DUAPULUH DUA; NEMBAK

279 55 5
                                    


"He, Sheina Munaf!"

      Gue mengalihkan wajah. Mengusap sudut mata gue yang masih terasa basah. Sedangkan cowok itu masih berusaha melihat wajah gue. Gue menunduk, dia memiringkan wajahnya. Dapat gue lihat ia tersenyum manis sambil menatap gue. 

"Nggak usah sok malu deh khawatirin gua biasanya juga malu maluin."

"Ck, paansih!"

"Panik banget ya gua kecelakaan? Takut gua geger otak terus lupa sama lu ya Na? Tenang aja mah—"

"Berisik ah Der!" dia malah ketawa. 

      Semuanya nyata. Walaupun gue berharap yang daritadi tuh masih bagian dari mimpi, sayangnya oknum bernama Aldo Prayogi benar-benar membangunkan gue dan membuat gue berada di alam nyata. Nyebelin. 

      Berita Darel yang ia bawa penuh kepanikan ke rumah Bunda Yuna itu ternyata salah informasi. Yang kecelakaan ketiban batu balok itu bukan Hendery, tapi Pak Henry yang merupakan penghuni komplek sini juga. Darel katanya waktu dengar itu langsung panik dan denger nama yang memang terdengar serupa itu disebut-sebut, dia pikir itu Hendery. Jadi dia langsung buru-buru menyampaikan kabar yang nggak di konfirmasi terlebih dahulu kebenarannya ke kediaman Hendery. Padahal bukan Hendery. Darel bener-bener. 

      Denger kabar itu gue langsung lari ke tempat kejadian. Kemudian mmelihat Dery nggak kenapa kenapa berdiri diantara kerumuman membuat gue lega, tapi akhirnya gue malah meluruh, berjongkok menutup muka. Sedikit terisak karena merasa panik. Gue bersyukur sebanyak-banyaknya bahwa kabar itu salah. 

      Bunda Hendery juga udah nangis. Dia langsung meluk anaknya. Kak Mawar ikutan nangis. Gue dipeluk Mama. Semuanya khawatir tapi ini anak masih aja tengil. Sekarang malah lagi ledekin gue gara-gara gue nangisin dia. NYEBELIN BANGET. 

"Jangan nunduk mulu ah, emangnya nggak capek apa?" Hendery mengangkat kepala gue dengan kedua tangannya. 

"Capek," cicit gue kecil. Dia ketawa lagi terus mengusap rambut gue. 

"Maaf ya?" tanyanya. Gue menggeleng pelan. 

"Es krim dulu," 

"Ular!" yang tadinya mengusap, kini Hendery mengacak rambut gue. Gue ketawa kecil. 

"Lagian ya Der harusnya tuh kalo bantu bantu gitu tuh pake peralatan keselamatan kerja gitu loh. Masa ini nggak pake apa-apa sih?" tanya gue masih merasa kesal karena kegiatan yang sebenarnya positif karena itu kan kerja bakti, tapi jadinya malah makan korban. Walaupun lega karena Hendery nggak kenapa kenapa tapi tetap aja disini ada orang lain yang luka. Kepala loh yang kena. 

"Ya mikirnya kan ini cuman kegiatan kerja bakti. Iya emang salah," sahutnya. Gue bersandar ke senderan sofa. Menatap lurus ke dinding bercat hijau rumah Hendery. Tidak menjawab lagi. 

      Mama, Bunda, Kak Mawar lanjut ngerujak di teras. Sedangkan gue di ruang tengah sama Hendery. Kan tadi gue lagi malu ketahuan nangisin Hendery jadinya masuk ke dalem. Aduh kalo diinget gue drama banget lari-lari sambil nangis ketakutan Hendery kenapa kenapa mikir yang aneh aneh tapi ni orang malah ledekin gue ya gimana nggak kurang ajar. 

"Nanas,"

"Hn?"

"Nana,"

"Apa?"

"Sheina,"

"Iyaaaa apaaaa?" tanya gue gemes sendiri soalnya Hendery manggil manggil doang tapi nggak ngomong apa-apa. Cowok itu terkekeh pelan. 

"Ayo!"

"Ayo apa?"

"Ayopacaran."

"Ha?"

SOULMATE [✓]Where stories live. Discover now