26

4.9K 603 20
                                    

Ditengah malam yang gelap. Hujan turun deras membasahi seluruh kota. Di sebuah lorong rumah sakit yang sudah mulai redup dan sepi, Jae Mee yang masih mengenakan pakaian kerjanya menangis tersedu-sedu sambil sesekali bolak-balik di depan ruang ICU.

Sore tadi, sepulang ia menjemput Naeun dari rumah Seulgi. Jae Mee memandikan Naeun seperti biasa. Saat ia membuka pakaian Naeun perlahan, Jae Mee melihat ada beberapa tanda kemerahan di bagian punggun Naeun. Tanda itu sedikit keunguan, persis seperti luka lebam akibat pukulan benda tumpul. Seketika itu juga Jae Mee mengingat apa yang pernah dikatakan dokter Kun.

"Kemungkinan Naeun kembali terkena penyakit yang sama masih cukup besar. Tolong pastikan ia istirahat dengan cukup dan mengkonsumsi makanan yang tepat."

Dan benar saja adanya. Sesampainya Jae Mee dan Naeun di rumah sakit, Naeun tidak sadarkan diri. Ini membuat Jae Mee semakin tidak bisa menahan air matanya. 

Malam ini Jae Mee masih sendiri. Belum ada teman atau kerabat satupun yang menemaninya. Ia bisa maklum dengan segala kegiatan dan pekerjaan teman-temannya yang sibuk. Beruntungnya Jae Min sudah akan tiba esok pagi karena sedikit tidak memungkinkan jika ia berangkat tengah malam seperti ini disaat tidak ada bus ataupun kereta bawah tanah yang beroperasi.

"Jae Mee?"

Jae Mee menoleh. Seorang pria berjas putih berdiri tepat di depannya. Ditangan kanannya ia sudah memegang dua buah cup kopi. Bisa pria itu lihat jika mata Jae Mee sudah membengkak akibat tangis yang tak kunjung berhenti.

Jae Mee menghapus air matanya kasar dan tersenyum pada pria itu. Si pria kini mengambil posisi tepat disebelah Jae Mee.

"Ini, ambil." Katanya menyodorkan satu cup kopi.

"Terim kasih." Jae Mee menyesap kopi itu pelan. Kopi yang sedikit menenangkan pikirannya untuk sejenak. Setidaknya sedikit menghilangkan stres nya hari ini.

"Kau belum pulang?" Tanya Jae Mee.

"Masih ada beberapa urusan yang harus aku selesaikan. Kebetulan aku menemukanmu seorang diri disini. Jadi tak apa kan jika aku menemanimu?"

"Oh, aku merepotkan jadinya."

"Sungguh, tidak sama sekali. Aku tahu bagaimana rasanya menjadi dirimu disaat seperti ini."

"Terima kasih." Kata Jae Mee lirih.

Kun, dokter yang selama ini memeriksa dan merawat Naeun mendapat sedikit informasi mengenai Jae Mee yang seorang single parent. Maka dari itu ia tahu apa yang dirasakan Jae Mee saat ini.

"Maaf, tapi jika aku boleh tahu pria yang bersama mu saat itu dimana?"

"Taeil?" Tanya Jae Mee. Kun mengangguk.

"Ah, dia sedang ada tugas di Itali."

"Seperti itu." Kun mengangguk paham. "Hmm kau akan bermalam disini?"

"Harus."

"Kau bisa menggunakan ruanganku jika kau mau. Kau bisa istirahat disana. Yaa walaupun hanya sofa, setidaknya itu lebih baik daripada kursi di sini kan?" Katanya sambil melihat deretan kursi yang ada di lorong rumah sakit. Mau bagaimanapun, badan Jae Mee akan sakit-sakit jika ia memaksakan tidur disana.

"Jangan. Aku khawatir akan menjadi perbincangan orang-orang."

"Oh sungguh tak apa. Sudah beberapa kali keluarga pasien menginap di ruanganku."

"Terima kasih."

***

Sebuah tangan mengusap wajah Jae Mee pelan. Dilihatnya baik-baik wajah wanita muda yang masih tertidur di depannya. Sunggu, wajahnya memperlihatkan betapa beratnya perjalanan hidup yang telah ia lalui. Ditambah banyaknya cobaan yang datang silih berganti.

Jika dikatakan ia tidak peduli, itu salah besar. Tuntutan pekerjaanlah yang memaksanya untuk terlihat seolah lepas tanggung jawab pada gadis berkulit pucat itu.

"Jae Min." Panggil Jae Mee dengan suara paraunya. Dengan mata yang masih sedikit terpejam, ia bisa melihat sosok adiknya kini tengah duduk di depannya.

Jae Min tidak memberi tak berkata apapun. Ia langsung menarik tubuh sang kakak yang sangat ia cintai itu ke dalam pelukannya. Ia menangis sejadi-jadinya.

"Maafkan aku." Lirihnya semakin membenamkan wajahny di bahu Jae Mee.

Jae Mee yang semula sempat tidak mengerti dengan perlakuan adiknya kini sudah memeluk erat tubuh Jae Min. Keduanya kini larut dalam kesedihan yang dalam. Sama-sama menyalurkan perasaan terdalam mereka melalui pelukan yang semakin menguat.

"Seharusnya aku tidak pergi."

Jae Mee menggeleng. "Tidak Na. Ini bukan salah mu." Jae Min menghapus air mata Jae Mee.

"Dimana Taeil?"

"Ia sedang ada pekerjaan di Italia. Lusa baru tiba disini."

"Noona pulang saja dulu. Biar aku yang menjaga Naeun."

"Tidak sampai Naeun sadar." Tolak Jae Mee.

"Noona, aku mohon. Sekali ini saja kau perhatikan kesehatanmu juga." Bujuk Jae Min. Iya, dia tidak ingin hal serupa terjadi lagi. Ketika Jae Mee yang tiba-tiba jatuh sakit setelah kelelahan merawat Naeun di rumah sakit beberapa waktu lalu.

Dengan berat hati Jae Mee mengikuti perkataan Jae Min. Sebelum benar-benar pulang, ia singgah sebentar di ruangan ICU untuk melihat keadaan putri kecilnya. Wajah itu, kembali dihiasi dengan berbagai macam alat pengobatan.

Berkali-kali Jae Mee merutuk dirinya. Meski ia terlihat kuat seolah tidak ada apa-apa, siapa sangka jauh di dalam hatinya ia justru mencaci maki dirinya. Terus berulang kali melontarkan kata-kata jahat pada dirinya sendiri.

Kedua kalinya, Naeun masuk rumah sakit dan didiagnosa dengan penyakit yang tidak bisa dianggap remeh. Penyakit yang sangat berada diambang ketidakpastian. Jika ia sembuh, kemungkinan besar untuk kembali normal sangatlah kecil bahkan sembuh total hanyalah sebuah angan yang tidak akan pernah ada. Namun, kemungkinan terbaik yang justru menyakitkan. Putri kecil satu-satunya itu harus kehilangan nyawanya diusia belia. Kemungkinan yang sungguh memilukan.

Jae Mee menangis di ujung lorong rumah sakit. Perisis di sudut kanan pintu lift yang sedikit menjorok. Keadaannya sungguh kacau. Pakaian, wajah, rambut bahkan jiwanya.

Ibu macam apa aku ini? Sudah gagal merawat dan melindungi anak ku satu-satunya.
Ibu macam apa aku ini? Tidak pernah memikirkan kondisi anaknya.
Ibu macam apa aku ini? Tidak peka dengan kondisi anaknya sendiri.

Aku, hanyalah orang tua bodoh yang membiarkan anaknya terjerumus ke dalam lubang yang sama. Bahkan kini lubang yang jauh lebih dalam dan kemungkinan untuk keluar sudah sirna.

Tuhan, jika kau ingin menghukum ku. Hukum saja aku. Hukum saja aku dengan hukuman-Mu yang paling berat. Aku sudah tidak becus menjaga harta titipan-Mu yang paling berharga.

Jika Kau ingin mengambilnya, tolong jangan sekarang. Ia masih punya masa depan yang panjang. Cukup Kau ambil saja diri ini. Aku siap.

"Jae Mee! Bangun!"

"Seseorang, tolong!"

.
.
.
.
.

To be continued

.
.
.
.
.

No comment.




Lost | Jung Jaehyun ✔Where stories live. Discover now