3. Solution

1.9K 138 1
                                    

Aku tiba dirumah sejenak setelah kedua kaki ini menapak dengan sempurna diperhelatan pintu depan dengan nuansa putih serta sedikit sentuhan rumah khas penduduk korea. Dengan perasaan yang sedikit lebih baik tentunya. Mungkin ini karena sehabis bertemu dengan Taehyung-ie ku tadi.

Yang jelas jauh lebih baik daripada keadaan ku tadi pagi.

Ku keluarkan benda persegi tipis dari saku hoddie yang menempel manja didepan perut ku ini mirip seperti kantong ajaib dalam serial doraemon. Sekedar untuk memenuhi janji ku pada Taehyung untuk memberi tahunya bahwa aku sudah menapakkan kedua kaki ku dirumah dengan sempurna.

Belum selesai dengan itu, tatapan ku langsung terkunci pada sebuah adegan dewasa dimana ada seorang wanita lumayan berumur dengan seorang namja brondong sedang bercumbu rayu hingga membuat ku sulit meneguk saliva ku sendiri. Nadi ku seketika terasa begitu mengikat pergelangan tangan ku sendiri.

Aku mempercepat langkah kaki ku mendekati mereka. Dan ketika kurasa sudah cukup dekat aku pun memekik dengan suara lantang penuh delapan oktaf.
"Yaaaa neo!! Neo micheosseo!!"
Ucap ku pada namja berengsek itu sambil menariknya agar menjauhi eomma ku.
(Kamu gila, laki-laki)

"Pergi dari sini sekarang!! Dasar Namja sialan!! Namja saekkia!!"
Lanjut ku begitu kasar dengan nada yang tak kalahnya bagai sambaran petir.
(Sekarang,  laki laki berengsek)

Sejujurnya aku adalah anak yang sangat sopan dan tidak pernah berkata kasar pada orang lain.

Jangankan berkata kasar, untuk bicara dengan nada tinggi saja itu jarang terujar dari dalam birai ku kecuali untuk hal-hal tertentu misalnya dikejar anying.
Tapi semenjak hidup ku berubah, perilaku ku pun nyaris juga ikut mengiringinya.

Laki-laki berengsek tersebut akhirnya lari pontang-panting menuju pintu keluar rumah ku karena memang kelihatannya ia sangat terkejut oleh murkanya seorang SEIJIN.

"Eomma wae? Tak bisakah eomma menghentikan ini semua? Apakah eomma tidak kasian pada appa eoh? Appa pasti sangat sedih jika melihat eomma seperti ini." Aku menasihatinya lagi tapi entah kenapa kali ini terdengar seperti rengekan.

Terlampau biasa kedua manik ini melihat eomma melakukan hal seperti itu. Sebab memang itulah rutinitas malam eomma satu tahun terakhir ini.

Jarang pulang kerumah. Dan sekalinya pulang pasti tidak sendirian atau lebih tepatnya bersama para laki-laki brondong gila itu. Dan berganti ganti setiap malamnya.

Itu membuat ku semakin muak

Ingin sekali rasanya aku marah dan menjambak-jambak wajah eomma mengalirkan amarah yang nyaris membuat ku gila satu tahun terakhir ini.

Tapi lagi-lagi aku ingat dia adalah eomma ku satu-satunya. Harta yang terakhir yang ku punya, dan aku wajib melindunginya. Serta janji ku pada appa untuk menjaganya sebelum appa ku meninggal dunia dulu.

"Eomma..." aku menyandarkan tubuh lelahnya itu di punggung sofa sambil memperbaiki kancing bajunya yang sedikit terbuka mempertontonkan kulit putihnya yang nampak menunjukkan tanda-tanda penuaan.

"Eomma sekali lagi bisakah eomma hentikan semua ini eoh?"
Ucap ku dengan nada selembut mungkin menyapu pelan punggung tangannga yang terasa begktu dingin bahkan dari udara AC sekalipun.

"Waeyeo?!" Balas eomma dengan aroma bekas alkohol yang menguar dari dalam mulutnya pertanda dia habis minum tadi.

"Apa eomma tidak kasian dengan appa eoh?" Masih dengan nada teramat lembut.

EpiphaniaWhere stories live. Discover now