EMPATBELAS; DATING

229 48 5
                                    

Kamarnya gelap. Gorden jendela yang biasa agak dibuka sedikit kini tertutup rapat. Pintunya juga. Sepertinya tidak ada tanda-tanda kehidupan di sebrang sana. Entah kemana sang empunya.

Gue kembali masuk ke dalam kamar sambil mendesah kecewa. Ini udah jam 8 malam, tapi Hendery belum juga menunjukan batang hidungnya. Gue aja udah balik dari makan es krim sama Kak Dimas sebelum maghrib, masa Hendery jemput temannya yang dari Jogja itu belum pulang sampai sekarang?

Eh?

Gue memukul kepala gue pelan. Ya emang kenapa kalo Hendery belum pulang? Kali aja kan dia lagi main sama Daisy, setelah sekian lama nggak ketemu. Kenapa gue harus repot repot mikirin sambil nungguin Hendery pulang coba? Hadeh dasar aku.

Akhirnya gue kembali merebahkan diri diatas tempat tidur. Membuka hp kemudian scroll scroll twitter.

Tok... Tok...

"NANA!!!"

Gue bangun dari rebahan, membuka pintu kamar. Melihat si pelaku yang mengetuk sekaligus memanggil nama gue barusan masuk ke dalam kamar gue tanpa dipersilahkan. Cowok kurus itu juga langsung merebahkan diri diatas tempat tidur tanpa berkata apapun. Bener bener nggak sopan minta ditendang.

"Rendi Junatan lo ada masalah apa sih sama hidup lo ya nggak sopan banget kayak lo yang punya kamar gue," omel gue panjang lebar sambil menendang bokongnya. Cowok itu berdecak sebal.

"Rumah gue mati lampu, Na. Panas banget kamar gue kayak neraka, mana ngantuk lagi guanya. Minjem kamar lo ye," sahutnya enteng sambil memejamkan mata. Gue mencibir pelan sebagai jawaban kemudian berjalan ke jendela kamar. Melihat semua rumah yang di sebrang gelap, termasuk rumah sepupu gue itu.

"Kok rumah gue nggak mati lampu, Njun?" tanya gue bingung. Rumah Hendery yang ada di sebelah gue juga nyala, nggak mati lampu. Bener bener sederet sebrang sana yang gelap semua lampu di rumah mereka padam.

"Aliran listrik sebrang kanan sama sebrang kiri beda. Kan lo tahu sendiri kalo rumah gue matlis, rumah lo nggak. Kalo rumah lo matlis, ya rumah gue nggak," jelas Rendi masih dengan memejamkan mata. Gue mengangguk mengerti.

"Eh Njun, ke bakso tikungan yuk!" ajak gue sambil beringsut naik ke atas ranjang, duduk di sampingnya.

"Lah gua kesini mah buat tidur. Bukan buat makan bakso."

"Ihhh ayo dong temenin gue!"

"Nggak."

"Lagian lo lemah banget sih ini baru jam 8 malem, Njun. Masih sore buat tidur."

Rendi membuka matanya kemudian menatap gue dengan tatapan malas, "Denger ya Sheina Ayera sepupu gue yang paling nyebelin, gue tuh dari kemarin kurang tidur gara-gara tugas numpuk. Makanya mumpung sekarang gue nggak ada tugas, gue mau tidur lebih cepet biar puas tidur. Paham nggak?"

Mendengar penjelasan Rendi, gue mengerucutkan bibir merasa kecewa, "Yaudah deh gue kesana sendiri aja. Makan bakso sendiri kayak anak ansos, gapapa deh. Lo juga tidur aja disini anggep aja-AW!"

Gue mengerang kesakitan bersamaan dengan kalimat gue yang menggantung. Rendi udah bangun dari rebahannya dan penyebab gue mengerang kesakitan adalah karena Rendi menyentil bibir gue. Nggak terlalu sakit sih tapi kaget anjrit.

"Iya iya udah ayo gue temenin. Drama banget hidup lo," katanya sambil turun dari tempat tidur.

"Eh tapi lo kan mau tidur. Gapapa deh gue-

"Ayo. Tapi nanti beliin gue susu Bear Brand." Lagi-lagi, ucapan gue dipotong. Tapi gue tersenyum lebar sambil mengangguk semangat.

"Jalan aja ya. Gue males ambil kunci motor."

SOULMATE [✓]Where stories live. Discover now