Mampir

477 18 0
                                    

Minggu, hari yang menjadi saat-saat favoritku saat masih kecil dahulu. Aku pergi menuju kost Zahra, katanya ia sedang bosan dan memintaku untuk bermain di tempatnya. Kusetujui saja ajakannya karena aku juga sedang bosan sama seperti dia.

Mengingatkanku waktu aku masih usia belia, setiap minggu pagi aku tak pernah bermain keluar seperti teman-temanku pada umumnya. Aku lebih suka duduk dirumah walau hanya untuk menonton acara kartun di televisi, film anak-anak yang kini sudah berganti menjadi sinetron dan aku membencinya. Mungkin jika saat ini masih ada acara televisi yang masih sama seperti dulu di hari Minggu, mungkin sekarang aku masih ada di rumah menontonnya.

Aku rindu masa kecilku dimana aku hanya tahu makan, tidur, dan bermain. Bukan patah hati seperti ini.

"Zahra," panggilku.

Tak ada jawaban setelahnya, lalu kuketuk pintu kamarnya berulang kali namun hasilnya tetap sama saja. Kuambil hpku, kutelefon Zahra, namun panggilan itu tak dijawab olehnya. Aku mendengus kesal, lalu duduk di sofa yang ada di depan kamarnya dan membakar ujung rokok yang sudah kubawa. Kutunggu Zahra dengan kesal sembari menelfonnya berulang ulang, namun tak kunjung diterima juga.

"Jangan-jangan cuma prank, sial."

Tak lama aku menunggu, Zahra datang dengan sedikit tergesa-gesa. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi dari raut wajah yang bisa kulihat, ia terlihat cemas.

"Dari mana?" tanyaku saat ia masih setengah berlari.

"Dari rumah, maaf ya aku nggak ngasih kabar."

"Iya gak papa, kok kamu kelihatan cemas, ada apa?" tanyaku sekali lagi.

"Aku tadi buru-buru kesini, takutnya kamu nungguin aku lama banget, udah lama nunggu aku?"

"Gak juga sih, lima menit mungkin."

Ia membuka pintu kamarnya, lalu mengambil hp yang ia charger di dalam.

"Tuh kan, kamu udah telefon aku berkali-kali ... pasti kamu nunggu lama kan? Maaf ya," ucapnya setelah ia membuka aplikasi Whatsapp.

"Gak lama juga kok aku nungguinnya, aku kira kamu cuma ngerjain aku aja."

"Enggak bakal lah."

"Aku kira tadi begitu," kataku sambil menghisap sebatang rokok yang ada di tanganku.

Kulihat Zahra membawa tas kecil dan juga ia mengenakan sepatu, kurasa ia akan pergi entah kemana, atau mungkin pergi denganku untuk menghilangkan rasa bosan yang ada.

"Ngomong-ngomong ada apa kok aku disuruh kesini?" tanyaku.

"Lari pagi yuk."

"Lah tumben, biasanya kamu kalau minggu pagi ya malas-malasan kan?"

"Hahaha, sekali-kali biar sehat."

Tanpa basa-basi lagi, kami berdua pun segera meluncur ke lapangan militer yang ada di tengah kota. Lapangan itu bukan hanya digunakan oleh tentara saja, tapi untuk umum juga boleh. Apalagi hari minggu, ada kegiatan Car Free Day di sana. Jadi akan ada banyak orang yang melakukan kegiatan yang sama, tak peduli laki-laki maupun perempuan baik muda ataupun dewasa.

Cukup lama kami berdua berolahraga disana, lari berkeliling lapangan yang luas itu beberapa kali. Meskipun sedikit capek, tapi aku merasa gembira dengan hal itu. Aku sudah lama sekali tak berolahraga seperti ini.

Kami berdua beristirahat di bawah pohon beringin yang rindang yang ada di dekat lapangan, sambil menikmati es kelapa muda yang dijual disana.

"Ngomong-ngomong, gimana kamu sama Wiwik?" tanya Zahra membuka percakapan.

"Lupakan aja masalah kemarin," jawabku santai.

"Kamu udah baikan sama Wiwik? Perasaan kemarin kamu kesal sama dia," tanyanya sedikit terkejut.

"Aku bilang lupain aja, Ra."

Ia terlihat kebingungan dengan perkataan yang keluar dari mulutku. Saat ini aku benar-benar tak ingin membicarakannya, aku sangat benci padanya.

Aku meneguk es kelapa muda yang ada di hadapanku, begitu juga Zahra, ia yang membelikan minuman itu untukku.

"Emm, Lang ... Kapan-kapan, aku kalau main ke tongkronganmu boleh nggak?" ucapnya setelah minuman habis.

"Nggak ada larangan kamu main ke tongkronganku, tapi ada satu syarat."

"Hah? Ada syaratnya? Ah enggak ah kalau aneh-aneh."

"Enggak aneh-aneh kok, syaratnya tuh kamu harus mau temenan sama anak-anak tongkronganku, dan walaupun candaan mereka nggak bisa dijaga, kamu jangan baperan."

"Oh, aku kira apaan ... Emm, kapan ya aku bisa main kesana?"

"Sekarang aja gapapa kalau kamu mau."

"Ah jangan sekarang, aku malu."

"Pakai baju, pakai celana, ngapain juga harus malu? Udah gapapa, lagian sekarang juga hari minggu, tongkrongan nggak seramai hari biasa."

"Yaudah deh gapapa, tapi kalau rame gak usah mampir ya, langsung pulang aja."

"Suka-suka kamu aja deh."

Tanpa berlama-lama lagi, kami berdua bergegas menuju tongkronganku. Kami sempat mengobrol membahas tentang tempat itu, dan dari caranya bertanya, kurasa ia sedikit gugup.

Sampailah kami berdua di tempat yang menjadi tujuanku dengan Zahra, kulihat ada beberapa temanku yang ada disana. Zahra masih terlihat gugup, aku tahu itu dari apa yang ia lakukan saat setelah aku turun dari motor. Saat tongkrongan hanya ada beberapa anak saja ia gugup, bagaimana jika kondisi ramai seperti biasanya, bisa jadi Zahra hanya diam mematung jika dia mampir kesini.

"Ayo masuk," ajakku.

"Eh, eh, iya Lang." balasnya terdengar gugup.

"Ada apa?"

"Enggak, aku cuma takut aja."

"Gapapa, ada aku."

Ia menurut, lalu kami berdua masuk warung tongkronganku. Kulihat wajah Zahra berkeringat, entah apa yang ia cemaskan, padahal aku sudah bilang bahwa tak akan terjadi apa-apa padanya.

"Ciee, Erlang sekarang punya cewek baru."

"Kok ceweknya beda lang sama yang kemarin?"

"Mbak, aku kasih tahu ya ... Erlang itu udah punya cewek, kamu tuh cuma selingkuhan."

Ya seperti yang sudah aku duga sebelumnya, kalimat seperti itu pasti akan keluar dari mulut mereka.

"Bacot," balasku, mereka tertawa setelah itu, Zahra juga ikut terkekeh walaupun ia sembunyikan dibalik tangannya.

Ya, walaupun aku dibully oleh teman-temanku, setidaknya Zahra tak terlihat cemas lagi seperti sebelumnya.

Setelah Kita Putus (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now