"Safa!" Hanifan turun dari motornya sementara Agata lebih dulu mengangkatku dan membawaku masuk ke dalam mobilnya.

"Kita bawa saja ke rumah sakit." Pinta Agata pada Hanifan. Hanifanpu menuju ke rumah sakit dan memberi tahu keluargaku.

Dokter mengatakan sesuatu di hadapan keluargaku, termasuk di hadapan Hanifan dan Agata.

"Sepertinya anak anda sudah mengalami benturan keras pada kepalanya. Benturan itu membuat sebagian ingatannya menghilang." Dokter mengatakan kepada ayah dan mamaku. Mamaku menangis sebab takut bila aku tak mengingat dirinya.

"Apa itu bisa pulih kembali, dok?" Ayah bertanya pada dokter.

"Bisa tapi itu agak lama, pak sebab untuk menunggu benturan itu pulih prosesnya panjang. Tapi, kalau sudah ingat akan diingat semua." Dokter menjelaskan.

"Bagaimana ini ayah?" Tangisan mamaku semakin bertambah ketika mendengar aku memulih dalam waktu yang lama.

Setelah mendengar penjelasan dari dokter, Agata kaget melihat ayah dan mamaku yang cemas dengan diriku. Akhirnya Agata berbicara dan mengakui kesalahannya.

"Maafkan Agata, Agata yang telah membuat Safa seperti ini. 8 bulan lalu, Agata tak sengaja menabrak sepeda Safa dan Sifa." Agata berkata di hadapan keluargaku dan Hanifan.

"Ternyata kamu yang waktu itu." Sifa mengingat.

"Keterlaluan loe. Aku sudah mengatakan cowok ini memang sudah sering membawa kesialan untuk Safa." Hanifan berteriak dan menunjuk di Agata.

"Selamat siang. Pasien bernama Safa sudah sadar." Kata suster. Mereka yang bertengkar meredam kemarahan dan segera masuk ke dalam kamarku.

"Mama." Kataku di mama yang sedang masuk ke kamarku.

"Yah, Safa mengenalku. Iya, nak." Mama menyahut dengan mengelus-elus rambutku.

"Ayah." Aku juga menyapa ayah. "Iya, nak." Ayah menyahut dengan menangis.

"Sifa." Aku menyapa untuk orang yang terakhir, saudara kembarku.

"Safa, kamu ingat aku, kan?" Dia berkata padaku sambil menggenggam tanganku. Aku melihatnya lama dan berusaha mengingatnya. Namun semakin aku mengingat, semakin berdenyut kepalaku.

"Aku nggak tahu." Kataku padanya sambil melepaskan genggamannya.

"Kalau aku?" Hanifan bertanya.

"Aku gak tahu." Aku menjawab lagi.

"Saya harap kamu keluar sekarang!" Ayah membentaknya dengan menangis. Ayah sangat menyayangi putri-putrinya. Dia mengalah dan keluar dari kamar sedangkan pria yang lain mengikuti jejaknya.

"Aku minta sama kamu untuk menjauhi Safa dan loe harus sadar loe bukan pria yang terbaik untuk Safa." Hanifan mengancam Agata.

"Belum tentu." Agata menjawab dan meninggalkan rumah sakit. Dia meninggalkanku dengan tangisan dan mengingatkan hatinya bahwa dia akan merindukanku dan selalu ada dalam setiap langkahku.

...

Hari ini Hanifan datang ke rumahku untuk menjenguk diriku. Dia mengantar Sifa pulang dari sekolah. Dia mengajakku mengobrol dan dia memperlihatkan sebuah foto bergambarkan aku dan dirinya sambil memegang sebuah balon.

"Ini foto aku sama kamu waktu kita sering bersama dulu." Katanya sambil memberiku foto itu.

"Aku suka sama balon." Kataku padanya setelah kuamati foto itu.

"Iya kamu suka balon." Dia menjawab.

"Iya dia kekasihmu, nak. Dia anak yang baik. Dia sangat menyayangimu dulu, nak. Andaikan kamu bisa mengingat." Ayahku berkata setelah mendengar obrolanku dengan Hanifan. Mendengar ucapan ayah aku memberi senyum pada Hanifan dan Hanifanpun tersenyum padaku.

"Aku mau mengajak kamu makan malam nanti malam, boleh nggak?" Hanifan mengajakku jalan-jalan.

"Boleh." Kataku padanya jika ia benar kekasihku.

Flashback

"Sifa ayah berharap kamu tidak memberitahu Safa tentang Agata atau berusaha mengingatkan dia tentang masa lalunya. Ayah tidak menyetujui Safa dengan dia. Dia telah merusak satu orang putri ayah." Ayah berkata dan meminta tolong pada Sifa dengan mimik muka yang tersakiti.

"Baik yah Sifa akan berjanji." Sifa menjawab ragu-ragu. Sifapun memberi tahu pada teman-temannya yang lain termasuk Clara dan Wilda.

"Clara, Wilda jangan ingatkan Safa dengan kak Agata, ya." Aku memohon pada mereka.

"Loh kenapa, Sif?" Mereka bertanya sebabnya.

"Ini perintah ayah." Kataku pada mereka.

"Oke Sifa kalau itu memang terbaik untuk Safa. Kami siap." Mereka menjawab.

"Makasih, yah." Sifapun sebenarnya tak tega jika harus menyembunyikan ini dariku. Sebab dia menyadari lambat laun aku akan mengingat dan akan kecewa pada mereka yang membohongiku.

...

Sekarang, semua hari-hariku berjalan dengan adanya Hanifan di sampingku. Kami berangkat dan pulang sekolah setiap hari. Berjalan-jalan sekali dalam seminggu hingga se-ibu kota Jakarta telah kami singgahi dalam waktu setahun ini. Kadang, aku merasa jenuh dengan keadaan yang tak membuat ingatanku jua memulih. Aku ingin menikmati perasaanku dulu yang kupunyai bersama Hanifan jika ia memang kekasihku. Aku selalu berusaha untuk mengingat.

"Hanif, kenapa ingatanku belum pulih jua?" Aku mengeluh di hadapan Hanifan.


VOMMENT!!!

Negeri Impian Where stories live. Discover now