Kok Cepat?

790 29 2
                                    

Jika ku tahu bahwa kisah cinta ini akan berakhir dengan luka, mungkin aku tak kan pernah berfikir untuk memulainya. Jika aku tahu bahwa perkenalan ini hanya akan berujung pada saling melupakan, mana mungkin aku mau menerima cinta yang ia berikan. Dan jika aku tahu bahwa perjalananku bersamanya hanya akan menjadi sebatas kenangan, mungkin lebih baik aku tak akan pernah mau melangkah kemana arah kita berdua berjalan.

Tapi semua sudah terlambat, penyesalan pun tak akan pernah bermanfaat. Yang tersisa hanyalah kekecewaan, yang seharusnya tak terucapkan. Walaupun aku sadar bahwa penyesalan yang ada hanya akan membuatku tak bisa lepas dari perasaan. Aku juga tahu bahwa semakin besar penyesalan hanya akan membuatku semakin sulit untuk mengikhlaskannya. Dan aku juga tahu, apa yang akan terjadi jika penyesalan itu masih ku pelihara. Tapi mengapa hatiku ini masih tak bisa pergi darinya.

Wiwik telah mendapatkan pacar baru, yang jika dilihat dari segi manapun dia jauh lebih baik dariku. Walau tak masalah juga siapapun dia yang akan menjadi penggantiku, tapi yang membuatku heran adalah kenapa tak perlu waktu lama untuk mendapatkannya. Hanya berselang empat hari setelah putus, Wiwik sudah memposting sebuah foto lelaki yang jelas itu bukan aku, dengan caption kata-kata cinta dibawahnya. Bukankah suatu kemungkinan jika mereka berdua sudah dekat sejak hubunganku dengannya hancur, apalagi sikap Wiwik juga berubah saat dua bulan terakhir sebelum putus. Bisa jadi, tapi itu juga belum pasti, atau mungkin juga begitu.

Saat itu di tongkrongan biasanya, jam delapan malam dan aku sama sekali belum pulang ke rumah. Seragam pramuka masih menempel di tubuhku, lengkap dengan celana dan sepatu. Entah kenapa aku yang dulu selalu pulang sebelum maghrib, jadi merasa bodoamat mau kembali ke rumah jam berapapun. Wajar saja, itu larangan Wiwik, saat pacaran aku tak boleh pulang setelah adzan maghrib berkumandang. Kini larangan itu sudah kuanggap sebagai kata-kata yang tak perlu ku patuhi.

"Kok jam segini belum pulang? Masih pakai seragam juga kamunya," tanya Wiwik membalas Whatsapp Story yang baru saja kubuat milikku, sebuah foto menunjukkan bahwa aku masih nongkrong memakai seragam.

"Gapapa kan? Males aja di rumah, pengennya nongkrong biar nggak bad mood," balasku, memang sengaja aku memposting story itu. Tujuannya hanya untuk dilihat Wiwik, setelah itu hapus.

"Biar apa coba nongkrong sampai malam-malam gitu?"

Kubaca saja pesan darinya tanpa perlu membalasnya. Padahal sebenarnya aku ingin membalas pesan itu bahwa aku mau pulang jam berapapun tak akan ada apa-apa yang terjadi.

"Ciee yang lagi chat an sama Wiwik, balikan nih yee," ucap Angga, ternyata ia menyimak obrolanku.

"Enggak, dia cuma bales storyku kok."

"Hahaha, kalau iya juga gapapa kalik."

"Idihhh ... Malu dong, masak balikan, sama aja jilat ludah sendiri yang udah dibuang."

Padahal sebenarnya, jika misal aku punya kesempatan untuk berpacaran lagi dengan Wiwik, aku pasti mau dan tanpa pikir panjang. Jujur saja, aku masih sangat mencintainya, dan aku juga masih punya keinginan untuk kembali seperti sebelumnya. Tapi, apalah dayaku, di tongkrongan aku akan seperti kehilangan harga diri jika balikan dengan mantan. Bukan hanya aku saja, tapi juga semuanya. Jadi, kusimpan saja di dalam hati apa yang menjadi keinginanku itu.

Aku pulang jam sembilan malam, orang tuaku sudah tak marah lagi, buktinya aku sudah diberi uang saku saat tadi aku berangkat sekolah. Kubuka hpku, dan tak ada satupun pesan masuk dari siapapun, baik itu grup chat kelas ataupun grup tongkronganku. Jenuh, tentu saja, biasanya yang jadi penghibur dikala aku sedang bosan adalah Wiwik, tapi kali ini tidak lagi.

Tanpa diduga, Vian, teman satu tongkronganku dan juga teman Wiwik mengirim sebuah pesan untukku. Sebuah pesan yang berisi gambar screenshoot dari story whatsapp Wiwik seperti waktu itu, waktu aku pulang dari Kabupaten Semarang. Gambar yang tak jauh beda dari waktu itu, sebuah foto seorang laki laki yang juga aku tak tau siapa dia. Entah orang yang sama dari waktu itu atau bukan, tapi yang jelas sama-sama membuat hatiku tergores.

"Wiwik udah punya gandengan baru nih, kok cepet banget?" tanyanya saat setelah mengirim gambar itu padaku.

"Aku gak tau dan nggak mau tau, sekarang tujuanku cuma move on, jadi gak usah diganggu," ucapku mencoba terlihat tak peduli, walaupun sebenarnya aku sedikit cemburu.

"Bener tuh, harus move on ... Dia mutusin kamu biar bisa jadian sama cowok lain, buktinya aja baru empat hari kalian putus dia udah punya yang baru aja, pasti mereka berdua deketnya pas kalian masih pacaran."

Aku menghembuskan nafas yang berat, rokok di tanganku terasa tak nikmat lagi jika harus mengingat soal Wiwik.

"Hehe, yaudahlah gak masalah juga ... Biarin aja dia mau gimana, sekarang tujuanku cuma mau move on aja."

Aku sedih, kecewa juga, dan aku juga masih tak bisa menerima kenyataan yang ada. Tapi kusimpan saja kesedihan ini, hanya untukku, tak ada satu orangpun yang boleh tahu.

Namun satu hal yang membuatku heran adalah kenapa di hpku tak muncul story foto itu, sedangkan di hp temanku Vian ada. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah gambar itu disembunyikan untukku? Untuk apa? Sebenarnya aku tak akan mempermasalahkan Wiwik mau memposting foto siapa, karena rasa cemburu dan kesedihanku itu hanya akan kusimpan sendiri. Tapi mengapa foto itu harus disembunyikan dariku?

"Kok story Wiwik yang itu nggak ada di hpku ya?" tanyaku ke Vian, maksudnya story tentang gambar yang ia kirim barusan.

"Lah, di hpku belum dihapus tuh, masih ada."

"Ohh, yaudahlah."

"Diprivasi mungkin, disembunyikan dari kontakmu, jadi gak bisa dilihat deh di hpmu," tuturnya.

Entahlah, aku tak tau kenapa hanya karena hal sesimpel itu pun hatiku bisa terluka. Andai saja Wiwik tak menyembunyikannya dariku, mungkin aku hanya cemburu saja, tak sampai seperti ini. Tapi apa pantas aku menyalahkannya? Mungkin maksudnya baik, agar supaya aku tak bisa melihatnya dan sakit hati karena aku pernah bilang bahwa aku masih mencintainya. Tapi jika demikian, apa aku berhak menyalahkan Vian, yang memberitahuku tentang hal itu hingga hatiku terluka? Tentu tidak, aku saja yang terlalu mudah baper, dan juga mudah kecewa sekalipun karena hal yang sepele.

Terdengar berlebihan, tapi itulah faktanya. Sedih, kecewa, cemburu, dan terluka bercampur menjadi satu dan saat ini semua itu ada di dalam hatiku. Seolah akulah orang yang paling menyedihkan di bumi ini.

Setelah Kita Putus (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang