EMPATPULUH; SEMBUH

180 36 5
                                    

      Gue masih SMA kelas dua. Pasti bisa mengira-ngira berapa usia gue kan? Kata orang-orang, masa remaja adalah saatnya kita banyak mengalami suka dan duka. Pun tahu pelajaran apa yang bisa diambil untuk dijadikan evaluasi diri supaya bisa lebih baik lagi. Hingga akhirnya masa remaja tergantikan dewasa, dimana disaat itulah yang orang-orang sebut dengan hidup. 

      Gue ingin kembali ke masa kecil lagi. Ingin sekali. Rasanya gue nggak siap kalau harus jadi dewasa, mengingat semua yang terjadi akhir-akhir ini. Walaupun gue tahu mungkin masalah gue nggak bakal ada apa apanya dengan remaja remaja lain seusia atau bahkan dibawah usia gue diluar sana. Manusia memang suka melebih lebihkan, dan gue adalah salah satunya. 

"Udah?"

Tanpa menoleh, gue tahu apa maksud si penanya. Kemudian gue mengangguk. 

"Minum dulu."

      Akhirnya gue menoleh, melihat Kak Doy menyodorkan segelas air minum ke gue. Tangan gue terulur menerima minum, kemudian meminumnya hingga tandas. 

"2 jam lebih. Sampe bengkak noh mata lo." 

      Saat gue memberikan kembali gelas, Kak Doy menunjuk mata gue. Gue terkekeh saja, bersandar ke kepala ranjang sambil menatap kosong depan. Dua jam lebih gue nangis, dua jam lebih juga Kak Doy menemani gue sampai selesai tanpa mengatakan apa-apa. Yang ia lakukan hanya merangkul gue, menepuk punggung gue, mengelus rambut gue, dan pergerakan sederhana lainnya yang membuat gue setidaknya gue tahu bahwa gue tidak sendirian. 

"Kak Doy, makasih," kata gue sambil menoleh, tersenyum. Kakak kandung gue ini malah berdecih pelan kemudian mengusak puncak rambut gue. 

"Untung pas lo naik ke kamar, gue baru pulang. Jadi gue bisa tahu gerak gerik anak cengeng ini," katanya. 

"Kak Doy baru pulang pasti capek, malah harus dengerin aku nyanyi."

"Iya, sampai sakit telinga gue."

"Heh!"

Kak Doy malah ketawa. 

"Udah lega kan?" tanya Kak Doy. Gue mengangguk. 

"Sekarang tidur. Udah tengah malam ini."

"Nanti aja. Aku masih mau mikir."

"Hadeh!"

Gantian, gue yang ketawa. 

"Dek, Jakarta Bandung itu dekat. Sekarang teknologi udah canggih, transportasi udah serba gampang. Kamu bisa kesini setiap liburan, pun gue yang kesana setiap liburan. Semuanya bakal baik-baik aja," ujar Kak Doy. Itu semua setengah benar, setengah sok tahu. Tapi gue hargai semua usaha Kak Doy untuk membuat gue tenang. Sangat. Sayangnya gue sudah tahu terlebih dulu bagaimana sekolah gue di Bandung nantinya. 

"Kak Doy nggak tahu ya, kalau nanti pas masuk, handphone aku disita? Kak, semua siswa siswi disana nggak ada yang pegang handphone sejak masuk sampai lulus. Mereka dikasih handphone pribadi cuman pas setiap liburan semester."

"Hah? Masa?"

"Aku serius. Aku bisa bilang gitu karena yang punya sekolah sendiri yang cerita."

"Tante Fanny?" tanya Kak Doy. Gue mengangguk. 

"Gapapa, mungkin aku tetap bisa tukar kabar lewat sosial media dari komputer yang ada disana, atau email," kata gue. Kemudian gue menatap Kak Doy. 

"Terus Kak, aku mau udahan aja sama Hendery."

***

"Eh, Kak Nas? Kok? Shift pagi?"

SOULMATE [✓]Where stories live. Discover now