01. Terima kasih, ya!

22.2K 1.2K 46
                                    

Revisi 28/05/20

Hari ini adalah hari Sabtu. Namun, ada yang membuat berbeda Sabtu kali ini dengan hari-hari bisanya. Tepat hari ini, kali pertama memasuki musim penghujan. Hujan turun dengan begitu derasnya. Seakan langit begitu merindukan bumi.

Sisa-sisa air sehabis hujan masih ada dijendela. Tetes demi tetes sengaja ku amati dengan seksama, sesekali kupertemukan hawa dingin itu menyentuh permukaan kulitku. Entah sudah berapa lama diriku termenung seperti ini. Benar kata orang hujan mengingatkan kita akan kenangan.

Ku pandang langit yang masih sama mendungnya. Sepertinya masih belum cukup bagi langit untuk menumpahkan segala rindunya kepada bumi. Melihat bagaimana langit menangis seharian ini, kembali mengingatkan ku pada buncahan rindu yang tak akan pernah sempat tersampaikan.

Sama seperti bulir-bulir air hujan yang jatuh bebas, mataku seperti ingin menjatuhkan hal yang serupa. Suasana seperti ini seakan memaksaku untuk kembali mengingat memori yang seharusnya ku pendam dalam-dalam dan tak seharusnya ku buka kembali. Tapi, sepertinya hatiku telah berkhianat.

Ternyata, berdamai dengan waktu tak semudah yang ku bayangkan.
Tidak mudah bagiku kembali menjelajahi setiap kenangan yang kamu tinggalkan begitu saja, rasanya seperti mimpi indah tapi pada kenyataannya hanya kecewa yang ku dapat.
Sepi seakan menjadi teman ternyaman setelah kepergian mu.
Kali ini aku ingin berdamai dengan hatiku. Sesak rasanya terbelenggu dalam kenangan masa lalu.

Waktu tidak dapat di putar kembali, begitu pun dengan usaha memperbaiki sesuatu yang jelas tak dapat di perbaiki lagi. Bukankah kita hanya bisa menerima dan berdamai?

Diluar sana hujan kembali membasahi bumi. Sama pula dengan peluh di mata ini, biarlah dia menjadi saksi betapa rindu ku padamu dan betapa kehilangan mu menjadi sesuatu yang paling dalam di hidupku.

Ya Tuhan, kenapa rasa sakit ini masih sama?

Bahu yang semula tegap kini sedikit bergetar, binar yang semula menatap kosong kini sirat akan kesedihan. Hati yang semula sedikit tertata kini kembali hancur. Aku akhirnya kembali rapuh.

Ya Tuhan, mengapa efek dirinya begitu dalam?

Aku tidak bisa seperti ini, aku tidak bisa selamanya menjadi daun kering yang selalu rapuh terkena air.

Ku hapus dengan kasar air mataku, kuputuskan untuk masuk kedalam kamarku, melihat hujan seakan mengingatkan ku akan tawanya.

Satu-satunya cara yang bisa kulakukan saat ini hanyalah menceritakan rasa sakitku. Akhirnya, kuputuskan untuk membuka kembali buku yang berisikan tentang dia. Ingatan dan perasaanku dengan lancang membuka pintu dimensi yang sengaja tak ingin ku jelajahi lagi. Jujur saja rasanya masih sesak, namun bukankah rasa rindu juga sama menyakitkan?

Ini cerita tentang dia. Dia yang saat ini telah menjelma menjadi bayang semu, dia yang sejak dulu sengaja ku lupakan. Dia yang selalu tersenyum meski dunia selalu memandangnya sebelah mata.  Aku menceritakan tentangnya semata-mata agar merasa lega.

Dia bagai bintang yang kehilangan sinar indahnya.
Dia adalah bintang yang tak sepatutnya bersanding bersama pasir, begitu jauh jarak kami, salah satu ingin mendekat namun semesta seakan tak merestui.

Memang takdir bintang bukan untuk sang pasir, bintang itu indah bersinar di atas langit malam. Sedangkan pasir?

Aku memberanikan diri membiarkan dunia tau akan perasaan ku padanya, karena sejak terakhir kami bertemu tak sekali pun ku ungkapkan perasaan ku secara nyata, bahkan sampai detik ini.

Dan, aku menyesali itu. Aku menyesali kemampuanku yang hanya bisa mencintainya dalam diam ku, dalam sepiku, dalam sunyiku, dalam kesendirianku dan dalam ketidakmampuan bibirku untuk mengucapkan sesuatu.

Seandainya saja aku lebih berani mengungkapkannya, apakah mungkin takdir tuhan bisa kubelokkan?

••••••••••

Sabtu, 20 Januari 2020

Di dunia ini ada begitu banyak hal yang tak bisa di kendalikan meskipun ingin. Misalnya cinta dan harapan.

Waktu berlalu tanpa terasa, begitu abstrak untuk di deskripsikan, apalagi jika berkaitan dengan hati.

Semua hal di dunia ini memiliki batas kadaluarsa, namun bagaimana dengan perasaan?

Kamu tau, setelah kamu pergi, aku masih menunggu, selalu menunggu.

Namun, semakin lama aku pun tersadar, aku layaknya menggarami luka, hanya perih yang meraja.

Mungkin saat ini terakhir kalinya aku menulis surat untuk mu, berharap kamu akan datang dan mengerti betapa besar rindu ini.

Aku sangat merindukan mu, bintang ku. Aku rindu senyum tulus mu, aku rindu genggaman erat jemari mu, aku merindukan waktu yang pernah kita lalui. Terlalu banyak rindu, Rasanya aku hampir gila dan putus asa.

Aku menulis semua tentang mu di buku ini, tentang bagaimana pertemuan pertama kita yang sangat menyebalkan. Tentang bagaimana caraku merayu mu agar mau berteman dengan ku, tentang rahasia kecil hidup mu yang tak banyak mereka tau, tentang pemikiran mu yang selalu logis namun tak pernah membawa perasaan, tentang kebersamaan kita, dan tentang bagaimana hari-hari ku yang kulalui setelah kepergian mu.

Hingga, aku pun merasa lelah dan ingin berdamai.
Teramat sangat menyesakkan, namun setiap kali aku melihat binar sayu di wajah pasi mu, kini aku mengerti, mungkin ini cara terbaik melepaskan segala derita. 

Meski kamu tak lagi berada di sampingku tapi, kerap kali bayangan mu hadir perlahan mampu membuatku tersenyum di tengah rasa sepiku.

Seharusnya aku ikut bersama mu. Pergi mu begitu sakit, layaknya seseorang yang harus pergi tanpa alasan. Padahal hadir mu di dunia adalah sebuah alasan ku bisa hidup selayak ini. Kamu yang berhasil membuatku menari di atas lukaku sendiri.

Jika bisa aku ingin kembali di masa lalu, karena bagiku semua sia-sia tanpa kamu.

Terima kasih ya berkat mu hidup ku bisa seindah ini. Kalau seandainya Tuhan mengijinkan kamu membaca  ini, kamu pasti akan senyum-senyum sendiri, itu tandanya kamu sedang rindu. Aku tau hatimu tertinggal disini. Meskipun sekarang pergi mu terlalu jauh dan langkah ku terlalu rapuh, ku harap kita bisa kembali. Bersama-sama menertawakan semesta. Ku harap semua orang yang membaca ini turut mengaminkan doa kita.

Perasaan ku ini seperti koma, yang masih tak ku mengerti harus kubawa ke mana. Apakah harus dilanjutkan atau dihentikan?

Aku sadar sekeping hati ini hanya bisa berangan-angan. Aku rindu. Aku benar-benar rindu kamu, aku rindu senyuman mu, aku rindu semua tentang mu.

Tuhan, jaga dia-ku baik-baik ya. Sampaikan juga rinduku padanya.

Dariku,

-Sekeping hati yang merindu.


--------- TBC --------


Gimana part ini menurut kalian? Aku harap kalian akan tetap enjoy membaca cerita abstrak ini.

Vote dan komentar kalian aku tunggu :-) 

yang udah baca sampai part 23 bisa baca ulang part yg revisi yang belum baca sampai part terakhir bisa di lanjut sampai part 23, ga aku unpub, soalnya ceritanya yg ttg Jaemin ga jauh beda. Cuma aku pengen nambah beberapa tokoh dengan berbagai masalah di keluarga mereka.

Mistake √NaJaeminWhere stories live. Discover now