Bolos

3.7K 104 6
                                    

Semalaman aku galau memikirkan Wiwik sampai adzan subuh berkumandang di hari setelah ikatan spesial kami berdua putus. Pikiranku benar-benar kacau, dan aku baru bisa tidur disaat ibuku sudah terbangun.

Hanya berselang sepuluh menit aku terlelap, ibu sudah membangunkanku.

"Erlang, bangun nak... Sudah pagi, mandi, sarapan, siap siap berangkat sekolah," kata ibuku.

Aku hanya mendengus meresponnya, jujur aku masih sangat mengantuk sekali, tapi perempuan paruh baya itu terus saja berusaha untuk membuatku bangun dari kasur.

"Masyaallah...," ucapnya lirih, namun aku masih bisa mendengarnya. Akupun berusaha untuk bangun walaupun sejujurnya sangat tidak mau, entah karena apa aku merasa tak tega mendengar ibuku berucap seperti itu.

Sehabis semua persiapan selesai, aku berada di terminal untuk menunggu angkutan kota setelah berjalan kaki lima belas menit lamanya. Motorku macet tadi, dan itu membuatku sangat frustrasi. Dengan mata merah yang masih ingin tertutup, aku menjadi tak punya hasrat untuk berangkat ke sekolah. Kucegat sebuah angkutan kota yang berlawanan arah dengan letak sekolahku. Pikiranku semakin kacau, aku tak ingin membuatnya menjadi lebih parah dengan pelajaran matematika hari ini. Hari rabu yang sangat tidak kuinginkan.

Angkutan yang kutumpangi melaju dengan kecepatan lamban, membuatku merasa bosan dan sesekali membuat mataku terpejam agak lama. Untung saja aku tidak sampai tertidur disana, jika sampai tertidur mungkin aku tak akan pernah ke tempat tujuanku.

Tempat yang kutuju adalah warung tongkrongan anak-anak sekolahku saat pulang sekolah ataupun membolos, tempat yang disebut Warung Ijo karena memang cat dinding disana warnanya hijau. Sebenarnya penyebutan Warung Ijo ini sudah ada sejak jaman alumni terdahulu, tapi tetap saja kami menyebutnya seperti itu sampai sekarang meskipun sudah beberapa kali kami berpindah tempat untuk nongkorng. Warung yang pertama kali disebut seperti itu, sudah digusur oleh pemerintah. Dan yang kedua, pindah. Dan yang ketiga adalah tempat yang saat ini aku berada. Dan mungkin itu semua terjadi karena kenakalan yang kami lakukan selama nongkrong di situ.

"Eh kok bolos Lang?" ucap tante pemilik warung.

"Masih ngantuk, nggak punya hasrat buat sekolah, hehe."

Tante hanya tersenyum simpul merespon ucapanku, lalu ia masuk kedalam dan membuatkan kopi hitam pesananku.

Yang membuatnya heran padaku adalah ia mengerti jika aku sudah tak pernah lagi membolos, dan sekarang sudah dua bulan sejak aku terakhir kali bolos sekolah. Walau sebenarnya takut juga jika dengan tidak masuk sekolahnya aku ini menjadi masalah, tapi masa bodoh lah, aku pusing.

Kubakar sebatang rokok dan asap putih mulai menari-nari di udara, semoga dengan nikotin otakku menjadi lebih fresh untuk berfikir. Yang di otakku hanya ada satu hal, yaitu tentang Wiwik. Di pikiranku masih terngiang ucapan Wiwik semalam yang membuat hatiku merasa tak karuan sampai sekarang.

Hari ini, tanggal 6 adalah tanggal dimana biasanya kami merayakan hari jadi hubunganku dengan Wiwik. Biasanya orang-orang berpacaran merayakannya tiap tahun, sedangkan aku setiap bulan. Memang aneh, wajar saja, namanya juga cinta monyet. Aku tak tahu apa dia ingat dengan hari ini atau tidak, yang pasti aku selalu mengingatnya sampai kapanpun.

Hubunganku dengan Wiwik memang terbilang singkat, tapi kehendak wiwik untuk mengakhiri hubungan kita berdua tetap saja menyakitkan untukku. Entah untuk Wiwik juga atau tidak, aku tak tau, mungkin tidak.

Kubenamkan wajahku di kursi panjang yang ada di warung, lalu melanjutkan tidurku yang tadi pagi sempat terganggu.

Tiba-tiba, ada yang memanggilku. Aku bisa menebak itu adalah Fikri, dari suaranya.

"Bolos, Fik?"

"Iya, males aku sekolah, ada pelajaran wali kelasku yang galak ... Tumben bolos, Lang? Nggak biasanya."

Aku diam, tetap menutup mataku yang masih mengantuk ini. Kuharap Fikri bisa memahami jika aku belum tidur semalam.

"Ada yang lagi galau," ucap Tante kepada Fikri.

"Erlang galau?"

"Heem, putus mungkin."

"Nggak nyangka, jagoan warung ijo ternyata bisa segalau ini gara-gara cewek."

Aku bukan jagoan, ataupun orang yang spesial. Aku hanyalah manusia biasa seperti yang lainnya, remaja labil berusia enam belas tahun yang sedang merasakan putus cinta. Itu wajar saja kan jika aku galau seperti ini? Apalagi aku adalah anak STM yang kata orang selalu kalah di bidang percintaan.

"Diem Fik, aku cuma ngantuk, dasar tolol."

Tante dan Fikri hanya tertawa meresponnya, dan aku tetap mencoba untuk melanjutkan tidurku.

Walaupun sesungguhnya aku tak mengerti alasan mengapa situasi ini bisa terjadi, tapi aku bisa menyadari bahwa diriku ini bukanlah seseorang yang pantas untuk menyandang status sebagai pacarnya Wiwik. Entah apapun alasan itu, semoga aku bisa menerimanya dengan hati yang lapang.

Setelah Kita Putus (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now