Melebihi Saudara Kandung

454 19 0
                                    

Hari demi hari di kelasku, kegiatan belajar terasa semakin membosankan saja. Ya, apalagi kalau bukan pelajaran matematika, mata pelajaran yang paling tidak kusukai. Guru yang kaku saat mengajar dan siswa kelasku semuanya laki-laki, itu membuatku jenuh bukan main. Rasanya hanya ingin tidur, ataupun bermain hp saja saat guru menerangkan di depan kelas. Tak cuma aku saja, semua siswa di kelasku juga begitu. Ditambah lagi waktu pelajaran yang lama dan sudah siang hari, membuat seluruh siswa yang ada di kelasku mengantuk. Setiap hari jika sudah mulai siang, pasti seperti itu. Mungkin itulah alasan mengapa banyak guru yang tak suka mengajar di kelasku.

"Lang, nanti aku main ke tongkronganmu boleh kan? Aku ajak temenku sekalian kesana, nanti sore," bunyi pesan dari Zahra yang masuk di hpku.

"Boleh aja, tapi temenmu itu laki-laki atau perempuan? Kalau laki-laki nggak boleh banget, haram," balasku setelah beberapa menit pesan itu masuk. Memang perlu menunggu waktu yang sedikit lama untuk bisa membalas pesannya, karena aku juga tak ingin hpku disita.

"Loh kok haram? Kamu takut cemburu ya? Hehe."

"Ya bukannya gitu, nanti takutnya bakal ada salah paham sama temen-temenku."

"Salah paham gimana?"

"Aku dulu pernah cerita kan ke kamu, soal Wiwik waktu itu? Emang kamu mau temenmu dibikin kaya gitu?"

"Hahaha, enggak lah, Lang ... Aku nggak bakal mau bawa cowok asing ke situ, nanti aku ke sana sama perempuan kok."

"Iya, santai aja."

"Yaudah deh, belajar yang bener, jangan main hp terus."

"Siap bos."

Awalnya setelah percakapan itu terjadi, aku langsung semangat mengikuti pelajaran. Teman-teman kelasku heran kenapa aku jadi paham dengan materi yang diajarkan, bahkan aku juga bisa mengerjakan soal yang ada di papan tulis. Tapi setengah jam setelah itu, aku sudah tertidur pulas.

Singkat cerita, setelah pulang sekolah aku langsung meluncur ke tongkronganku. Hari sudah sore, kukira Zahra dan temannya sudah disana, tapi ternyata tidak. Kutunggu kedatangan Zahra sambil menantikan pesan darinya, apakah jadi mampir atau tidak. Tak perlu waktu lama akhirnya ia datang juga, dan sesuai dugaanku, hal yang sama seperti saat pertama kali Zahra datang ke tongkrongan terjadi.

"Cie Erlang, Cie ... Pacar baru nih," ucap Setyo menggodaku, dia adalah teman dekat Wiwik.

"Crewet," balasku singkat.

Ku temui Zahra dan temannya yang masih duduk diatas motor, disusul oleh ejekan teman-temanku dari belakangku. Kulihat pipi Zahra memerah, dan sosok wanita yang duduk di belakangnya nampak gelisah.

"Ayo kesana!" pintaku kepada mereka berdua.

"Aku malu Lang, kamu denger sendiri kan apa kata temen-temenmu"

"Kan aku udah bilang kemarin, mereka temen-temenmu juga, jadi ngapain juga kamu malu."

"Yaudah deh, ayo Shan!" ucapnya, ia juga mengajak perempuan yang dibawanya kesini.

Tentu saja setelah kami bertiga masuk ke dalam warung, semua teman-temanku menggodaku seperti sebelumnya, tapi kala itu lebih parah. Pipi Zahra memerah lagi, temannya terlihat ketakutan, dan raut wajahku datar. Sebenarnya aku cukup kesal dengan itu, namun mau bagaimana lagi, aku juga pernah seperti itu, jadi kubiarkan saja lah.

"Mampir kesini kalau nggak bawain jajanan juga percuma, Ra," ucap Tohir, mereka berdua sudah saling kenal karena saat Zahra pertama kali main ke sini ada dia juga.

"Eh aku bawa kok, tadi aku udah beli martabak manis buat kalian."

Zahra pun mengambilnya di motor yang ia bawa, lalu kembali ke tempat duduknya setelah itu. Tentu saja anak-anak tongkronganku langsung menyerbu bungkusan martabak manis itu seperti lalat yang kelaparan, dan itu membuat Zahra juga temannya tertawa kecil.

"Kalian yang bener aja, anjir," ucapku memperingati, tapi tak sedikitpun digubris oleh mereka.

Tanpa perlu waktu yang lama, martabak manis itu sudah habis tak bersisa, bahkan aku pun sama sekali belum menyentuhnya.

"Boleh nambah, bos? Hehe," pinta Zidan sambil cengengesan.

"Buset, itu perut apa gentong air Dan? Makanan segitu aja masih kurang," sahut Tohir.

"Halah bacot, mumpung gratisan nih."

"Beli aja satu lagi pakai uangku, tapi yang beli jangan aku ya," ucap Zahra.

"Eh jangan Ra, kalau pakai uangnya Erlang malah aku paling setuju," jawab Zidan.

"Loh kok jadi aku?" tanyaku kesal.

Zahra hanya tertawa, hingga giginya yang putih rapi terlihat karenanya.

"Kalau begini caranya aku bisa bangkrut, apalagi kalau cuma beliin makan orang-orang kelaparan kaya kalian, harusnya buat kaum dhuafa aja," ucapku sambil mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet.

Teman-temanku tertawa setelah itu, begitu pula Zahra dan teman yang duduk disampingnya. Setelah martabak manis yang kedua sudah habis, Zahra mentraktir es teh kami semua.

"Kamu emang temen kita yang baik, Zahra ... Sering-seringlah begini," celetuk Arkan.

Zahra hanya senyum-senyum sendiri setelah itu.

"Kalian itu akrabnya melebihi saudara kandung, jadi enak dilihatnya," ucap Zahra sambil tersenyum.

"Kalau enak, tambah lagi dong martabaknya," sahut Zidan tak tahu malu.

Zahra kembali tersenyum.

"Enak aja, Zahra kalau dimintain traktiran terus nanti jadi krisis finansial," ucap Arkan.

"Gayamu ngomongin finansial, siapa yang ngajarin, Kan?" ucap Tohir meledek.

"Dari bapakku dong, percuma bapakku jadi mentri keuangan Indonesia kalau anaknya nggak tau apa itu finansial."

"Bukannya bapakmu itu tukang sawer biduan di acara dangdut, Kan? Sejak kapan jadi mentri?" ucapku.

"Itu kan dulu waktu jaman jahiliyah, ngapain sih pake bawa-bawa bapakku segala?"

"Habis pensiun jadi tukang sawer, alih profesi jadi germo lokalisasi, hahaha."

"Anjing," ucap Arkan mengumpat.

Kami semua tertawa setelah itu, kecuali Arkan yang mendengus kesal karena ucapanku. Termasuk teman Zahra juga tertawa, padahal sejak tadi kulihat teman yang dibawanya itu hanya diam saja, ternyata ia menyimak obrolan ini. Dan Fikri, aku tak tahu apa yang terjadi padanya, tapi kulihat dia sama sekali tak ikut becanda sejak kehadiran Zahra.

Candaan kami di tongkrongan memang seperti itu, kadang memang menyakitkan. Tapi masing-masing dari kami tak boleh baper, selama itu bukan kenyataannya. Dan kami juga tak boleh menyinggung SARA, memang tak ada aturan tertulis tentang hal itu, tapi sudah menjadi kesadaran hati bahwa kami benar-benar tak boleh melakukannya.

Obrolan kami kembali berlanjut, hanya ada canda dan tawa yang terjadi di tempat ini. Namun satu hal yang disayangkan, teman Zahra sama sekali tak berbicara, bahkan untuk memperkenalkan namanya pun tidak sama sekali.

Adzan Maghrib berkumandang, kami semua pun bergegas untuk pulang. Tak lupa kami menyalami teman-temanku yang masih ada di tongkrongan, karena memang bersalaman saat datang atau pergi di tongkronganku itu sudah membudaya sekali.

Setelah Kita Putus (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now